BAB 7: KISAH CINTA DONNY

991 Kata
Untuk hubungan romantisku, aku sudah 2 kali pacaran sebelum bertemu dengan Mariska. Pacar pertama waktu masih kuliah di Surabaya, namanya Lusi, dia anak pengusaha makanan di Surabaya, anaknya cantik tapi bossy dan narsis, dan selalu harus telat. Orang penting mah muncul belakangan katanya. Lama kelamaan tidak ada yang mau mengajakku ngumpul lagi. Kalaupun masih ada teman yang cukup sabar ditelatin mulu, setelah Lusi datang, maka topik pembicaraan hanyalah dirinya. Setelah pacaran 6 bulan dengan Lusi, aku tidak punya teman lain, kecuali teman tegur sapa. Akhirnya aku tidak tahan dan aku berniat memutuskan Lusi. Aku pusing memikirikan selama 1 minggu bagaimana cara memutuskan Lusi? biar bagaimanapun akulah yang mendekati Lusi terlebih dahulu, jadi aku tidak mau terlalu menyakiti Lusi. Setelahnya aku menyiapkan diri melihat derai air mata, tetapi ternyata reaksinya Lusi diluar dugaan “APA? lu mau putusin gue? loe nga ngaca apa? lu tuh cuma modal tampang ganteng dikit doang” “ Lu gak punya apa apa lagi buat dibanggain!! udah bagus gue mau ma elo!” “ Dari awal gue terima lu juga cuma karena kasihan lu ngejer gue udah lama” “ Seorang Lusi itu tidak pernah diputusin, selalu gue yang putusin! Ngerti nga lu?” “ Denger baik baik ya, gue yang putusin lu sekarang!! “ “ Inget, GUE PUTUSIN LOE SE - KA - RANG !!! " suaranya semakin melengking saat dia mengeja tiap suku kata, membuatku telingaku berdengung. Setelah meneriakkan kata kata itu dia berlalu begitu saja sembari mengibaskan rambutnya, meninggalkanku yang masih terbengong dan b***k* sementara. Kurasa semua orang di kampus mendengar kalau aku diputuskan Lusi saat itu, kerasnya teriakannya ajubileh, ngalahin Whitney House kayaknya. Ya, karena teriakan mautnya, semua orang taunya aku yang diputuskan, seperti keinginan Lusi. Tapi setidaknya, setelah itu aku kembali memiliki teman, hidupku kembali normal seperti sebelum berpacaran dengan Lusi. **** Pacar keduaku waktu aku baru kerja di Jakarta. Namanya Cindy, kami berkenalan saat aku masih bekerja sebagai sales kosmetik, Cindy adalah salah satu pedagang online yang mengambil barang dari kantorku. Cindy cantik dan baik, anaknya sangat bersemangat, dia masih kuliah sembari memulai bisnis onlinenya sendiri. Untuk urusan kuliah dan pekerjaanya, dia patut diacungi jempol, tapi masalahnya kalau urusan pribadi, dia plin plan ngak ketulungan. Setiap kali janjian mau kencan, dia selalu belum siap saat aku tiba di rumahnya. Dia selalu bingung mau pake baju apa? Dia memintaku untuk membantunya memilihkan pakaian yang cocok untuk kencan hari itu. Dia seperti fashion show di depanku, menampikan lebih dari 10 setel pakaian. Belum kalau Cindy lagi maksa bajunya harus matching denganku. Sebelum aku berangkat ke rumahnya, Cindy sudah nanya “ Kak Donny mau pake baju warna apa?” “ Biru” Dan ternyata, pas aku sampai rumah Cindy, warna bajunya tetap beda, aku bilang ke Cindy pake kaos warna biru, yang adalah biru gelap, dan Cindy sudah siap dengan dress biru muda. Cindy langsung balik ke kamarnya untuk cari baju warna biru gelap yang menurutnya paling matching dengan bajuku, terus dimulailah kembali ritual fashion show ala Cindy. Itu baru baju, belum sepatu, tas, dompet, dan mungkin pakaian dalam. Kapan perginya? dan kali ini aku cuma tahan 2 bulan. Lusi dan Cindy beda tipe, tapi keduanya selalu membuat aku telat kemana mana. Setelah itu aku kapok pacaran dulu. Aku mau konsen mengejar karir, urusan perempuan nanti saja, kalau sudah sukses tidak akan sulit mencari pacar. **** Pacar ketiga adalah Mariska. Mariska adalah seorang guru TK. Aku mengenal Mariska secara tidak sengaja saat melakukan survey ke sekolah tempat Mariska mengajar. Pemilik sekolah ingin membangun gedung sekolah baru dan mengajukan pinjaman dana di bank tempatku bekerja. Mariskalah yang ditugaskan untuk membantuku saat melakukan survey. Dari pertemuan pertama berlanjut ke pertemuan pertemuan berikutnya yang awalnya dikarenakan masih mengurus proses pendanaan sekolah tersebut. Tanpa kusadari, aku mulai menunggu waktu untuk kunjungan ke kesekolah itu lagi. Mariska wanita yang cantik, wajahnya oval, alis tipis melengkung sempurna, mata besar dengan bulu mata lentik, hidung mancung dan bibir kecil. Rambutnya hitam lurus sebahu, membuatnya terlihat seperti anak kuliah, padahal usianya 27 tahun, sama sepertiku. Setelah 2 minggu dari proses pendanaan itu selesai, kami tidak berkomunikasi lagi. Terkadang aku terdiam menatap layar ponselku memikirkan apa yang sedang dia lakukan di sekolah. Akhirnya aku mencoba menghubungi Mariska untuk mengajaknya pergi makan, dan tapi ternyata dia malah mengundangku berkunjung ke rumahnya. Wow, bahagia banget hatiku. Aku datang ke rumahnya di jam 6 sore sesuai dengan waktu yang sudah kami sepakati. Mariska menyambutku bersama seorang gadis kecil. Betapa kagetnya aku saat Mariska memperkenalkan gadis kecil itu adalah putrinya, Morin, yang baru berulang tahun ke 8. Aku masih kebingungan, tidak tahu harus bereaksi seperti apa, karena sebagian besar obrolan kami selama ini berkisar mengenai urusan pekerjaan jadi memang aku tidak banyak bertanya tentang Mariska, sebenarnya aku memang tidak tahu apapun mengenai wanita itu. Aku tidak mengira bahwa Mariska sudah mempunyai seorang anak, karena satu hal yang paling penting adalah aku tidak ingin mengganggu rumah tangga orang, jadi aku harus memastikan status Mariska “Apakah suamimu juga ada dirumah? “Suamiku sudah meninggal tiga tahun yang lalu” sahutnya pelan. “Maafkan aku, aku tidak tahu, aku turut berduka” jawabku penuh sesal. Ternyata aku malah membuka luka lama Mariska. “Tidak apa, aku juga tidak memberitahumu..” “Mari masuk, aku sudah menyiapkan makan malam”kata Mariska mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Di meja makan kami mengobrol santai, aku memuji masakan Mariska. Mariska ternyata pintar memasak, aku jadi teringat ibuku yang juga pandai memasak. Mengingat ibu membuatku merindukan wanita itu, sudah lebih dari setengah tahun aku tidak pulang ke Surabaya. Saat makan, aku mencoba mengajak Morin mengobrol, mulai dari menanyakan sekolahnya, makanan kesukaannya, dan lainnya. Aku merasa Morin enggan menjawab pertanyaanku, mungkin dia masih merasa asing dengan keberadaanku. Saat aku pamit pulang, Mariska mengantarku sampai ke motor dan mengucapkan terima kasih karena sudah mengajak Morin mengobrol. Aku agak bingung menaggapi kata katanya, tapi tetap mengangguk. Setelah mengucapkan selamat malam aku mulai melajukan motorku. Dalam perjalanan pulang aku menimbang apakah akan terus mendekati Mariska atau tidak? ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN