5. Bertatap Muka

1768 Kata
Renata mengambil langkah dan berdiri di samping Saga di hadapan Teguh. Tak ada ekspresi berarti yang ia tunjukkan meski berdiri berhadapan dan bertatap muka secara langsung dengan sang mantan suami seakan-akan perasaannya yang dulu murni untuk Teguh telah lenyap tak bersisa. “Apa yang anda lakukan di sini? Ini toilet wanita, Tuan ….” Arah pandang Renata tertuju pada id card yang menggantung di leher Teguh dan berpura-pura membacanya. “Tuan Teguh,” pungkasnya. “Lalu bagaimana dengan asisten anda sendiri?” balas Teguh disertai senyum tersirat. Renata melirik Saga dan mengatakan, “Oh, dia asisten pribadi sekaligus bodyguard-ku jadi, pengecualian baginya.” Teguh tak mengalihkan sedikitpun pandangan dari Renata. Mengamati setiap jengkal tubuhnya dari ujung kaki hingga kepala. Dan yang paling ia perhatikan adalah, wajahnya. Wajah Renata benar-benar bersih tanpa noda, bekas jerawat yang dulu menghiasi wajahnya lenyap. “Tidak perlu berbasa-basi lagi, Renata Naurah. Atau, apa harus kupanggil mantan istriku?” ucap Teguh tiba-tiba. “Sst.” Telunjuk Renata berdiri di depan bibirnya memberi isyarat agar Teguh diam. “Bisa tolong pelankan suaramu? Aku tidak mau orang tahu bahwa aku sudah pernah menikah dengan seorang bajingan.” Teguh melebarkan mata, tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya. Renata tersenyum miring melihat reaksi Teguh. Ia bersedekap kemudian kembali mengatakan, “Jika aku jadi kau, aku akan diam. Bukankah memalukan jika orang tahu kau yang dulu membuangku? Dengan alasan karena aku hanyalah babi guling di matamu. Dan saat aku berubah, kau mau mengakui bahwa aku adalah mantan istrimu? Meh, orang-orang pasti akan menertawakanmu, Tuan Teguh.” Renata mengatakan kalimat panjang itu dengan raut wajah mengejek. Ia pun merasa puas melihat reaksi Teguh, melihat ekspresi yang pria itu tunjukkan . Gemeretak gigi Teguh terdengar, kepalan tangannya juga semakin menguat. Dalam hati ia mengumpat, memaki Renata yang amat sangat sombong sekarang. Sayangnya, ia tak bisa melakukan itu. Wajah cantik Renata serta jabatan Renata membuatnya harus menahan diri. Tiba-tiba perhatian Renata kembali jatuh pada id card Teguh. Ia meraih id card itu dan membaca jabatan di bawah nama Teguh. “Marketing manager?” gumam Renata dan menatap Teguh dengan tatapan sinis seraya melepas tangannya dari id card Teguh. “Jabatan yang cukup bagus tapi … sangat jauh di bawahku,” ucap Renata kemudian mengambil langkah. Saga yang sedari tadi hanya diam menyaksikan, mengikuti langkah Renata di belakangnya. Berjalan seperti ajudan setia yang selalu melindunginya. Sementara itu, Teguh masih berdiri di tempat. Ia marah tapi, ia tak bisa melawan Renata mengingat dia adalah orang penting, bagian dari perusahaan. Jika ia melakukan sesuatu padanya atau macam-macam, bisa saja ia akan kehilangan pekerjaan. “Argh! Sial!” Teguh berteriak dengan kaki menendang udara. Ia tampak frustasi mengingat perubahan Renata yang begitu drastis. Bukan hanya wajah dan tubuhnya, sifatnya juga jauh berbeda sekarang. Dan yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, bagaimana bisa Renata berubah secepat ini, menjadi orang kaya hanya dalam waktu tiga tahun hingga berhasil merombak sekujur tubuh. Di lain sisi, Renata terus melangkah menuju lobi di mana Hanry dan staf lain menunggunya. “Sudah puas?” Renata menghentikan langkah kala Saga mengatakan kalimat pertanyaan itu. Ia hanya diam selama beberapa saat kemudian mengatakan, “Puas? Aku tidak akan pernah puas sebelum melihatnya menderita.” Saga menatap punggung Renata dalam diam setelah mendengar jawaban wanita itu. Dan saat Renata tiba-tiba membalikkan badan menghadapnya, ia sedikit terkejut. “Tapi, apa kau lihat wajahnya itu? Bukankah itu sangat lucu?” ucap Renata diikuti tawa setelahnya. Tawa yang bagi sebagian orang terlihat mengerikan. “dia marah tapi, tidak berani melakukan apapun padaku. Hahaha, bukankah dia benar-benar pecundang? Coba saja dulu saat aku belum seperti ini, dia mungkin sudah mencekikku,” imbuhnya. Setelah mengatakan kalimat terakhir, tawa Renata menghilang, lenyap entah ke mana digantikan wajah sendu yang membuat iba. Saga hanya diam. Ia sudah terbiasa dengan sikap Renata seperti ini. Mungkin jika orang lain melihat, akan menyebutnya gila tapi, tidak bagi Saga. Renata menarik nafas panjang dan mengembuskannya lewat mulut. Ia kemudian bersikap normal seperti saat di depan semua orang kemudian membalikkan badan dan kembali melangkah. Saga terdiam sejenak dalam posisinya kemudian mengikuti langkah Renata dengan satu tangan masuk saku celana. Pandangannya menatap lurus ke depan pada punggung Renata yang tampak kuat tapi begitu rapuh di matanya. Suatu saat Saga ingin melihat Renata yang menjadi dirinya sendiri, melihat sisi Renata yang sebenarnya, bukan Renata yang sekarang yang begitu pandai memakai topengnya. *** Pandangan semua orang tertuju pada Renata yang duduk di kursi meja makan kantin perusahaan. Suasana kantin lebih ramai dari biasanya sebab, berita mengenai kehadiran Renata ke kantin telah menyebar. Karyawan yang penasaran pun, rela antri dan berdesakan mengantri makanan demi bisa melihat orang yang digembor-gemborkan sebagai penyelamat perusahaan. “Wah, dia cantik sekali. Dia juga masih muda.” “Ya ampun, kulitnya seputih s**u, tubuhnya juga begitu indah.” Bisik-bisik terdengar dari para karyawan yang duduk tak jauh dari tempat duduk Renata. Semua orang memuji kecantikannya. “Maaf, Nona, tempatnya kurang nyaman membuat makan siang sedikit terganggu,” ucap Hanry yang duduk di depan Renata. Renata hanya menyunggingkan senyuman dan melanjutkan acara makan siangnya. Setelah selesai makan siang, Renata dan Saga bersiap pulang. Kunjungan hari ini selesai dan mungkin Renata akan berkunjung lagi dalam waktu dekat. Bukan untuk mengurus pekerjaan, melainkan kembali memberi Teguh siraman air hujan yang membuatnya kedinginan. “Sekali lagi terima kasih atas kehadiran Nona hari ini. Kami juga meminta maaf jika selama anda di sini, anda merasa kurang puas dengan semua yang ada di sini,” ujar Hanry sambil menjabat tangan Renata. “Tidak, Tuan Hanry. Aku yang berterima kasih karena mendapat sambutan yang hangat dari anda dan semua orang di sini. Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku akan mencari investor agar perusahaan ini lebih maju dan berkembang kedepannya,” balas Renata tanpa melunturkan senyumnya. Senyuman merekah timbul di bibir Hanry. Mendengar apa yang Renata katakan membuat wajahnya semakin bersinar cerah. Setelah selesai saling berbasa-basi, Renata memasuki mobil setelah Saga lebih dulu masuk dan duduk di depan kemudi. Tak lama, mobil pun melaju meninggalkan area perusahaan. Renata menatap keluar kaca mobil dalam diam dan tiba-tiba teringat sesuatu. Ia pun meminta Saga mengantarnya ke suatu tempat sebelum mereka pulang. Tak lama setelahnya, Renata sampai di sebuah pemakaman. Ia duduk bersimpuh di samping makam dengan batu nisan kecil bertuliskan nama Yogi. “Apa kabar, Sayang, mama datang,” ucap Renata sambil mengusap nisan sang putra. Saga yang berdiri di belakang Renata, hanya bisa menatapnya iba. Ia seolah merasakan betapa sakitnya menjadi Renata, kehilangan sang putra saat usianya masih bayi dan dengan cara yang tragis. Bisa disebut, Yogi mati di tangan ayahnya sendiri. “Oh, ya, tadi mama bertemu ayahmu yang sialan itu. Kau tahu bagaimana reaksinya saat melihat ibu? Harusnya kau melihatnya, kau pasti akan senang dan menertawakannya.” Renata bicara seakan-akan bicara dengan sang putra yang dibayangkannya anaknya itu telah tumbuh menjadi balita yang menggemaskan. “Dia benar-benar terkejut melihat ibu, Sayang. Dan dia takut pada ibu, tidak berani pada ibu.” Renata tertawa setelah mengatakannya kemudian kembali mengatakan, “Tapi, ibu akan membuatnya lebih terkejut lagi setelah ini. Setelah ini ibu akan memberi ayahmu yang sialan itu kejutan-kejutan yang membuatnya terkena serangan jantung. Kau harus melihatnya, Yogi. Kau harus melihatnya dan kita akan menertawakannya bersama.” Saga tak mengalihkan pandangan dari Renata yang bicara seorang diri. Mungkin orang lain akan melihat Renata seperti wanita aneh dan gila, tapi Saga sama sekali tidak berpikir seperti itu. Mungkin itu adalah cara Renata mengobati rindu pada buah hatinya. Tik! Tik! Saga mendongak kala merasakan rintik hujan jatuh di atas kepala. Ia kemudian menunduk dan mengajak Renata pergi sebelum hujan turun. Melihat langit begitu gelap, hujan deras sepertinya akan segera mengguyur. “Sebentar lagi hujan. Sebaiknya kita kembali ke mobil,” ajak Saga. “Tunggu sebentar. Aku mau bercerita pada Yogi dulu tentang hari ini,” tolak Renata. Saga hanya diam dan memilih tetap berdiri di posisi. Perlahan rintik-rintik mulai menjadi hujan. Saga membuka jasnya digunakannya untuk memayungi Renata. Namun, Renata sama sekali tak terkejut karenanya karena sudah terbiasa. Ia sudah terbiasa dengan kehadiran Saga yang selalu melindunginya. Tak lama setelahnya setelah merasa puas mengunjungi makam Yogi, Renata mengajak Saga pulang. Dengan tubuh basah kuyup keduanya memasuki mobil. Achu! Renata menyatukan tangan menutupi mulut saat ia bersin. Di saat itu, sebuah mantel menutupi tubuhnya yang basah. Renata menoleh dan menatap Saga cukup lama. Pria itu selalu perhatian dan Renata lupa sejak kapan. Tapi, ia masih ingat saat ia belum lama tinggal di rumah kakeknya, pria itu selalu bersikap dingin. Renata mengalihkan pandangan, mengeratkan mantel untuk membuatnya sedikit lebih hangat dan mengatakan, “Jangan terlalu perhatian, bagaimana kalau nanti aku jatuh cinta padamu?” Saga melirik Renata sekilas. Hatinya seketika bergetar saat Renata mengatakan kalimat itu. “Kukira kau tidak bisa jatuh cinta lagi,” sahut Saga. Meski dalam hati ia berharap ucapan Renata akan jadi nyata tapi mulutnya berkata lain. Renata terkekeh, hal yang cukup jarang ia tunjukkan. “Kau benar. Tapi … entahlah. Kurasa tidak apa-apa jika denganmu.” Entah hanya bercanda, berniat menggoda, atau sungguhan. Tapi, apa yang Renata ucapkan membuat jantung Saga kian berdebar. Semburat kemerahan juga terlihat samar di wajahnya. Namun, dirinya tak akan membiarkan Renata melihatnya dan mengetahui perasaannya sekarang. Ia tetap bersikap tenang seperti tak peduli. “Bercanda. Apa kau menganggapnya serius?” Ulu hati Saga serasa dicubit mendengarnya. Namun, ia berusaha menahan rasa kecewa dengan segera mengubah ekspresi wajahnya. Harusnya ia sadar, saat ini yang ada di pikiran Renata adalah balas dendamnya, tak ada yang lain lagi. “Jika ada gadis baik yang menyukaimu, terima saja. Kau tidak akan bersamaku selamanya,” sambung Renata. Seiring berjalannya waktu, hubungannya dan Saga memang dekat, tapi semata seperti sang nona dan ajudan, tidak lebih. Selama hampir 3 tahun ini yang ada di pikirkan Renata hanya lah balas dendamnya, ia sama sekali tak memikirkan hal lain apalagi cinta. “Hari ini kau terlalu banyak bicara. Apa karena sudah bertemu dengan mantan suamimu? Kau merasa senang?” ucap Saga disertai senyum sinis seakan mengejek Renata. Renata berkedip pelan tanpa menunjukkan ekspresi berarti sambil menatap Saga dari posisi. “Senang?” ucap Renata dengan setengah memiringkan kepala. Tiba-tiba senyumnya merekah dan berubah menjadi kelakar tawa. “Tentu saja, tentu saja aku sangat senang! Apa kau tak melihatnya? Wajahnya benar-benar pucat, aku bahkan menduga dia sampai ngompol di celana. Hahahaha!” Perlahan tawa Renata menghilang. Wajah yang menunjukkan kepuasan dan tawa jahat sebelumnya, tiba-tiba lenyap. “Tapi … itu belum seberapa. Ini baru awal. Setelah ini dia akan sangat menderita.” Saga melirik Renata tanpa mengucap sepatah kata. Mempercepat laju kendaraannya, tak lama setelahnya mereka tiba di rumah. Saat keluar dari mobil, baik Renata dan Saga dibuat terkejut melihat seseorang telah berdiri di depan pintu. “Selamat sore.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN