Part 45 (Anugerah)

1374 Kata
Rania hanya menggeliat saat merasakan kecupan di keningnya. “Sayang, bangun. Kamu tidak Tahajud?” bisik Bara di telinga sang istri. Tidak ada respons dari wanita yang dicintainya itu. Padahal, biasanya Rania yang lebih dulu bangun untuk salat malam dan membangunkan suaminya yang lelah karena bekerja hingga larut di warungnya. Bara meletakkan telapak tangannya di kening sang istri untuk mengecek apakah istrinya sedang demam. Ia lalu meletakkan telapak tangannya di keningnya sendiri untuk membandingkan. Hasilnya sama. Tidak ada tanda-tanda demam pada sang istri. ‘Apakah istriku terlalu kelah?’ batin Bara. Ia lalu mencium pipi sang istri dan kembali berbisik di telinganya. “Rania, Sayang .... Ayo kita salat malam.” Ia elus-elus kepala sang istri. Rania kembali menggeliat dan perlahan membuka matanya. Bara tersenyum dan mengecup lembut kening Rania. “Ayo salat, Sayang,” ajak Bara lagi. Rania tersenyum dan mengangguk meski wajahnya masih tampak terlihat mengantuk. Bara lantas membantunya untuk duduk. “Kamu lelah?” tanya lelaki itu. Rania menggeleng. “Hanya mengantuk saja, Kak,” jawab Rania. “Ikut salat malam tidak?” “Ikut. Rania wudu dulu, Kak.” Bara mengangguk, lalu menggendong sang istri di kedua lengannya hingga membuat Rania terkejut. Rasa kantuk yang tadi mendera pun mendadak hilang. “Eh, Kakak mau ngapain?” pekik Rania spontan. “Bantu istriku ke kamar mandi.” “Ih, Rania kan bisa jalan sendiri.” “Memanjakan istri tidak masalah, kan?” Rania tersenyum. Ia terima saja perlakuan sang suami yang membawanya hingga ke depan pintu kamar mandi di dapur rumah kontrakan mereka. “Apa aku boleh ikut masuk?” goda Bara dengan mengerlingkan sebelah matanya setelah menurunkan sang istri. “Ih, Kakak genit!” Rania tersipu malu dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi lalu mengunci pintunya. Bara tertawa kecil melihat sang istri yang masih saja tampak malu-malu jika ia menggodanya, meski sudah beberapa bulan mereka menikah. Ia pun kembali ke kamar dan membuka mushaf sambil menunggu istrinya selesai membersihkan diri dan berwudu untuk melaksanakan salar malam bersama. Selesai salat, Rania langsung berbaring di kasur dan memejamkan matanya. Ia benar-benar tampak lelah sekali malam ini. Bara menghampiri istrinya dan berbaring di samping kekasih hatinya itu. Ia lantas memeluk sang istri yang berbaring menghadapnya. “Kamu tidak enak badan?” tanya Bara. Rania menggeleng. “Tidak tahu juga, Kak. Rania cuma merasa tubuh Rania rasanya lelah dan pegal-pegal. Padahal aktivitas Rania tidak ada yang berbeda dengan biasanya.” “Sini Kakak pijat.” Bara hendak bangkit, tetapi sang istri melarangnya. “Tidak usah, Kak. Kita istirahat saja sebelum subuh.” “Ya sudah. Tidurlah, Sayang,” ucap Bara, lalu mencium kening sang istri hingga wanita dalam dekapannya itu memejamkan mata.” *** Bara baru saja selesai membuat sarapan ketika sang istri menghampirinya di dapur dengan memeluk lelaki itu dari belakang. Kebiasaan yang sering dilakukan Rania jika melihat sang suami sedang berperan menjadi tukang masak profesional dalam rumah mereka. Bara memang sering membuatkan sarapan untuk dirinya dan wanita terkasih. Ia ingin memberikan yang teristimewa untuk bidadarinya itu, meski Rania sering kali melarangnya agar wanita itu saja yang membuat sarapan untuk mereka berdua. Dan pagi ini, Bara melarang Rania untuk turun ke dapur karena melihat kondisi sang istri yang masih tampak lelah meski sudah selesai mandi dan bersiap untuk berangkat kerja. “Ayo, sarapan!” ajak Bara yang kini berbalik memeluk istrinya dengan posisi saling berhadapan. “Yuuk.” Mereka duduk di kursi. Dua piring sandwich sudah tersaji di meja. Juga sepiring pepaya dan apel yang sudah dipotong-potong, serta dua gelas s**u. Semuanya tampak lezat dan menggugah selera. Namun, setelah gigitan pertama pada sandwich-nya, Rania langsung merasa mual. Ia lantas berhenti mengunyah dan merasakan perutnya yang seperti diaduk-aduk. “Kamu kenapa, Sayang?” tanya Bara panik melihat ekspresi sang istri. Rania hanya menggeleng dan mencoba menelan makanannya. Namun, mual terasa semakin hebat. Ia tak tahan lagi untuk memuntahkan makanan yang sudah masuk ke perutnya. Ia pun segera berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan makanan yang baru saja ditelannya. Bara yang panik melihat sang istri muntah-muntah, segera menghampiri. “Kamu kenapa, Sayang?” tanya Bara seraya memapah sang istri yang tampak lemas. “Tidak tahu, Kak. Rasanya perut Rania mual sekali.” “Ayo duduk dulu.” Bara membantu sang istri berjalan dan duduk kembali di kursi mereka. “Minum, Sayang.” Ia menyodorkan s**u hangat untuk wanitanya. Tetapi Rania menolak dan ingin minum air putih hangat saja. Bara pun bergegas mengambilkan air hangat untuk istrinya. “Sejak semalam Kakak lihat kamu lemas sekali. Tidak usah berangkat kerja hari ini, ya? Nanti kita ke dokter saja,” ujar Bara. “Ke Dokter Rania?” Rania masih saja bisa bercanda di tengah rasa mual yang masih tersisa. Bara pun tertawa kecil menanggapi ucapan sang istri. “Iya, dokter cintaku,” ucap Bara gemas sambil mencubit pipi istrinya. “Rania mau sarapan buah saja, ya, Kak. Maaf tidak termakan sandwich-nya,” ucap Rania. “Tidak apa-apa. Nanti Kakak yang habiskan.” Bara lantas menyuapi sang istri dengan beberapa potong pepaya dan apel yang sudah ia siapkan di meja. Rania tiba-tiba berhenti mengunyah dan mengingat sesuatu. “Kak, sepertinya ....” Ia sengaja menggantung ucapannya sembari mengumbar senyum, yang membuat sang suami penasaran. “Kenapa?” tanya Bara tak sabar. “Rania sudah telat datang bulan seminggu,” bisik Rania, yang membuat sepasang mata Bara terbelalak. “Itu ... artinya ....” Ekspresi Bara yang terkejut sekaligus senang berbaur menjadi satu. “Tapi belum tahu juga, Kak. Ini kan masih perkiraan saja. Bisa saja Rania hanya masuk angin,” terang sang istri. Bara mengangguk. “Kalau begitu, kita periksa saja.” “Belikan saja testpack, Kak.” “Siap!” Bara segera berdiri dan berlari ke kamar mereka. “Mau ke mana, Kak?” teriak Rania dari dapur. “Beli testpack!” sahut Bara dari dalam kamar, yang langsung berlari keluar rumah setelah mengambil dompet dan helm. Ia tak sabar untuk segera melihat hasilnya. Dan berharap istrinya benar-benar sedang mengandung saat ini. Rania yang masih duduk di kursinya, tersenyum dan menggeleng melihat tingkah sang suami. “Semoga benar-benar positif, Ya Allah,” gumamnya. Sepuluh menit kemudian Bara kembali dengan membawa dua buah alat pengetesan kehamilan dengan merek yang berbeda. Ia pun segera menyodorkannya kepada sang istri. “Ini, Sayang. Ayo, kita tes!” ujarnya dengan penuh semangat. Rania tersenyum melihatnya. “Kak, kalau hasilnya ternyata masih belum seperti yang kita harapkan—“ “Sst ...!” Bara menempelkan telunjuknya di bibir sang istri. “Apa pun hasilnya, sudah ada atau belum, cintaku tetap tidak akan berubah. Aku tetap bahagia bersamamu.” Kata-kata sang suami membuat Rania senang dan haru. “Aku mencintaimu karena Allah,” ucap Bara, lalu mengecup kening Rania. Darah berdesir dalam tubuh wanita itu, akibat merasakan cinta yang dalam dan tulus dari sang suami. “Ana uhibbuka fillah, Suamiku,” balas Rania, disusul dengan mencium bibir suaminya itu, sebelum beranjak ke kamar mandi dengan membawa dua alat tes kehamilan. Bara menunggu di depan pintu kamar mandi dengan rasa penasaran yang sangat tinggi akan hasilnya. Tak lama, Rania keluar dengan ekspresi wajah sedih. Dari wajah istrinya itu, Bara bisa menangkap hasil dari tes yang didapatkan. Ia pun segera memeluk istrinya dengan erat dan mengelus rambut sang bidadarinya. “Tidak apa-apa. Belum saatnya. Allah memberi waktu untuk kita pacaran dulu,” hibur Bara. Rania melepas pelukannya dan tersenyum, lalu mengangkat dua alat tes kehamilan di hadapan Bara. Bara mengernyit heran dengan hasil yang tertera di alat tersebut. “Dua garis, Kak,” ucap Rania dengan senyumnya, yang sangat berbeda dengan ekspresinya saat keluar dari kamar mandi tadi. “Artinya?” tanya Bara heran. “Positif. Aku hamil, Kak.” Bara sampai ternganga mendengar jawaban Rania akibat rasa senangnya yang besar. Ia ingin segera memeluk istrinya lagi. Namun, kembali ia turunkan tangannya. “Tunggu! Kenapa ekspresimu waktu keluar dari kamar mandi seperti itu?” selidik Bara. Rania semakin tersenyum. Rencananya untuk mengusili sang suami berhasil. “Kamu ngerjain Kakak?” Rania tertawa kecil. Bara yang gemas langsung mengangkat sang istri dan membawanya mengelilingi meja makan. Tawa bahagia di pagi yang cerah itu membuat suasana di rumah mereka semakin hangat. Akan ada seseorang yang akan membuat kehangatan dan keceriaan di rumah mungil Bara dan Rania bertambah. Sebuah anugerah yang harus dijaga dan dibesarkan dengan baik dalam tuntunan syariat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN