4. Istri yang Dibuang Menjadi Atasan

1115 Kata
Tubuh Teguh menegang, keringat dingin mengalir melewati pelipis. Ia seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya. Sebelumnya ia dibuat terpesona tapi saat menyadari wanita itu begitu mirip dengan Renata, keterpesonaan itu menjadi keterkejutan luar biasa disertai pertanyaan besar muncul dalam kepala. Ia bertanya-tanya, apakah benar wanita itu adalah Renata? Atau, hanya memiliki kemiripan wajah semata? Seringai tipis terukir di bibir Renata tanpa ada yang menyadari. Ini seperti yang ia bayangkan, melihat Teguh terkejut hingga wajahnya pucat. Namun, itu membuktikan sesuatu, artinya Teguh masih mengingatnya, mengingat wajahnya. Jika tidak, tentu Teguh tak akan sadar bahwa dirinya adalah mantan istrinya dengan perubahan besar yang terjadi padanya. Saga yang berdiri di sebelah Renata, meliriknya lewat ekor mata. Ia berdiri sebagai asisten pribadi Renata yang selama ini mengurus semuanya. Mewakili Renata sebagai pemilik saham yang ikut andil dalam menyukseskan perusahaan. Pandangan Saga kini mengarah lurus pada Teguh yang tampak tegang dan pucat. Itu berarti, pria itu mengenali Renata. Tak mungkin pria itu memasang wajah demikian jika tak mengenali mantan istrinya. Sang direktur berjalan mendekat, menyambut Renata dengan senyuman ramahnya dan uluran tangan untuk berjabat tangan. “Selamat pagi dan selamat datang, Nona Renata Naurah. Suatu kehormatan bagi kami atas kedatangan anda hari ini.” Mata Teguh melebar mendengar nama yang terucap dari mulut sang atasan. “Re- Renata Naurah ….” batin Teguh terbata. Itu berarti wanita itu benar-benar Renata, mantan istrinya yang dulu ia buang dan siakan. Pertanyaan besar semakin timbul dalam benak. Bagaimana bisa Renata menjadi pemilik saham terbesar? Selain itu, wanita itu berubah 180 derajat dari terakhir kali mereka bertemu. Teguh masih berdiri di tempat saat sang direktur mempersialakan Renata masuk ke dalam gedung. Ia pun hanya mematung saat Renata berjalan lewat di depannya. Wanita itu sama sekali tak meliriknya bahkan seolah tak melihatnya padahal, Renata sempat mengarah pandangan ke arahnya sebelumnya. Teguh menoleh menatap punggung Renata yang berjalan bersama beberapa petinggi perusahaan. Harusnya dirinya menjadi salah satu yang berjalan di belakang Renata mengantarnya berkeliling melihat setiap lantai dan ruangan di gedung berlantai 15 tersebut. Namun, rasanya ia ingin tetap di sana bahkan menghilang dari pandangannya. Di tempat lain, seorang wanita tampak pucat menatap benda kecil di tangan. Tangannya gemetar hingga benda seukuran cottonbud itu jatuh dari tangannya. “I- ini … tidak mungkin,” ucap wanita itu yang tak lain adalah Sari. Ia sudah berusaha agar dirinya tak hamil tak ingin apa yang Renata alami terjadi pada dirinya sendiri. Akan tetapi, bagaimana bisa ini terjadi? Sari melangkah mundur dan terduduk lemas di tepi ranjang dengan frustasi. Masih teringat jelas alasan Teguh main serong dengannya. Pria itu memilihnya karena Renata berubah menjadi jelek setelah hamil dan melahirkan. Sekarang, dirinya hamil, apa Teguh juga akan meninggalkannya? Sari berusaha mengatur napas agar bisa berpikir dengan tenang. “Tenangkan dirimu, Sari. Teguh tidak akan meninggalkanmu karena dia benar-benar mencintaimu. Apapun yang terjadi, dia akan tetap berada di sisimu. Ya, dia akan tetap di sisiku,” ucap Sari dalam hati. Meski begitu, rasa khawatir dan cemas tak terbendung terlihat jelas di wajahnya. Sari meremas sprei di bawahnya, ia akan merahasiakan ini hingga benar-benar yakin Teguh mau menerima kehamilannya, dan benar-benar yakin Teguh tak akan meninggalkannya seperti Teguh meninggalkan Renata. *** “Aku cukup terkesan dengan semuanya. Tempat kerja yang rapi, para karyawan