BAB 13: KUNJUNGAN BAGINDA RATU

1981 Kata
Mereka tiba di rumah jam satu siang. Saat tiba di rumah, Donny tidak bisa bangkit dari posisi duduknya di mobil. Kakinya sudah tidak bisa diajak bekerja sama, akhirnya dia dibantu Supri dan Jono menuju kamarnya. Dia sudah menahan nyeri di kakinya sejak di sekolah ke empat. Karena terburu buru ingin segera pergi dari sekolah ketiga, dia langsung menggendong Morin tanpa memikirkan kakinya yang masih di gips. Karena saat itu dirinya sedang panik, dia tidak merasakan nyeri di kakinya saat berjalan cepat dengan menyeret kakinya saat menuju mobil dengan menggendong Morin. Morin sudah tidak ringan, berat anak itu sekitar dua puluh lima kilogram. Dia baru menyadari nyeri di kakinya saat berjalan di sekolah ke empat, tapi dia tahan karena ini adalah tempat terakhir yang mereka kunjungi hari ini. Saat tiba di kamarnya, Donny langsung meminta Supri untuk mengambilkan tongkat penopang kakinya yang dia simpan dalam lemari, agar nanti dia bisa berjalan tanpa membebani kaki kirinya sama sekali. Sebenarnya setelah pulang dari rumah sakit, Donny tidak menggunakan penopang kaki itu. Dia berusaha berjalan dengan menyeret kakinya saja, itu tidak terlalu sulit. Lagipula kaki kirinya hanya sedikit nyeri, tidak terasa nyeri yang mengganggu. Dokter juga mengatakan jika tulang kakinya hanya retak sedikit, fungsi gips supaya tulangnya yang retak tetap pada tempatnya, jadi sempurna saat tersambung kembali. Toh kaki kanannya baik baik saja, jadi kuat menopang kaki kirinya. Kecuali di saat seperti ini, kebodohannya sendiri yang membuat kakinya nyeri luar biasa. Setelah mengatur posisi duduk yang sesuai dengan keinginan Donny, Supri dan Jono keluar dari kamar Donny. Tidak lama kemudian Mbok Dian datang dengan makan siang Donny. Donny langsung minum obat pereda nyeri dari dokter setelah selesai makan. Dia mencoba untuk tidur, tubuh dan pikirannya perlu istirahat. Namun apa daya, itu hanyalah angan.. Bukan Morin namanya kalau dia tidak menyusahkan orang. Tiba tiba pintu dibuka kasar dan seseorang masuk tanpa permisi. “PAPA….” Morin berteriak memanggil Donny, dia melanggeng masuk. Donny yang hampir tertidur langsung terlonjak. Dia langsung terduduk di ranjang, jantungnya berdebar kencang.. Tiba tiba Morin masuk kamarnya dan berteriak memanggilnya dengan suara cemprengnya, membuatnya kaget. Tanpa ijin dan aba aba apapun, Morin langsung naik ke ranjang Donny dan memberikan senyum manisnya. Setelah meredakan debaran jantungnya yang disebabkan oleh suara stereo Morin, Donny baru bisa mengeluarkan suaranya “Ada apa Morin?” katanya dengan menghela napas. Alamat batal istirahat ini mah. “Morin sudah menentukan” katanya sembari tersenyum lebar, memamerkan deretan giginya yang putih. “Menentukan apa?” Donny yang masih mengumpulkan nyawa belum konek. “Sekolah papa, aish.. Papa masih muda koq sudah pikun sich?” “Ooohh… jadi Morin mau sekolah yang mana?” Donny menghela napas lagi. Dia bisa cepat tua kalau begini terus, kenapa anak ini sulit sekali bicara dengan sopan. Mungkin dia harus membawa Morin bertemu ibunya. Mama pasti bisa mengajari Morin. “Sekolah keempat papa. Morin sudah memikirkannya sedari tadi. Sekolah kedua memang seragamnya bagus, tapi fasilitasnya mirip sekolah Morin yang lama. Jadinya agak malas juga yah. Kan sekarang rumah kita bagus, sekolahnya juga harus di tempat keren dong” tuh kan. “Nah jadi pilihannya sekolah ke empat. Seragam disana cukup bagus koq, fasilitasnya lengkap, disana juga ada kolam renang blablabla.” lanjut Morin menjelaskan dengan semangat empat lima. “Apalagi gurunya ganteng ganteng, aishh.. Morin pasti betah deh disana, setiap hari serasa lagi syuting drakor" Morin senyum senyum bahagia sendiri. Hanya dia dan Tuhan yang tahu apa yang dia bayangkan sekarang. Donny tidak berkomentar, dia tidak tahu harus berkomentar apa sebenarnya. Mariska, mengapa otak anakmu bisa begini? Kamu yang selama ini belangnya belum terlihat olehku atau sifat ini turunan suamimu, batin Donny. **** Setelah acara tidur siang yang batal itu, yang pada akhirnya membuat Donny tidak bisa tidur lagi walaupun badai topan sudah berlalu dari kamarnya, Donny memutuskan untuk menghubungi Ibunya. Saat berbicara dengan Morin tadi, dia teringat Ibunya. Karena dia sangat sibuk sejak kecelakaan itu, dia bahkan lupa memberi kabar pada keluarganya. Ibunya mengangkat telepon di percobaan ketiga, setelah dua kali tidak tersambung. Ternyata ibunya sedang menyiapkan bahan makanan untuk memasak makan malam nanti. Setelah menanyakan kabar keluarganya yang masih baik semua, Donny mulai menceritakan tentang musibah yang menimpanya jumat minggu lalu. Ceritanya baru sampai mengenai kakinya yang harus di gips, ibunya sudah menginterupsi kalimatnya dengan panik. “Ya ampun nak, kaki kamu sampai di gips.. Tunggu ya Don, mama akan segera berangkat kesana, mama akan membantumu. Alamatmu masih yang di apartemen itu kan?” terdengar suara krasak krusuk di seberang sana. “Eh tidak perlu datang ma, Donny tidak apa apa koq..” Donny jadi ikutan panik kalau ibunya mau datang sekarang. “Alamat kamu masih sama?” Nada suara Ibunya mulai meninggi karena Donny belum menjawab pertanyaannya. Donny masih belum sempat menjawab, terdengar suara teriakan di seberang telepon lagi “PAPA, MAMA MAU BERANGKAT KE JAKARTA SEKARANG! DONNY KECELAKAAN!!!” terdengar suara kursi jatuh dan derap langkah mendekat di seberang sana. Pasti ayahnya kaget dan terburu buru mendatangi ibunya. “Mah, kecelakaan sudah minggu lalu, Donny baik baik saja, hanya..” Donny tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. “KAKI KAMU DI GIPS, ITU TIDAK BAIK BAIK SAJA DONNY!!! KIRIM ALAMAT KAMU SEKARANG JUGA!!” titahnya “Mah..” kalau dalam kondisi biasa Donny akan memanggil ibunya 'ma', tapi kalau kondisi ribet atau ada masalah akan menjadi 'mah' dengan nada memelas. “Tuuuttt….” sambungan telepon sudah ditutup sepihak. Sekarang Donny semakin pusing. Maksudnya memberi tahu kalau dirinya baik baik saja dan minggu depan seharusnya dia bisa berjalan tanpa gips dan penopang sama sekali, walau jalannya masih akan pincang mungkin sekitar dua minggu lagi. Dia pikir ibunya sudah tidak begitu protektif pada anak anaknya, karena mereka bertiga telah dewasa. Tapi ternyata tetap saja masih tetap sama, seorang Ibu selalu merasa anaknya adalah anak anak. Mungkin karena semenjak usianya 16 tahun, dia dan kak Darius sudah tidak pernah membuat masalah berarti, jadi mama pun tidak terlalu mencampuri kehidupan mereka. Beda dengan Darren, anak itu sedari kecil memang suka membuat ulah. Padahal hukuman dari mama mengerikan, mama bisa menghajar sampai anaknya babak belur, mama itu ahli bela diri. Jika anak orang lain berbuat salah mungkin hanya ditampar atau tidak diberi makan dalam jangka waktu tertentu oleh ibu mereka. Beda dengan mereka, jika melakukan kesalahan, apalagi yang disengaja, maka akan mendapatkan pukulan atau tendangan oleh ibunya. Kasus terbaru adalah saat Darren pulang setelah urusan culik menculik Eloisa. Yang menghajarnya bukan kak Darius yang tunangannya dibawa kabur, tapi mama. Mama baru berhenti saat Eloisa melindungi Darren dengan tubuhnya sendiri. Alhasil, wajah Darren saat menikah seperti maling jemuran yang tertangkap. Tapi dia masih beruntung karena masih bisa nikah saat itu, walau babak belur. Jika tidak dihentikan Eloisa, mereka mungkin akan menikah di rumah sakit, atau bukan tidak mungkin tidak jadi menikah karena calon pengantin prianya sudah koit . Aku dan kak Darius tidak berani ikut campur saat mama menghukum, papa apalagi. Bisa kami disuruh tidur di luar kalau berani melawan mama. Lamunan Donny terputus saat ponselnya berdering, ternyata ayahnya yang menelepon. Ayahnya menanyakan kondisinya dan dan Donny menjawab yang sebenarnya, yah memang dia baik baik saja selain kakinya. Kemudian ayahnya memberi tahu jika baginda ratu sudah bertitah kalau hari jumat nanti, dia beserta Darren dan Eloisa akan berangkat ke Jakarta juga. Kepala Donny yang sedari pagi sudah mumet karena tingkah Morin, sekarang rasanya mau pecah. Sekarang dia sakit kepala dalam artian sesungguhnya. Donny mencari mbak Diah, dia butuh paracetamol. Dia bahkan belum bercerita pada ayahnya mengenai kematian Mariska dan wasiat Mariska agar dia mengurus Morin. Nanti saja ceritanya setelah semua ngumpul. Daripada ngulang mulu ceritanya, kan cape. Setelah mengirimkan alamat tempat tinggalnya yang sekarang pada Ibunya, Donny memanggil Iis untuk menyiapkan kamar untuk Ibunya. Masih ada dua kamar kosong di rumah ini, jadi Ibu, Ayah dan Darren beserta Eloisa bisa menginap semua disini. Sekarang dia hanya harus menunggu baginda ratu datang. Jika mengambil penerbangan paling cepat, kemungkinan Ibunya akan tiba sekitar jam tujuh atau delapan malam. **** Jam setengah enam sore Donny mulai gelisah, dia sekarang duduk di teras rumah, setiap lima menit dia memeriksa ponselnya. Chat yang dia kirimkan pada ibunya hampir tiga jam lalu belum dibalas. Ibunya sudah membaca chatnya, tapi tidak membalasnya. Padahal dia meminta ibunya memberi tahu kode penerbangannya agar bisa meminta Supri atau Jono mengantarnya ke bandara untuk menjemput Ibunya. Tiba tiba sebuah mobil limousine berhenti di depan rumahnya. Kening Donny berkerut, dia tidak merasa membuat janji dengan Pak Andreas. Hanya Pak Andreas kenalannya yang mungkin menggunakan mobil semahal itu ke rumahnya. Sebelum supir sempat membukakan pintu, pintu mobil sudah dibuka dari dalam dengan terburu buru. Tampak seorang wanita cantik paruh baya berambut cokelat dengan mata biru yang sudah sangat dia kenal. Donny langsung berdiri menyambut ibunya. “Mama?” Donny masih bingung kenapa ibunya bisa naik limousine. Lagipula bukannya baru tiga jam lalu dia menelepon ibunya. Ini perjalanan Surabaya - Jakarta, bukan Bandung - Jakarta. Wanita itu langsung menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Dia berlari menuju Donny dan langsung memeluk putranya. Belum sempat Donny balas memeluk, ibunya sudah melepaskan pelukannya dan melihat ke kakinya yang di gips, perlahan menaikkan pandangannya meneliti hingga ke wajah Donny. “Hallo Don. Apakah kakimu masih sakit?” “Tidak ma, sudah tidak apa apa koq. Hanya retak sedikit dan dokter bilang harus di gips supaya nanti tulangnya menyambung kembali dengan sempurna.” ini yang tadi mau dia bilang sebelum ibunya panik dan langsung memutuskan untuk berangkat ke Jakarta. “Oh syukurlah. Kamu tenang saja, sekarang ada mama disini, mama akan membantu kamu. Kamu pasti sulit untuk mengurus diri sendiri, kan kamu hanya tinggal sendiri ng...:” Rosaline baru menyadari keadaan sekitarnya. Dia menyapukan pandangannya ke sekeliling. Keningnya mulai berkerut. Dimana ini? Yang dia tahu anaknya tinggal di apartemen kecil di daerah grogol. Kenapa sekarang dia tinggal di rumah mewah seperti ini? “Donny, ini rumah siapa?” tanyanya bingung. “Rumahku ma” jawaban yang membuatnya langsung mendapat pelototan dari ibunya. “Sejak kapan kamu punya rumah seperti ini? Uang dari mana kamu bisa beli rumah seperti ini?” cecar Rosaline. Donny memegang tangan ibunya untuk menenangkan, dia tahu emosi ibunya mudah tersulut. “Donny bisa jelaskan mah….” Donny belum selesai bicara saat sebuah suara memanggilnya. “PAPA…” suara cempreng Morin terdengar bersama derap langkah kakinya. “Sudah waktunya ma- kan” suara cemprengnya mengecil saat melihat ada orang lain, dan matanya tertuju pada tangan ayahnya yang memegang tangan wanita itu. Pandangan mata Morin dan Rosaline bertemu. Morin menatap curiga wanita yang menurutnya berada terlalu dekat dengan ayahnya. Dia menilai kalau wanita itu lebih tua dari papanya, tapi wanita itu masih cantik. Rambutnya sebahu bewarna cokelat dan matanya biru seperti boneka-boneka Morin. Apakah wanita itu juga mengejar ayahnya? Bahkan sampai datang ke rumah seperti sekarang ini? Matanya menyipit saat kembali melihat tangan ayahnya yang masih memegang tangan wanita itu. Ayahnya adalah miliknya! Insting melawan siluman ularnya kembali. Sedangkan Rosaline terperangah mendengar ada anak kecil yang memanggil papa pada anaknya. Dia memperhatikan anak itu dan mengira ngira berapa usia anak itu. Apakah anak anaknya ternyata bandel? kemaren Darren menculik ELoisa, sekarang Donny sudah punya anak. Melihat tatapan permusuhan di mata anak itu membuat Rosaline tersadar dari kekagetannya. Rosaline menegakkan punggungnya dan melepaskan tangannya dari jemari Donny, wajahnya mendingin saat kembali menatap anaknya dengan tatapan tajamnya. Donny yang menyadari perubahan pada diri ibunya berusaha menjelaskan tapi dia tergagap karena melihat tatapan mematikan Ibunya. “Do.. Donny bi.. bisa jelas… ouch!” belum sempat dia menyelesaikan kata katanya saat Sebuah pukulan mendarat di perutnya. Membuat dirinya yang tidak siap langsung jatuh dengan b****g seksinya menyentuh lantai duluan. BUK! “PAPA!!!” Morin langsung berlari menghampiri Donny yang sudah terduduk di lantai dan sedang meringis sambil memegangi perutnya akibat pukulan yang diterimanya. Morin marah, dia tidak terima ayahnya dipukul. Dia berdiri diantara Donny dan wanita itu. Dia menatap garang pada Rosaline. Rosaline yang sedari tadi memperhatikan Morin menaikkan sebelah alisnya, dia penasaran apa yang akan dilakukan anak itu. “PERGI SANA MAK LAMPIR!!!” usir Morin. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN