Part 24 - Ketakutan

1610 Kata
Hati seorang ibu memang begitu sensitif jika berkaitan dengan bayinya. Begitu pun dengan Sekar. Dia yang hanya membantu seorang babyy sitter yang bernama Fina itu, sekelibat dirinya harus kembali menelan pil pahit akan kerinduannya. “Aku hanya kelilipan, maaf Pak. Aku mau pergi dulu.” “Kamu tinggal di mana?” Sekar menggeleng cepat. Dia memang tak tahu akan kemana dia berteduh dari panas atau pun hujan jika datang. Sekar tak tahu arah jalan, dia hanya mengikuti kata hatinya yang akan membawanya pada suatu tempat yang pastinya terasa sangat asing bagi dirinya. “Kenalkan, namaku Teguh.” Sekar masih diam, sembari menatap sesekali wajah laki-laki yang ada di depannya itu. Lalu Sekar kembali menundukkan kepalanya. Sekar seperti ketakutan. Dia hanya ingin menjaga dirinya sendiri. “Tenang saja, aku sama sekali tak akan berbuat jahat padamu.” Sekar yang kembali mendengar suara yang baru saja keluar dari mulut laki-laki bernama Teguh, membuat Sekar berusaha untuk percaya dengan apa yang didengarnya. Teguh yang mengulurkan tangannya, dia berharap jika Sekar bersedia meraih tangannya untuk berjabat tangan. Dan ternyata, Sekar pun meraih tangan Teguh dan mereka berdua pun menyatukan tangan kanan masing-masing. “Aku Sekar.” “Kamu tinggal di daerah sini?” Pertanyaan Teguh membuat Sekar menggelengkan kepalanya dengan sangat mantap. Menandakan jika Sekar memang bukanlah penduduk di lingkungan tempatnya memijakkan kaki. “Lalu rumahmu di mana?” Lagi-lagi Sekar kembali menggelengkan kepalanya. Dia nampak tak nyaman dengan pertanyaan yang dilontarkan Teguh kepadanya. Akhirnya, Sekar pun memilih untuk beranjak dari warung itu dengan sangat cepat. Teguh pun nampak merasa aneh dengan Sekar, ada sesuatu yang tak bisa digambarkan dengan mudah menurut Teguh. Hal itu hanya disimpan dalam hatinya, sembari kedua pandang matanya mengantarkan Sekar berlalu dari warungnya. *** Ningrum sibuk menunggu kedatangan baby sitter yang seharusnya akan datang sebelum jam sepuluh malam. Ningrum menunggu dengan lunglainya. Tak ada tanda-tanda jika seseorang yang ditunggunya itu akan segera tiba. Rasa kantuk mulai mengintai dirinya. Dia yang seharian mengurusi bayinya seorang diri, membuat Ningrum terasa badannya seperti mau copot semua. Ningrum pun tak mau memejamkan matanya secepat itu. Dia ingin menunggu baby sitter yang sudah dijajadwalkan akan datang ke rumahnya. Ningrum pun pergi ke dapur. Untuk mengurangi rasa kantuknya itu, Ningrum pun mencoba membuat kopi. Agar dia tak merasa bahwa harus memejamkan mata secepat mungkin. Setelah segelas kopi telah selesai dibuatnya, Ningrum kemudian kembali bersantai di ruang tengah. Sembari menyalakan televisi agar suasana tidak terlalu sepi. Menyeruput kopi buatannya sendiri, untuk mengganjal rasa kantuknya agar bisa pergi sejenak. Ningrum mengambil ponselnya, dia mengecek pesan dalam ponsel itu. Ningrum sangat berharap jika Tono akan menghubunginya, meskipun lewat pesan bukan panggilan langsung. Akan tetapi, setelah Ningrum mengecek ponselnya, dia tak mendapati pesan dari suaminya. Ningrum semakin kesal, dia seperti tak diperhatikan oleh suaminya sendiri. Kemudian tanpa berpikir panjang lagi, Ningrum pun segera melakukan panggilan telepon untuk suaminya. Sayang sungguh sayang, Ningrum kembali mendapati ponsel sang suami dalam keadaan tidak aktif. Ningrum pun diselimuti kecurigaan yang besar. Tak biasa-biasanya Toni melakukan hal seperti itu. mematikan ponselnya hingga beberapa jam. Belum sampai selesai Ningrum meluapkan kemarahannya. Tiba-tiba saja Ningrum mendengar suara bel rumah berbunyi dengan kerasnya. Ningrum pun menggerutu saat dirinya akan melangkah menuju ke pintu. Ningrum sangat kerepotan jika tak ada pembantu. Biasanya jika ada tamu, Ningrum sama sekali tak akan pernah berpikir untuk membuka pinrtu ruang tamu, kemudian membuat minuman dan juga membuat cemilan kecil. Sayang sungguh sayang, dulu apa yang dikerjakan oleh pembantunya. Kini Ningrum pun seolah merasakan apa pekerjaan asisten rumah tangganya lakukan selama berada di rumahnya. Kini Ningrum bak mengikuti jejak sang asisten rumahn tangga. Pikiran Ningrum tak lepas dari sang suami. Dia terus saja kepikiran akan keberadaan Toni. Ningrum seakan sudah tak bisa berpikir lagi. Toni hanya membuat dirinya seperti tak bisa mencari sang suami. Ningrum pun berharap, jika dirinya membuka pintu ruang tamu itu. Tonilah yang ada di depannya, itu yang menyelimuti pikiran Ningrum. Alih-alih, saat Ningrum memegang gagang pintu dan membuka pintu ruang tamunya. Bukanlah Toni yang datang dalam pengharapannya, bukan Toni yang pulang dengan membawa kasih dan sayang. Melainkan seorang baby sitter yang sudah dipesannya dari agenci. “Selamat malam ibu, saya Fina dari agenci penyalur asisten rumah tangga.” “Masuk, Fina.” Gadis belia yang bernama Fina itu pun mengikuti langkah sang majikan barunya. Lalu setelah itu, tiba-tiba saja Fina terpaksa menghentikan langkahnya, saat majikannya itu berbalik badan dan menatap dirinya kembali ke rumah sakit. “Fina, umurmu berapa?” “Aku baru sembilan belas tahu, Bu.” “Memangnya kamu punya pengalaman jadi baby sitter?” “Sebelumnya saya mengurus dua anak saya sendiri dan saya juga sudah pernah bekerja sebagai baby sitter selama kurang lebih dua tahun, Bu.” “Jadi kamu sudah menikah?” “Ya, Bu.” “Anak dan suami di mana?” “Kedua anak saya terpaksa di asrama karena saya harus kerja dan suami saya sudah meninggal.” “Jadi kamu janda?” Wanita bernama Fina itu pun mengangguk tanpa ragu, dia membeberkan statusnya pada majikannya itu. Fina sama sekali tak ragu untuk menceritakan tentang dirinya. Apalagi dia akan tinggal bersama wanita bernama Ningrum yang tak lain adalah majikannya. “Fina, kalau suamiku pulang, kamu jangan sampai genit-genit, ya. Awas kamu!” “Ibu tenang saya, bagi saya saat ini yang terpenting adalah uang dari hasil kerja saya, untuk membiayai anak-anak saya, dan saya juga tidak ingin menjadi seorang perembut suami majikan sendiri, Bu.” “Bagus, sekarang ikut aku.” Ningrum pun segera melangkah ke kamar Pras. Dia membawa serta Fina untuk segera beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Setelah urusan tentang Fina selesai. Hati Ningrum masih saja terasa tak tenang. Dia memikirkan akan suaminya yang masih saja tak bisa dihubungi. Ningrum memotar otaknya, malam semakin mencekam. Karena waktu sudah mendekati tengah malam. Ningrum kembali mengambil ponselnya, kali ini dia tidak akan berusaha untuk menelepon suaminya lagi. Melainkan menelepon Irma yang tak lain adalah sekretaris pribadi suaminya. “Selamat malam, Bu Ningrum” “Apa kamu sudah tidur Irma?” “Kebetulan belum, Bu. Ada apa ibu malam-malam telepon saya, adakah sesuatu yang harus saya kerjakan?” “Tidak, aku hanya ingin tanya. Pak Toni hari ini ada rapat di mana, ya?” “Rapat?” “Iya, bukannya hari ini ada rapat, Irma?” Panggilan itu terjeda kurang lebih setengah menit. Irma nampak diam, sedangkan Ningrum seolah menunggu jawaban atas ucapan yang dilontarkan pada Irma. Sejurus, Ningrum yang seolah tak sabar mendapatkan informasi tentang keberadaan suaminya, membuat Ningrum mengakhiri jeda pembicaraan itu. “Irma, cepat katakan. Apa kamu tahu di mana pak Toni?” “Maaf Bu saya tidak tahu.” “Irma, kamu kan sekretarisnya. Mana mungkin kamu tidak tahu jadwal suami saya hari ini?” “Masalahnya, hari ini bapak tidak ke kantor, Bu.” “Apa?! kamu yakin?” “Iya, Bu. Bapak memang tidak ke kantor.” Ningrum membanting ponselnya sendiri. Membuatnya semakin meraung dan diselimuti rasa marah yang teramat dahsyat. Dia merasa tengah dibohongi oleh suaminya sendiri. Ningrum berteriak kencang, bahkan teriakannya itu membuat sang bayi kaget dan menangis. Ningrum kembali mencoba menelepon Toni, akan tetapi jawaban yang sama diterimany. Ponsel sang suami sedang di luar jangkauan. Ningrum semakin marah hingga ke ubun-ubun. *** Sekar menyusuri jalan hingga gelap mencekam. Dia tak tahu akan kemana membaringkan tubuhnya untuk sekadar melepas penat dan tertidur pulas. Sekar masih dalam harapan yang diperjuangkannya. Langit malam nampak mendung, tanpa diduga suara petir menggelegar. Saling bersahutan, menghasilkan sebuah bunyi yang begitu menakutkan. Tak lama, gerimis pun mengundang. Sekar masih bingung untuk mencari tempat persinggahan. Sekar terus saja melangkah dengan kondisi yang mencemaskan. Bahkan, Sekar tak bisa menghindar ketika hujan turun dan seluruh tubuhnya secepat kilat juga telah basah kuyup terkena air. Sekar yang dalam perjalanan tanpa arah dan tujuan itu, hanya bisa berteduh di bawah pohon besar, meskipun sebenarnya bajunya sendiri telah basah. Namun, karena Sekar sendiri bingung dengan tempat yang akan ditujunya. Membuat Sekar harus mera bimbang akan ke mana lagi melangkahkan kaki. Dia hanya menoleh ke penjuru arah dengan segala kekuatan diri yang tersisa. Beberapa saat kemudian, Sekar nampak mendengar suara beberapa orang yang tertawa terbahak-bahak. Benar Sekar mengatakan jika suara itu bersumber dari beberapa suara laki-laki. Dan ternyata tebakan Sekar pun benar. Ada empat laki-laki yang juga tengah basah kuyup berjalan ke arah Sekar. Hal itu seketika membuat kedua pandang Sekar terasa nanar. “Ada gadis cantik rupanya di sini.” Sekar perasaannya mulai tak enak. Dia menatap satu persatu wajah laki-laki dengan begitu sengit. Ada ketakutan yang mengubun-ubun. Malam yang nampak sepi, tak ada lalu lalang kendaraan yang lewat satu pun. Sekar pun berjalan mundur, seolah ingin menghindar dari empat laki-laki yang sama sekali tak dikenalinya itu. Sekar mulai dirundung ketakutan yang teramat sangat. “Namamu siapa cantik, temani kita malam ini ya.” Mendengar kata-kata itu, seketika Sekar menjerit dengan keras. Diiringi suara minta tolong yang mengelegar di anatar sahutan petir yang menyambar. Sekar segera berlari dengan ketakutan yang mengiringi. Sayangnya ke empat laki-laki itu sama sekali tak tinggal diam. Mereka mengejar Sekar dengan berpencar. Ada usaha untuk membuat Sekar tertangkap dalam genggaman mereka. Hal itu membuat Sekar harus terdiam sejenak dengan pikiran yang penuh akan wajah-wajah preman yang akan menyakitinya itu. tetes air mata yang bersatu dengan hujan, membuat Sekar seolah tak bisa menentukan dengan cepat, ke mana tujuan kakinya akan kembali melangkah lagi. Sekar, dengan ketakutan yang menyambar. Dia menjerit keras saat dirinya merasakan sebuah sentuhan di bahu kanannya. Sekar menutup kedua matanya dengan erat. “Tolong, jangan sakiti aku. Biarkan aku pergi, aku hanya ingin bertemu dengan anakku, tolong kasihnilah aku, lepaskan aku!” Sekar mencoba menegosiasi dengan apa yang kini ada dalam benaknya. Sayangnya, sentuhan di pundak kananya itu masih saja menyentuh tanpa jeda, membuat Sekar semakin dirundung ketakutan yang tak berujung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN