BAB 8: AWAL KISAH DONNY - MARISKA 1

1056 Kata
Hari terus berganti dan tak terasa sudah satu minggu berlalu dari malam itu dan aku belum menghubungi Mariska lagi. Terkadang aku teringat padanya, ingin rasanya menanyakan kabarnya, tapi pada akhirnya aku tidak berani, karena aku sendiri masih ragu dengan perasaanku. Status janda tidak menjadi masalah untukku, tapi seorang anak itu membuatku merasa bimbang dan serba salah, bagaimana kalau ternyata anaknya tidak suka padaku? apakah aku malah harus memutuskan hubungan dengan Mariska? mungkin saja saat itu perasaanku sudah lebih dalam pada Mariska. Hal ini akan menjadi masalah di kemudian hari. Banyak hal yang harus kupertimbangkan, mengingat usiaku yang sedang menuju kepala tiga, rasanya jika memang aku mendekati wanita, sebaiknya untuk dinikahi nantinya. Terakhir berpacaran dengan Cindy itu hampir lima tahun lalu. Setelah itu aku berusaha mengejar karirku, aku tidak melirik wanita manapun. Bukan karena aku teguh pada pendirianku untuk tidak berpacaran dulu, tetapi memang tidak ada wanita yang membuatku tertarik hingga aku bertemu Mariska. Dan usahaku fokus pada pekerjaanku mulai membuahkan hasil, sekarang aku sudah menjadi kandidat sebagai salah satu calon supervisor baru di divisiku. Secara perlahan aku sudah mulai bisa menata hidupku ke arah yang lebih baik. Dari minggu berganti menjadi bulan, Mariska juga tidak pernah menghubungiku. Terkadang rasa rindu itu hadir kembali, saat waktu itu datang biasanya aku mengalihkan perhatianku pada pekerjaan. Terkecuali di malam sabtu, karena kejadian itu terjadi di malam sabtu. Aku akan duduk di balkon apartemenku, melihat keindahan kota Jakarta, merenung memikirkan apa yang harus aku lakukan dan selalu tidak mendapatkan jawaban. Akhirnya setelah dua bulan kerja keras aku berhasil, aku yang terpilih menjadi supervisor baru di kantor. Aku langsung menelepon Ibuku untuk memberi tahu kabar bahagia ini, aku tahu dia selalu membawa nama anak anaknya di setiap doanya. Ibuku sangat bahagia mendengar kabar ini, Ibu sampai berencana datang ke Jakarta untuk membuat pesta kecil, tapi aku menolaknya dengan halus, menurutku pencapaianku ini belum begitu hebatnya. Setelah melewati sedikit perdebatan tentang memboyong seluruh keluarga dari Surabaya untuk sebuah pesta kecil, akhirnya keluar juga kata sakti Ibuku. “Sudah ada calon mantu mama belum?” “ “ saat itu langsung terlintas bayangan Mariska yang sedang tersenyum. “Don? Koq tidak dijawab?” “Hm… itu..” harusnya aku bilang belum, tapi kenapa rasanya ada yang mengganjal di hati, sebenarnya tidak rela jika tidak bisa melihat senyum itu lagi. “Don?” “Donny? Kamu masih disana?" “Iya ma" aku bingung mau menjawab apa, dan entah dorongan dari mana aku mulai menceritakan tentang Mariska pada Ibu. Mama mendengarkan ceritaku tanpa banyak komentar. Setelah aku selesai bercerita, mama hanya mengatakan bahwa sepertinya Mariska adalah wanita yang baik dan jujur, dia tidak mau pria berharap padanya tanpa mengetahui kenyataan sebenarnya dia adalah janda yang sudah memiliki satu anak. “Jika kamu nyaman dengannya, coba jalani saja. Jodoh diatur oleh yang di atas, jika memang kalian tidak berjodoh, kalian pasti akan berpisah nanti. Begitu juga sebaliknya, jika kalian berjodoh, bagaimanapun kalian berusaha menjauh pasti akan tetap bersama juga pada akhirnya” “Kalau kekhawatiran kamu akan anak itu adalah karena mama dan papa, kamu tidak perlu khawatir, kami tidak akan mempermasalahkannya” Kata kata dukungan dari mama membuat keraguanku menguap. Mengapa juga aku terlalu banyak berpikir? Aku bisa coba menjalaninya dulu sehingga nanti aku dapat memutuskan apakah kami cocok atau tidak? Dan juga apakah aku dan Morin bisa saling menerima di hubungan ini? Kami mengakhiri pembicaraan setelahnya. Aku merasa lega karena beban yang mengganjal di hatiku beberapa bulan ini sudah menemui titik terang. Kurasa setelah ini aku harus mengunjungi Mariska dan mencoba peruntunganku, semoga dia tidak menolakku. *** Malam itu juga mengunjungi Mariska. Saat aku tiba, wanita itu sedang menyiapkan makan malam seperti saat sebelumnya aku datang. Saat melihatku, dia mengerjapkan mata beberapa kali, sepertinya kaget melihatku, kurasa memang dia tidak menyangka kalau aku akan datang mengunjunginya lagi. “ Donny?” panggilnya seakan bertanya maksud kedatanganku dan aku mengangguk. “ Selamat malam Mariska” “Eh, iya. selamat malam Don. Apakah ada yang bisa kubantu? raut bingung masih menghiasi wajah cantiknya. “Tidak, aku hanya ingin berkunjung. Maaf tidak mengabari kamu sebelumnya.” “ O" Wanita itu sepertinya mencoba memikirkan alasan kedatanganku. “Aku ingin bicara denganmu, apakah boleh?” Tanyaku. “Eh, iya.” Dia mengulang kata yang sama. Matanya menatap ke dalam mataku, mungkin mencoba mencari jawaban disana. “Mama, siapa yang datang?” Suara cempreng Morin dari dalam rumah memecahkan kekakuan di antara kami. Tak lama Morin keluar rumah, saat melihatku dia berkata. “Om setengah bule ngapain kesini?” Aku terdiam. Panggilannya koq.. “Morin!” Seru Mariska “Jangan tidak sopan. Om Donny datang berkunjung, kamu harus memberi salam” Omel Mariska dan anak itu memutar bola matanya. Tentu saja Donny melihatnya, sepertinya anak itu juga sengaja memperlihatkannya saat ibunya tidak menatapnya lagi, karena sekarang Mariska melihat ke arah Donny dengan tatapan meminta maaf. “Maaf Don, Morin tidak bermaksud…” Kata Mariska merasa tidak enak, tapi belum selesai Mariska bicara. “Selamat malam Om Donny. Om mau ngapain kesini?” Tanya Morin lagi. “Morin!” wajah Mariska memerah. “Kan salamnya udah ma, sekarang nanya dong tujuannya dateng itu apa?” Sahut anak itu tanpa takut. Aku tertawa melihat perdebatan kecil di depanku. Bisa kupastikan Morin bukan anak manis seperti kesan yang dia berikan di pertemuan pertama kami. Perdebatan mereka terhenti karena tawaku, pasti mereka tidak merasa ada yang lucu. Tapi sepertinya Mariska menyadari mengapa aku tertawa, wajahnya tambah merah. “Ih, om koq ketawa sendiri sih? Om gak kesambet hantu pohon mangga tetangga sebelah kan?” "Morin!” Wajah Mariska sudah semerah tomat karena malu melihat tingkah anaknya. “Om ada urusan yang harus dibicarakan dengan mama, boleh om pinjam mama sebentar?” “Ya udah, tapi jangan lama ya om, karena Morin sudah lapar” “Kamu sudah makan Don?” tanya Mariska “Belum sempat tadi. Begitu pekerjaanku selesai, aku langsung kesini” jawab Donny jujur. “Kamu mau makan di sini?” “Apakah tidak merepotkan?” “Tidak koq, memang aku sedang menyiapkan makan malam” “Ya sudah, om setengah bule makan di sini saja ya, Morin sudah lapar. Ngobrolnya nanti saja setelah makan” Dengan tidak sabar anak itu langsung menarik tanganku dan masuk ke dalam rumah. Sekarang namaku kembali lagi menjadi om setengah bule. Mariska tidak berkomentar apapun, dia hanya mengekori dari belakang. Mungkin dia sudah pasrah dengan kelakuan anaknya. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN