BAB 9: AWAL KISAH DONNY - MARISKA 2

1127 Kata
Tidak banyak obrolan di meja makan, karena baik aku ataupun Mariska memang masih canggung. Setelah selesai makan, Morin langsung bangun dari tempat duduknya seraya berkata “Om setengah bule jangan lama ya ngomong dengan mama, setelah ini mama mau membantuku membuat PR” dan dia berlalu begitu saja dibarengi seruan Mariska memanggil namanya karena kesal melihat sikap Morin yang kurang ajar. “Maaf ya Don, Morin memang anaknya usil.” kata Mariska dengan wajah memerah. “Tidak apa, sepertinya Morin anak yang bersemangat” Jawabku bingung mengartikan perilaku Morin. Mungkin anak itu tidak suka denganku. “Iya, dia memang anak yang ceria tapi bicaranya suka seenaknya. Maaf ya jika kata-katanya sedari tadi menyinggungmu” Ucapnya penuh sesal. “Oh iya, apa yang mau kamu bicarakan Don?” Lanjutnya lagi teringat maksud kedatangan Donny. “Hm.. Bisa kita bicara di luar saja?” Aku melirik pengasuh Morin yang sedang membereskan meja makan. Mariska sepertinya menyadari arah lirikanku. “Oke, kamu bisa menunggu sebentar di teras? Aku akan membuatkan teh hangat untuk kita” “Oke” Setelah itu aku berjalan menuju teras. **** Tidak lama kemudian, Mariska keluar dengan membawa dua gelas teh hangat dan meletakannya di meja. Beberapa saat kami tidak saling bicara, hanya saling curI curi pandang. Aku masih bingung harus mulai dari mana. “Jadi ada apa Don?” Tanya Mariska memulai pembicaraan. “Hm.. Aku minta maaf. Beberapa waktu ini aku tidak memberimu kabar” Aku mencoba merangkai kata kata yang berputar di benakku. Padahal aku sudah menyusun kalimat dan menghafalnya, tapi begitu berhadapan seperti ini malah otakku blank. “Tidak masalah Don, memang kita kan hanya berteman” Aku menatap Mariska saat dia mengatakan hal itu. Aku mencoba melihat ke dalam matanya, mencoba mencari clue dari kata katanya, apakah dia benar benar hanya menganggapku teman biasa? Tapi mata itu terlihat tenang, tidak terlihat emosi apapun. “Apakah aku boleh berharap lebih?” Tanyaku menatap matanya dalam. Aku tahu pesonaku sendiri, dari SMA teman temanku sudah mengatakan kalau tatapan mataku menghanyutkan. Mariska terkejut karena perkataanku dan merona. Tatapan mataku masih memaku matanya saat melanjutkan kata kataku dengan senyum menawanku. “Setelah aku pulang dari sini terakhir kali, aku banyak berpikir” “Jujur saja aku terkejut saat mengetahui kamu sudah memiliki anak" "Aku yakin kamu tahu mengapa aku menghubungimu lagi setelah urusan pekerjaan kita selesai“ Dia hanya mengangguk sebagai respon kata kataku. “Usiaku sudah 27 tahun, jikalau aku ingin memulai hubungan sekarang, kuharap itu bisa menjadi yang terakhir” Aku meraih jemarinya dan menggenggamnya lembut. Mariska terkejut karena tindakanku. wajahnya merona cantik, dia menururnkan pandangan matanya ke tautan tangan kami, tapi dia tidak menarik tangannya. Aku tidak mengatakan apapun beberapa saat, membiarkan dirinya memikirkan kata kataku. kuyakin dia pun tidak mengira aku akan mengatakan hal seperti ini. Mungkin suasana malam yang tenang damai seperti ini, yang hanya ditemani suara serangga malam membuat jiwa romantisku keluar. Aku mengangkat tangannya dan mencium punggung tangannya. “Apakah kamu mau mencoba menjalaninya denganku?” tanyaku. Mariska langsung menaikkan pandangan matanya mengikuti arah tangannya terangkat ke bibirku. Dia mencoba menarik tangannya, tapi kutahan. wajahnya sudah semerah tomat matang. Aku mencoba menatap matanya tapi dia hanya menundukkan pandanggannya, tidak berani balas menatapku. Mungkin sekarang jantungnya sedang marathon seperti jantungku. Aku menurunkan kembali tangannya dan menautkan kembali jemari kami. Aku menunggu Mariska mengakan sesuatu, apapun itu. Dari marathon sekarang jantungku buggy jumping. **** Setelah entah berapa lama kami diam dengan jari saling bertaut, mungkin tidak lama tapi bagiku terasa lamaaaa sekali di saat penantian seperti ini. Akhirnya Mariska mengangkat pandangannya, dia balas menatap ke dalam mataku. "Apakah kamu serius Don?" "Tentu saja aku serius, kalau tidak kenapa aku sekarang disini?" "Kamu yakin?" "Kalau 100 persen kurang, kubuat 1000 persen" Aku mencoba bergurau untuk meredakan ketegangan ini. Dia tersenyum saat mendengar jawaban konyolku. “Apakah kamu tidak masalah dengan Morin?” tanyanya ragu. “Aku belum mengenalnya dan juga sebaliknya dia juga baru bertemu denganku dua kali, mungkin perlahan kami bisa mencoba mengenal satu sama lain” “Aku tidak punya pengalaman dengan anak kecil, tapi bukan aku tidak menyukai mereka. Hanya saja hidup merantau seperti sekarang ini membuatku jarang sekali berhubungan dengan anak anak.” “Aku juga tidak terburu buru, kamu tidak perlu menjawab sekarang juga. Bagaimana kalau sekarang kita coba menjalaninya pelan pelan." "Tidak perlu berpacaran dulu kalau kamu belum siap. Kita coba dengan sering menghabiskan waktu bersama, berusahan saling mengenal dan mendekatkan diri. Mungkin dengan berjalannya waktu, kamu bisa lebih yakin denganku." “Dengan Morin juga?” Tanyanya setelah pidato panjangku mencoba menyakinkannya. “Well, mungkin tidak selalu dengan Morin. Karena bagaimana kita saling mengenal kalau kita selalu pergi bertiga? Tapi mungkin kita bisa mengatur waktu nanti kapan kita pergi berdua atau bertiga dengan Morin” Aku meremas lembut jemarinya. Tatapannya mencoba mencari ke dalam mataku, dan kuyakin hanya kesungguhan yang bisa dia lihat disana, karena aku memang bersungguh sungguh. Dia menatapku ragu sebelum akhirnya berkata "Morin adalah segalanya bagiku Don. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan lebih jauh jika Morin tidak setuju. Hanya dia yang kumiliki sekarang, kebahagiannya adalah kebahagiaanku" "Mungkin saja nanti kita bisa bahagia bersama? Kalau tidak dicoba tidak akan tau akhirnya bukan?" Aku tersenyum menggodanya. "Dengan catatan kamu memiliki perasaan yang sama denganku sekarang" Bodohnya kenapa aku baru ingat sekarang? Kan harusnya ditanyakan dahulu di awal baru cuap cuap merayu, kan malu kalau udah pede, gombal maksimal, eh yang situ perasaanya padaku biasa saja. "Eh.. Oh.. Aku..." Mariska tergagap, wajahnya merona lagi. Jantungku buggy jumping lagi. Elah, jangan sampai ditolak. "Sebenernya... Aku juga tertarik padamu. Tapi.. Saat kamu tidak menghubungiku lagi setelah bertemu Morin, aku mengerti. Aku juga harus sadar diri, aku hanyalah janda, punya anak lagi. Aku selalu mengingatkan diri untuk tidak berharap..." "Ssttt.. tidak ada yang salah dari menjadi janda. Kamu sudah menikah dan punya anak adalah hal yang wajar, tidak ada orang yang tahu umur manusia. Itu adalah rahasia yang diatas" aku meremas lembut jemarinya. Hatiku bersorak bahagia, ternyata perasaanku berbalas. "Nah, berarti sudah tidak ada keberatan lagi kan. Aku, kamu dan Morin, semoga kita bisa menemukan kebahagiaan bersama" Dia hanya mengangguk sebagai jawaban. Aku membawa tangannya ke bibirku dan menciumnya lagi. Mata kami bertemu, saling menatap dalam diam. Serasa dunia milik berdua, yang lain ngontrak. Di dalam rumah, Morin sedang mengintip dari ruang tamu, dia sudah stand by di belakang tirai jendela sejak Ibunya keluar. Sekarang dia menangis, dia tidak tau kalau selama ini teman ibunya yang dikenalkan padanya tidak pernah datang lagi karena dirinya. Dia ingin ibunya bahagia, dia juga ingin punya ayah lagi seperti teman temannya. Sepertinya Om Donny orang baik, karena pria itu mau menerima dirinya. Morin perlahan meninggalkan tempatnya mengintip dan kembali ke kamarnya dengan sebuah tekad, dia akan bersikap baik pada Om Donny, agar ibunya bahagia. Dan semoga, dia bisa punya papa lagi ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN