Part 31 (Pertemuan Kedua)

2077 Kata
Part 31 (Pertemuan Kedua) Pemuda itu tersentak dari tidurnya. Peluh membanjiri kening. Detak jantungnya seolah-olah saling berkejaran. Dadanya naik turun mengikuti irama napas yang memburu. "Bara, kau tidak apa-apa?" Wajah tua Pak Amin tampak cemas. Orang tua itu menunggu Bara selama tak sadarkan diri di rumah sakit. Bara masih berusaha menenangkan perasaannya. Menghalau bayangan wajah yang selama ini ia benci. Sosok yang membuatnya terlahir untuk kemudian dibesarkan dalam kubangan penuh dosa. "Bukan dia. Dia bukan ayahku!" Pemuda itu berteriak frustrasi. Ia usap wajahnya dengan kasar. "Istighfar, Nak. Tenangkan dirimu." Pak Amin segera memeluk Bara seperti memeluk anaknya sendiri. "Astaghfirullah ...." Bara menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia terisak dalam dekapan Pak Amin yang menatapnya dengan iba. Air mata pemuda itu mengalir begitu saja. Bara tak ingin percaya bahwa ayah biologisnya adalah seorang lelaki berperangai iblis. Wajah cantik sang ibu yang menangis ketakutan dalam mimpinya terus terbayang. Bara tak ingin mempercayai mimpinya. Namun, semua kejadian di alam bawah sadarnya itu terasa begitu nyata. Terlebih, pengakuan Bandot yang menyebut dirinya sebagai ayah sebelum mengembuskan napas terakhirnya. Kejadian 20 tahun lalu saat wanita itu terbaring tak bergerak di pasar kembali melintas. Bara semakin terisak. Ia merindukan sosok itu. Sosok sang ibu yang tak pernah lagi ia tahu di mana makamnya. "Menangislah ... keluarkan semua yang membuat dadamu sesak," ucap Pak Amin sambil terus memeluk pemuda malang itu. Kedua mata sayunya berkaca-kaca. Bulir bening mengalir perlahan di kedua pipi Pak Amin yang mulai keriput. "Aku merindukannya ... Ibu ...,” lirih Bara. Di depan kamar itu, Rania mendengar semuanya. Ia tak bisa menahan tangisnya lagi. Rania terisak sambil menutup mulutnya dari balik cadar. Ia tak tahan lagi melihat kesedihan yang dialami pemuda yang telah menyelamatkan nyawanya itu. Ingin Rania menghiburnya. Namun, kini ia hanya bisa melihat pemuda itu dari jauh. Setelah kejadian penculikan itu, Pandu benar-benar melarang Rania untuk berhubungan dengan Bara. Ia juga meminta sahabatnya, Dokter Irham untuk mengawasi sang adik agar tidak melihat, apalagi mendekati pemuda itu selama dirawat di rumah sakit. Kini, Rania hanya bisa menahan perasaannya. Juga, hanya bisa bertanya kepada Pak Amin terkait perkembangan kondisi kesehatan Bara. Tak jauh dari ruangan tempat Bara dirawat, Dokter Irham tengah memperhatikan Rania yang bersandar di dinding depan kamar itu sambil menangis. Ada rasa sakit yang mendera hatinya melihat gadis yang ingin dijadikannya istri, ternyata telah memberikan hati kepada pria lain. Ya, dari sorot mata gadis itu setiap kali ia memergoki Rania mengintip ke dalam kamar rawat Bara, Dokter Irham bisa ada cinta yang tumbuh di hatinya untuk pemuda, yang ternyata merupakan mantan kaki tangan pemimpin gangster. Dokter Irham pun kembali ke ruangannya dengan hati yang retak. Meninggalkan Rania yang masih betah berdiri di depan ruang rawat tersebut. *** Sebuah pesta pernikahan berkonsep Islami digelar mewah di dalam sebuah gedung. Sepasang pengantin tersenyum bahagia menyambut para tamu undangan. Berbagai macam hidangan lezat tersaji di meja prasmanan. Seorang pemuda mengenakan kemeja biru berdiri di sudut ruangan bagian tamu pria. Ia mengedarkan pandangan untuk mencari sosok wanita yang dirindukannya selama ini. Namun, ia tak dapat menemukan sosok wanita yang ia cari di ruangan itu. Pemuda itu lantas berjalan ke luar gedung. Sesekali ia menoleh ke bagian ruang untuk para tamu wanita. Tak lama, pandangannya terpaku pada sosok wanita berbusana anggun lengkap dengan cadarnya. Ia tersenyum melihat sepasang mata indah yang membuat jantungnya berdegup kencang. Gadis itu tengah berbincang dengan beberapa tamu wanita. Ia mempersilakan mereka menikmati hidangan yang tersedia. Bahagia juga terpancar dari sorot mata indahnya. ‘Syukurlah kau baik-baik saja, Rania.’ Bara tersenyum. Bunga-bunga di hatinya kembali merekah. Dua minggu sudah ia tidak melihat Rania, sejak peristiwa penculikan yang dilakukan Bandot. Bara tak punya keberanian untuk menemui gadis itu walau hanya sekadar meminta maaf. Ia merasa terlalu hina untuk muncul di hadapan Rania. Meskipun ia tahu dari Pak Amin, bahwa Rania diam-diam menjenguknya setiap hari di rumah sakit. Pemuda tampan itu berbalik, mulai melangkahkan kakinya untuk meninggalkan gedung tempat diadakannya pesta pernikahan Pandu. Tanpa ia sadari, sepasang mata indah melirik padanya. Gadis itu menghela napas atas sikap Bara yang tampak menghindar. Bukan, ialah yang selama ini menghindari Bara karena sang kakak. “Semoga Allah selalu menjagamu,” doa Rania dengan lirih. Sepasang mata indah gadis itu berkaca-kaca. Ada sesuatu yang terasa mengiris hatinya melihat punggung lelaki itu menjauh. Ia beranjak ke belakang untuk meluahkan sesak yang menggelayuti d**a. Gadis itu mengunci diri di dalam toilet. Air matanya mengalir begitu saja tanpa mampu ia cegah. Dadanya benar-benar terasa sesak. Ia sendiri tak mengerti apa yang menimpa dirinya hingga menjadi hamba yang lemah seperti ini. Cinta ... benar-benar membuat batinnya tersiksa. Apakah salah mencintai seorang mantan kriminal? Apakah salah memberikan kesempatan pada lelaki yang sedang hijrah itu untuk memperbaiki diri bersama-sama dalam ikatan yang suci. Apakah salah seorang gadis dari keluarga taat agama dan berpendidikan, serta berprofesi sebagai seorang dokter seperti dirinya, membina rumah tangga bersama seorang lelaki biasa yang mengharap ampunan Rabb-nya seperti Bara! Batin Rania terus meluahkan protes yang tidak bisa ia utarakan langsung kepada orang tua maupun kakaknya. Ia hanya bisa menahan semua beban berat di dadanya dan mencurahkan seluruh isi hati kepada Sang Khaliq di salat-salam malamnya. Lelaki yang telah membuatnya merasakan sebuah rasa bernama cinta, juga tak pernah menampakkan diri. Sejak keluar dari rumah sakit, Bara selalu menghindar kala Rania kembali mengajar di Masjid An Nur. Lalu, lelaki itu tak pernah terlihat lagi beberapa hari setelahnya. Rania tidak tahu di manakah lelaki itu tinggal saat ini. Sebab, Pak Amin bilang Bara tinggal di suatu tempat yang tak ingin siapa pun tahu di mana alamatnya. Ada sesuatu yang hilang di hati Rania. Sesuatu yang selama ini membuat kuncup bunga itu merekah. Ia terlanjur jatuh ... jatuh ke dalam sebuah rasa yang tak sepantasnya tumbuh kepada lelaki yang bukan suaminya. *** Setelah keluar dari rumah sakit, Bara memutuskan untuk pindah dari tempat tinggalnya di Masjid An Nur bersama Pak Amin. Ia memilih hidup sendiri di sebuah indekos kecil dan memulai hidup mandiri dengan bekerja apa saja asalkan halal. Pak Amin tahu di mana ia tinggal. Namun, Bara melarang orang tua itu untuk memberi tahu siapa pun di mana ia tinggal kini. Termasuk kepada Rania. Bara tak ingin kehadirannya di lingkungan tempat Rania tinggal, kembali menghadirkan kejadian buruk untuk orang-orang yang telah sangat berjasa baginya. Juga Rania, yang nyaris celaka akibat kehadirannya dalam kehidupan gadis itu. Ia hanya ingin Rania hidup nyaman dan tenang, sebagaimana gadis itu hidup sebelum mereka bertemu. Ia juga ingin Rania melupakannya, melupakan kehadirannya, melupakan sosoknya. Bara tak ingin ingatan gadis itu tentangnya, menciptakan luka dan ingatan buruk dalam kehidupan sang gadis yang hingga saat ini masih bertengger di hatinya. Bara juga bertekad untuk melupakan kehidupan di masa lalunya yang begitu kelam. Masa-masa yang membuatnya tidak mengenal siapa Tuhannya. Bandot, ia tak ingin lagi mengingat nama itu. Sekuat hati ia berusaha melupakan pria b***t tersebut, serta mimpi buruk tentang sang ibu dan Bandot saat ia baru tersadar di rumah sakit. Bara ingin memulai kehidupannya yang baru, tanpa dibayang-bayangi oleh masa lalunya. Ia mencoba memaafkan segala yang telah terjadi. Terus mencoba untuk berdamai dengan diri sendiri dan semakin mendekatkan diri kepada Ilahi Rabbi. Kini, Bara bekerja sebagai kuli angkut di sebuah pasar. Ia tampak mondar-mandir mengangkat barang dari para pengunjung yang menggunakan jasanya. Ia bekerja sebagai kuli panggul dari pagi hingga siang hari. Setelahnya, ia masih terus bekerja di tempat lain. Yakni bekerja sebagai pelayan di sebuah warung makan kaki lima dari sore hingga malam. Bara terus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, juga untuk mengumpulkan modal usaha. Ia berniat, suatu hari akan membuka sebuah usahanya sendiri meskipun dari nol, dari usaha yang tergolong kecil. Meski tak lagi tinggal di Masjid An Nur, tetapi masih sering mengunjungi Pak Amin di sela-sela waktu senggangnya. Orang tua itu sudah seperti ayah sendiri baginya. Ia selalu berkunjung di waktu-waktu di mana selesai bekerja dari pasar. Dan selama ia mendatangi Masjid An Nur untuk bertemu Pak Amin, Bara tak pernah sekali pun bertemu dengan Rania. Pemuda itu sengaja selalu datang saat waktu salat Zuhur agar tak bertemu dengan gadis itu. Bara merasa hina dan tak pantas menunjukkan wajahnya pada Rania. Rasa bersalah, dosa, dan semua hal buruk yang telah terjadi, membuatnya rendah di hadapan gadis itu. *** Dua tahun pun berlalu .... Pemuda malang yang dulunya hanya seorang kuli dan pelayan, kini telah membuka sebuah warung dari hasil tabungannya selama bekerja dua tahun itu. Warung yang terletak di tepi jalan itu cukup ramai dengan pengunjung. Terutama kalangan anak muda. Jaringan Wifi tersedia gratis di sana bagi para pengunjung yang menikmati menu makanan di warungnya. Bara membuat sebuah konsep makan lesehan di dalam usaha kulinernya itu. Terdapat lampu-lampu kecil yang menghiasi dinding warungnya dengan beraneka warna, juga spot foto unik bertema alam. Bambu yang dicat berwarna cokelat metalik menghiasi setiap dinding warung dan sekat yang membatasi pengunjung yang satu dengan yang lainnya. Warung yang ia beri nama Laa-Barania itu menjual aneka jenis masakan, dari mulai beraneka masakan seafood, hingga ayam dan bebek bakar. Ia belajar dari warung tempat bekerja sebelumnya, mengambil ilmu di sana, seraya mengumpulkan modal, lalu membuka usahanya sendiri di daerah yang berbeda. Nama Laa-Barania sendiri ia ambil dari kata "Laa Tahzan, Barania"-yang artinya "Jangan bersedih, Bara dan Rania". Bara berharap gadis itu selalu bahagia. Sedangkan harapan lainnya, yakni harapan namanya akan bersanding dengan nama gadis itu kelak, di buku nikah, hanya ia ukir di lubuk hatinya yang terdalam. Rania .... Nama itu tak hanya terukir di relung hatinya, tetapi juga ia abadikan pada tempat mata pencahariannya. Nama gadis itu juga tak pernah luput dari doa-doa malamnya. Malam ini, di tengah kesibukannya sebagai pemilik sekaligus pengelola warung Laa-Barania, yang dibantu oleh tiga orang karyawannya, Bara berniat untuk mengunjungi Pak Amin. Sudah satu minggu ia tidak datang ke Masjid An Nur dikarenakan kesibukannya mengurus warungnya. Rasa rindu terhadap orang tua itu pun menguar di malam yang cukup dingin seperti malam ini. "Saya tinggal sebentar," ucapnya pada salah satu karyawan, lalu melajukan sepeda motor menuju masjid An Nur. Tak lupa, ia membawa dua kotak berisi nasi dan ayam bakar dari warungnya. Sudah sangat lama sekali Bara tidak menikmati makan malam bersama Pak Amin. Sebab, selama ini ia selalu datang di siang hari setiap kali menjenguk orang tua itu. Tiga puluh menit menempuh perjalanan di jalanan Ibukota Jakarta, kendaraan roda dua itu menepi di halaman masjid tempat ia mendapat hidayah untuk pertama kalinya. Tempat ia merasakan kasih sayang seorang ayah meski Pak Amin tidak ada hubungan darah dengannya. "Assalamualaikum." Bara mengetuk pintu kamar Pak Amin yang berada di pojok kanan bangunan masjid. "Waalaikumussalam." Terdengar suara lemah dari dalam. Orang tua itu beringsut membuka pintu. Wajahnya tampak pucat. Tubuh tuanya terlihat lesu. "Pak Amin, Bapak sakit?" Bara memapah tubuh orang tua itu kembali duduk di tepi kasur. "Bapak hanya kurang enak badan," ucap Pak Amin lemah. Bara meletakkan telapak tangannya di kening Pak Amin untuk mengecek suhu tubuh orang tua itu. “Badan Bapak panas. Bapak makan dulu, setelah itu akan saya antar ke rumah sakit." Pak Amin mengangguk. Ia menurut saja apa yang dikatakan oleh pemuda yang sudah ia anggap seperti anak sendiri itu. Meski tak lagi tinggal di masjid, tetapi Bara selalu datang menjenguknya. Paling sedikit sekali dalam seminggu. Sekadar menanyakan kabar, berbincang, juga mengantarkan makanan untuknya. Selesai makan malam, Bara segera membawa Pak Amin ke rumah sakit dengan motornya. Tak lupa ia meminta orang tua itu untuk memakai jaket tebal yang pernah ia belikan agar tidak terlalu merasakan dingin saat di perjalanan menuju rumah sakit. Sesampainya di depan rumah sakit, Bara berdiri mematung melihat tulisan besar bertulisan IGD di ruangan yang berada di bagian depan rumah sakit. Sebuah rumah sakit besar, tempat seorang gadis bekerja. “Teringat Rania?” tanya Pak Amin tanpa basa-basi melihat Bara termenung saja seperti patung. Bara hanya tersenyum, lalu membawa Pak Amin ke dalam untuk mendaftarkan diri terlebih dahulu. Setelah itu, ia duduk bersamabPak Amin di ruang tunggu untuk menunggu antrean. "Pak Amin," panggil salah satu perawat, dan memintanya masuk ke ruang IGD untuk diperiksa oleh dokter yang bertugas malam hari. "Iya." Bara mengantar orang tua itu ke dalam dan membantunya berbaring di brankar. Seorang dokter wanita bercadar tengah sibuk membaca kartu riwayat pasien--orang tua yang selalu ia temui setelah Ashar saat mengajar di Masjid An Nur. Dahinya berkerut membaca nama itu. “Pak Amin?” gumamnya. Ia segera bangkit dan berjalan ke arah dua lelaki yang sedang menunggunya. Langkah dokter wanita itu seketika terhenti sebelum benar-benar dekat dengan brankar pasien. Sepasang mata indahnya menatap punggung lelaki yang selama ini membuatnya bertanya-tanya akan keberadaannya. Lelaki yang membuat detak jantungnya berdegup kencang setiap kali mengingat pertemuan-pertemuan mereka. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN