Part 46 (Lahirnya Jagoan Kecil)

1107 Kata
Kabar gembira menyelimuti kebahagiaan keluarga Rania, termasuk Pandu dan istrinya yang hingga saat ini belum dikaruniai momongan. Kehamilan Rania menjadi awal baru dalam rumah tangganya bersama Bara, juga awal baru dalam keluarga besarnya. Anak dalam kandungannya merupakan calon cucu pertama di keluarga ayah Rania. Tak heran, keluarga itu membuat acara syukuran di rumahnya atas kabar gembira hadirnya calon buah hati dalam rahim Rania. Umi, Rania, beserta Zahra, kakak iparnya, juga beberapa orang ibu-ibu tetangga sibuk menyiapkan makanan di dapur untuk menyambut anak-anak yatim piatu yang mereka undang untuk turut merasakan rezeki dan nikmat yang Allah berikan. Pandu masih bertugas di kepolisian. Sementara Bara dan ayah mertuanya membereskan perabotan di dalam rumah dan menggelar karpet besar untuk tempat duduk bersama anak-anak yatim tersebut. Rasa bahagia terpancar dari wajah-wajah seluruh anggota keluarga itu. Tak terkecuali Bara, yang begitu bersemangat dengan acara syukuran atas kehamilan pertama sang istri. Senyum terus terkembang di wajah tampannya. Sesekali ia ke dapur untuk melihat bidadarinya yang cantik sedang membantu memotong-motong bahan di meja makan. Rania yang menyadari seseorang tengah memperhatikannya, menoleh dan tersenyum kepada sang suami. Bara menyambutnya dengan mengerlingkan sebelah matanya seperti pria yang sedang menggoda seorang gadis. Ibu-ibu yang membantu memasak, juga kakak ipar dan Umi, tersenyum melihat kelakuan sepasang suami istri itu. Keduanya tampak seperti dua sejoli yang sedang dimabuk asmara. Dan keduanya berharap akan selamanya bisa terus menyemai cinta dan bersemi meski rambut sudah memutih semua. Setelah salat Asar usai dilaksanakan, rombongan anak-anak yatim yang diundang untuk turut merasakan kebahagiaan keluarga itu pun tiba. Acara makan-makan bersama, doa, serta berbagi bingkisan dan amplop berisi sejumlah uang selesai ditunaikan. Bara dan Rania tampak senang tak terkira. Ucap syukur kepada Allah pun mengalir deras dari bibir mereka atas karunia terindah yang diberikan saat ini. *** Detik demi detik terus berlalu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Kini usia kehamilan Rania sudah memasuki masa-masa persalinan. Sambil menunggu hari yang ditunggu-tunggu tiba, Rania masih bekerja di rumah sakit untuk menunaikan tanggung jawabnya terhadap para pasien-pasiennya. “Sudah mendekati harinya, kan, Sayang? Kamu tidak ambil cuti sekarang?” tanya Bara yang sedikit khawatir jika sewaktu-waktu bayinya lahir sedangkan sang istri masih harus bekerja. “Nanti saja, Kak, setelah anak kita lahir.” “Tapi Kakak khawatir kalau tiba-tiba sudah waktunya.” “Tenang saja. Ada Allah yang selalu menolong hamba-Nya. Lagi pula, Rania kan bekerja di rumah sakit. Kalau kontraksi, tinggal ke dokter kandung saja,” terang Rania. Bara mengangguk paham. “Jadi Kakak jangan terlalu khawatir, ya,” pinta Rania, lalu mendaratkan bibir di pipi suaminya. “Insyaa Allah,” ucap Bara seraya mengangguk. “Segera telepon Kakak jika sudah ada tanda-tanda,” pinta Bara. “Insyaa Allah, suamiku.” Bara lantas mengantar Rania ke rumah sakit seperti biasa. Lalu kembali ke rumah dan akan menjemput sang istri di sore hari. Rania bekerja seperti biasa dari pagi hingga siang. Namun, setelah makan siang dan salat zuhur, ia merasakan perutnya mulai kontraksi. Namun, ia masih bekerja menangani pasien karena frekuensi kontraksi yang dirasakan masih belum terlalu sering. Selepas salat Ashar, Rania tidak tahan lagi dengan rasa sakit di perutnya. Tanda-tanda bayinya akan segera lahir juga sudah muncul. Ia segera mendatangi rekannya, seorang dokter kandungan untuk mengecek kondisinya. “Sudah bukaan tiga. Kamu tidak boleh lagi bertugas, Rania,” ujar Dokter Rima, dokter kandungan yang bertugas di rumah sakit saat itu. “Jalan-jalanlah di ruangan ini agar segera penuh pembukaannya,” pinta Dokter Rima. “Baik, Dokter.” Rania menuruti kata-kata rekannya. Tak lupa ia menelepon sang suami untuk memberi kabar agar lelaki itu segera datang menemaninya. Ia juga menelepon ibunya agar turut menemani di saat-saat penting dan genting seperti ini. Sebab, kehadiran suami dan ibu adalah penyemangat tersendiri bagi Rania saat akan melahirkan buah hatinya ke dunia. Di tempat lain, Bara yang sedang berada di warungnya untuk menyiapkan berbagai hal sebelum warung buka, segera meluncur ke rumah sakit. Doa-doa terus ia rapal sepanjang perjalanan agar sang istri bisa melahirkan dengan mudah dan selamat bersama buah hatinya. Sesampainya di rumah sakit, Bara segera menuju ruangan yang diberitahukan oleh sang istri. Ruang persalinan normal. Bara mengetuk pintu. “Itu mungkin suami saya, Dok,” ucap Rania pada Dokter Rima. Dokter kandungan itu pun meminta asistennya untuk membuka pintu. Rania tersenyum lega melihat kedatangan sang suami. Sementara, wajah Bara terlihat panik melihat sang istri yang tampak kesakitan di brankar persalinan. “Bagaimana, Sayang? Apa yang bisa Kakak lakukan?” tanya Bara. Ia bingung harus bagaimana menghadapi sang istri yang akan melahirkan buah cinta mereka. “Temani saja, Mas, istrinya. Juga banyak-banyak berdoa,” sahut Dokter Rima dengan ramah. “I-iya. Terima kasih, Dokter.” Bara mengusap-usap kening sang istri yang sudah tak lagi berbalut jilbab. Satu tangan lainnya menggenggam erat tangan Rania yang berkali-kali merintih kesakitan akibat bayi yang sedang mencari jalan lahir. “Kamu pasti bisa, Sayang. Kamu kuat,” bisik Bara, lalu mencium kening istrinya. Rania tersenyum di tengah rasa sakit yang mendera. Tak lama, gelombang air yang besar keluar dari jalan lahir. Dokter Rima segera bertindak bersama asistennya untuk membantu persalinan anak pertama sepasang suami istri itu. Beberapa menit kemudian, seorang bayi laki-laki yang mungil pun terlahir ke dunia. Tangisnya menciptakan senyum bahagia di wajah kedua orang tua. Rasa sakit sesaat sebelum melahirkan, kini berganti rasa bahagia yang tak bisa Rania ucapkan dengan kata-kata. Air matanya mengalir, menggambarkan rasa bahagia yang ia luahkan dengan tangis. Bara memeluk erat sang istri dan menghapus air mata bidadarinya itu. Ia turut merasakan perjuangan dan rasa sakit istrinya selama proses persalinan, tanpa mengalihkan pandangan dari Rania sedetik pun. “Alhamdulillah. Terima kasih, Sayang. Sudah melahirkan anak kita,” bisik Bara di telinga istrinya. Jika tidak ada orang lain di ruangan itu, ingin rasanya Bara meleburkan tangis bersama sang istri. Rania memeluk bayi mungil yang sudah dibersihkan oleh Dokter Rima. Sepasang suami istri itu memandang bahagia sang anak. “Wajahnya mirip Kakak,” ucap Rania senang. “Iya. Uuh, anak ayah,” ucap Bara gemas sambil mencium pipi bayinya. Pintu ruangan terbuka. Kedua orang tua Rania baru saja tiba. Rania dan Bara tersenyum senang melihat kehadiran Abi dan Umi. “Maafkan Umi datang terlambat, Sayang,” ucap Umi. “Tidak apa-apa, Umi. Alhamdulillah bayinya sudah lahir.” Umi mengambil alih bayi dalam dekapan Rania. Sementara Rania akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Bara terus saja menggenggam tangan sang istri selama bidadarinya itu menjalani perawatan pasca persalinan hingga dipindahkan ke ruangan lain. Rasa cintanya yang besar, semakin bertumbuh setelah melihat sendiri bagaimana perjuangan istrinya dalam melahirkan buah cinta mereka. “Aku mencintaimu, Sayang. Terima kasih untuk semua perjuanganmu,” bisik Bara yang membuat Rania merasa menjadi wanita paling bahagia. Keduanya saling menatap penuh cinta, lalu memeluk sang buah hati penuh kehangatan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN