“Siapa?” tanya Renata melihat pria yang menyapa dan membawa satu buket bunga.
“Maaf, benar ini rumah nona Renata? Ada kiriman bunga dari tuan Hanggara,” ujar pria itu yang tak lain kurir pengantar bunga.
Renata menatap bunga yang terulur diberikan padanya. Ia seperti enggan menerima tapi pada akhirnya menerima bunga tersebut.
“Silakan tanda tangan di sini,” pinta pria kurir itu sebagai tanda bukti barang diterima. Renata pun membubuhkan tanda tangannya dan setelahnya kurir itu pergi.
“Dia sangat tergila-gila padamu,” ucap Saga bernada sindiran.
“Jika kau mau kau boleh menerimanya,” ucap Renata seraya memberikan buket bunga di tangan pada Saga. Ia kemudian segera masuk ke dalam rumah ingin segera mandi dan memakai mantel yang hangat.
Saga masih diam di posisinya menatap Renata yang memasuki rumah. Tak heran jika banyak pria mengagumi Renata bahkan tergila-gila salah satunya, Hanggara. Hanggara adalah putra salah satu pemimpin di perusahaan kakek Renata. Sudah lama kakek Renata mempercayakan salah satu perusahaannya pada rekan sekaligus orang kepercayaannya.
Saga menatap bunga di tangan dalam diam kemudian membuangnya ke tempat sampah. Setelahnya ia pun masuk ke dalam rumah dan segera menuju kamarnya untuk membersihkan diri.
Di sisi lain, Renata memasuki jacuzzi berisi air hangat dan berendam. Menikmati nyamannya air hangat yang seolah memberinya pijatan sampai tiba-tiba ia teringat Hanggara. Padahal ia sudah memberi isyarat penolakan pada pria itu tapi, pria itu tak menyerah. Padahal, dulu pria itu menghinanya.
“Benar-benar tak punya malu,” gumam Renata dengan senyum sinis terukir di bibirnya. Rasanya ia masih ingat saat ia dan pria itu bertemu 3 tahun yang lalu, saat ia belum lama tinggal di rumah kakeknya dan belum banyak mengalami perubahan seperti sekarang. Dulu pria itu mengejeknya mengatakan tak mungkin kakeknya memiliki cucu jelek seperti dirinya. Tapi, lihatlah sekarang, pria itu kini mengejar-ngejarnya.
Renata menyandarkan punggungnya dan setengah menengadah menatap langit-langit kamar mandi yang tampak luas. Ia tak mengerti kenapa semua lelaki sama saja? Hanya memandang fisik sebagai penilaian utama. Teguh menceraikannya karena ia tak lagi menarik di matanya dan Hanggara terus mengejarnya saat dirinya menjadi cantik jelita.
Renata memejamkan mata dan tiba-tiba saja terbersit satu pikiran dalam kepala yang membuat sudut bibirnya terangkat. Sepertinya ia bisa memanfaatkan Hanggara untuk rencana balas dendamnya pada mantan suaminya.
Di tempat lain, Teguh pulang lebih awal dari jam seharusnya, beralasan istrinya baru saja mengalami sedikit kecelakaan.
“Eh? Kau sudah pulang?” sambut Sari saat membuka pintu. Ia sedikit terkejut melihat suaminya pulang lebih awal.
Teguh hanya diam dan berjalan masuk ke dalam rumah. Melonggarkan dasi, ia duduk sedikit kasar di sofa.
Sari memperhatikan Teguh dan merasa ada yang aneh dengannya. Wajah Teguh tampak kusut dan frustasi. Ia mengambil langkah setelah menutup pintu, berdiri di sisi sofa yang suaminya duduki dan mencoba mencari tahu apa yang terjadi.
“Ada apa? Apa telah terjadi sesuatu?”
“Renata. Dia tadi datang ke kantor,” ucap Teguh bernada sedikit emosi. Namun, dalam kepala terus terngiang wajah cantik Renata. Ia tak mengira Renata bisa secantik itu sekarang ditambah memiliki tubuh sempurna.
“Apa? Renata? Apa yang dia lakukan? Dia melamar pekerjaan?” tanya Sari yang sedikit melebarkan mata saat mendengar penuturan suaminya.
Teguh menatap Sari dengan pandangan tak terbaca. Dalam pandangan mata, seolah Renata berdiri di samping Sari dan ia membandingkan keduanya. Dulu Sari sangat cantik hingga ia memilihnya daripada Renata. Tapi, sekarang Renata jauh, dan lebih jauh cantiknya daripada Sari.
Teguh segera mengalihkan pandangan dan berusaha meraih kesadaran. Ia tidak boleh memikirkan Renata karena ia merasa, Renata pasti kembali untuk tujuan tertentu.
“Dan lagi, sudah tiga tahun tidak ada kabar, kenapa tiba-tiba dia muncul di kantormu? Kenapa di tidak melamar di perusahaan lain?” imbuh Sari. Ia merasa sedikit resah saat kembali mendengar nama Renata. Mungkin, karena ia merasa bersalah telah mengkhianati persahabatan mereka.
“Dia datang bukan untuk melamar. Tapi, dia datang sebagai pemilik saham terbesar. Lebih dari lima puluh persen saham dikuasai olehnya,” ujar Teguh yang seketika membuat mata Sari melebar hingga ia menutup mulut.
“A- apa? Ba- bagaimana bisa?” tanya Sari tak percaya.
“Mana kutahu? Aku juga baru mengetahuinya hari ini.”
Sari tak sanggup berkata-kata. Pasti dibutuhkan dana yang banyak hingga Renata bisa memiliki lebih dari setengah saham perusahaan.
Sari terduduk lemas di samping sang suami. Hanya mendengar berita itu sudah membuat wajahnya pucat.
“Apa dia melihatmu? Apa yang dia katakan?” tanya Sari.
“Apa lagi? Tentu saja dia menjadi sangat sombong. Dia bahkan menghinaku,” kata Teguh. “yang membuatku penasaran, bagaimana bisa dia memiliki uang untuk membeli saham-saham itu?” imbuhnya. Ia sempat mendengar kabar lewat bisikan bahwa Renata membeli saham dari pemilik saham sebelumnya dengan harga cukup mahal.
Sari haya diam, tubuhnya masih lemas. Ia juga tidak tahu.
Sari memijit pangkal hidungnya hingga dahi. Mendengar berita ini sudah membuat kepalanya sakit, bagaimana jika ia dan Renata bertemu kembali? Secara langsung? Ia harap dirinya bisa menghadapi Renata jika sampai itu terjadi.
Tiba-tiba Sari teringat sesuatu. Ia melirik Teguh yang tampaknya belum baik-baik saja. Sepertinya ia memang harus menyembunyikan kehamilannya lebih dulu dari suaminya itu.
Tak terasa hari telah berganti dan di sana, di ruang makan rumah Renata, ia menikmati sarapan dengan tenang. Seperti biasa, para pelayan telah menyiapkan semuanya sebelum ia beraktivitas.
Perhatian Renata tertuju pada kursi di ujung meja yang berhadapan dengannya. Tak seperti biasa kursi itu masih kosong. Harusnya Saga sudah duduk di sana.
Renata mengakhiri acara sarapannya, membersihkan mulut menggunakan tisu dan bertanya pada pelayan yang hendak membereskan piring bekas sarapannya.
“Di mana Saga?”
Belum sempat pelayan membuka suara, suara berat Saga lebih dulu terdengar.
“Aku di sini,” ucap Saga yang memasuki ruang makan. Ia kemudian duduk di kursi yang biasa ia duduki.
Renata memperhatikan Saga dengan seksama. Ia dapat melihat wajah Saga sedikit pucat.
“Kau sakit?” tanya Renata penuh selidik.
Saga yang hendak memulai sarapan, menghentikan kegiatan sejenak dan menatap Renata.
“Apa aku terlihat sakit?”
Renata mengangguk. “Wajahmu pucat.”
Saga hanya diam dan melanjutkan sarapannya yang tertunda.
“Di rumah saja. Aku akan berangkat sendiri,” ucap Renata seraya bangkit dari duduknya. Hari ini ia akan mengunjungi salah satu perusahaan kakeknya yang diberikan padanya. Dan seperti biasa, Saga harus menemaninya. Namun, melihat Saga tidak baik-baik saja, ia tidak akan memaksanya ikut dengannya.
“Tidak. Aku tetap harus menemanimu,” sahut Saga segera.
Renata berjalan ke arah Saga dan menempelkan punggung tangannya di keningnya.
“Kau benar-benar sakit,” kata Renata merasakan kening Saga yang sedikit panas.
Saga menyudahi sarapannya meski masih separuh. Ia bangkit berdiri dan mengatakan, “Ayo berangkat.”
Renata mulai kesal. Ia tidak mau Saga memaksakan diri karena dia sedang sakit.
“Ada apa denganmu? Sudah kubilang, di rumah saja. Kau sakit!”
Saga yang hendak melangkah, menatap Renata dengan pandangan tak terbaca. Ia punya alasan tersendiri kenapa tak membiarkan Renata pergi seorang diri. Renata bagai berlian berjalan yang kerap mengundang perhatian banyak orang. Ia tidak ingin berlian yang dicintainya tergores oleh orang-orang tak bertanggung jawab.
“Nona, ada tamu untuk Nona.” Suara salah seorang pelayan pemecah adu tatap antara Renata dan Saga.
“Siapa?” tanya Renata.
“Tuan Hanggara.”