yang serius dalam bekerja serta orang-orang yang ramah. Terima kasih sudah memberi saya waktu melihat suasana kantor yang menyenangkan ini Tuan Henry,” ujar Renata setelah sesi berkeliling kali ini selesai. “Harusnya saya yang berterima kasih Nona. Berkat Nona perusahaan ini semakin berkembang bahkan hanya dalam waktu singkat. Dan saya tak menyangka anda benar-benar masih muda dan sangat cantik,” sahut direktur perusahaan tersebut yang entah sudah ke-berapa kalinya kata cantik yang ditujukan untuk Renata terucap dari mulut. Renata terkekeh ringan membuat hati semua orang seakan meleleh melihatnya. Senyumnya begitu manis dan menawan. “Jangan terlalu memuji, Tuan,” ujar Renata. Saga tak melepas perhatian dari Renata sedikitpun bahkan sedetikpun. Melihat bagaimana wanita itu berinteraksi dengan pria paruh baya di depannya, ada sedikit rasa kesal terlebih mendengar pria setengah tua itu memuji Renata. Renata melirik jam tangannya. “Eh? Sudah saatnya jam makan siang?” gumamnya. “Ah, anda benar. Kalau begitu, mari. Kami sudah menyiapkan tempat makan siang untuk anda dan asisten anda,” ujar Hanry dengan senyuman yang terus terukir sejak Renata tiba. “Di mana?” tanya Renata. “Di sebuah restoran tak jauh dari sini. Kami sudah memesan–” “Bagaimana jika makan siang di kantin kantor saja?” potong Renata. Hanry tampak terkejut. Ia tak mengira Renata justru ingin makan di kantin perusahaan yang diperuntukkan untuk para karyawan. “Maaf, maksud anda ... apa anda yakin?” tanya Hanry memastikan. “Ya. Apa ada yang aneh dengan itu?” tanya Renata yang seakan dapat membaca makna dari raut wajah Hanry. “Ah, tidak-tidak. Hanya saja, saya kira anda akan merasa tak nyaman jika makan siang bersama para karyawan.” “Di manapun atau bersama siapapun, kurasa bukan satu masalah yang besar. Dan lagi, samakan saja makan siangku dengan para karyawan,” ujar Renata. Hanry semakin tampak kebingungan dan kian terkejut karenanya. Jika tamu lain kadang meminta menu spesial bahkan makan di restoran berbintang, Renata justru sebaliknya. “Ba- baik lah.” Pada akhirnya Henry hanya menurut sesuai permintaan Renata dan dalam hati tak berhenti memuji. Namun, sebelum pergi ke kantin untuk makan siang, Renata lebih dulu ke toilet ditemani Saga. Kesempatan itu pun digunakan Hanry menyuruh petugas kantin menambah menu makan siang kali ini. “Kau mau mengikutiku sampai toilet?” Saga menghentikan langkah kala Renata menghentikan langkahnya dan berkata demikian padanya. Keduanya telah berada di depan toilet wanita sekarang. Saga hanya diam kemudian mengambil langkah dan berdiri di sisi pintu menuju toilet wanita. Menyandarkan punggungnya pada dinding, satu kakinya terangkat menekan dinding sementara kedua tangannya bersedekap d**a. “Jangan terlalu lama. Mereka menunggumu,” ucap Saga tanpa menoleh pada Renata. Renata mendengus kemudian segera masuk ke toilet. Belum lama setelah Renata pergi, derap langkah kaki terdengar mendekat ke arah Saga. Saga yang sedari tadi tetap memasang waspada, berdiri tegak menghadap orang itu yang tak lain adalah Teguh. “Apa yang anda lakukan di sini? Ini toilet wanita,” ucap Teguh disertai senyum tipis mengandung makna. “Bagaimana dengan anda sendiri?” balas Saga bernada dingin. Teguh menatap Saga dengan pandangan tak terbaca. Sedari tadi ia juga memperhatikan Saga dan merasa Saga seperti tak mau mengambil jarak dari Renata. Sekalipun Saga adalah asisten pribadinya, ia merasa curiga. “Sebenarnya aku ada urusan dengan atasan anda. Dia ada di dalam, bukan? Aku akan menunggunya,” ucap Teguh tanpa menghapus senyuman yang terlihat menjijikan di mata Saga. Tepat di saat itu, Renata keluar dari toilet. Pandangan dua pria itu pun seketika tertuju padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN