Part 23 - Penasaran

2146 Kata
Bibi Lastri yang melihat sosok Sekar memanggilnya dengan sangat keras itu, membuatnya segera berlari terbirit-b***t. Bibi Lastri seakan tahu apa yang akan dibicarakan Sekar kepadanya. Untuk itu, dirinya yang sudah bertekad untuk tidak ikut lagi urusan keluarga Sekar, membuatnya menghindar dan tak mau lagi terlibat. Sekar pun semakin menambah kecepatan kakinya. Dia sangat berharap bisa mendapatkan sebuah informasi dari Bibi Lastri. Sekar terus saja berlari dengan menahan perut yang lapar, pun menahan debu yang berterbangan tanpa disadarinya. Pikiran Sekar hanya tertuju pada bibi Lastri, sayangnya jarak mereka terlampau jauh, saat Sekar harus terhalang sebuah kendaraan yang menutupi pandangan matanya. Hal itu bahkan membuat Sekar kehilangan jejak dari bibi Lastri. “Bi Lastri, tunggu...!!!” Sekar tetap bersikukuh untuk bisa mendapatkan apa yang sedang dikerjarnya itu. Sayang sungguh sayang, Sekar tak bisa mewujudkan keinginan hatinya. Matanya mecari-cari ke sana ke sini, hanya saja jawab yang sama pun di dapatnya. Dia tak bisa mengejar bibi Lastri. Laksana kembali tergores luka, meskipun luka kemarin belum dapat disembuhkan dengan mudah, kini Sekar kembali menitikkan air matanya. Dia merasa bila dunia benar-benar telah mempermainkannya. Tak ragu untuk kembali meneteskan air mata yang membuat kesedihan Sekar bertambah. Semua begitu hampa dirasakan olehnya. Sekar merasa perutnya melilit dan terasa sakit. Kini dia memutuskan untuk berkonsentrasi dengan keadaan perutnya. Sekar harus bisa makan agar tenaganya tak habis, setelah itu dia pasti bisa melanjutkan perjalanan untuk bisa bertemu dengan bayinya dan juga Ningrum. Mengabaikan sejenak tentang harapan itu, sebuah warung kaki lima terlihat di balik pandang mata Sekar. Dia berharap jika pemilik warung bisa melayaninya dengan uang tujuh ribu yang baru didapatnya dari pemberian orang lain. Di depan warung itu, ada sedikit rasa malu yang tak biasa dirasakan oleh Sekar. Wanita berambut panjang sebahu itu, berdiri dengan pandangan nanar. Dia menatap pengunjung yang memenuhi warung kaki lima itu. Nampak begitu penuh pengunjung, Sekar pun berpikir jika warung itu pastinya dengan harga terjangkau menu-menunya, apalagi dengan pengunjung yang sudah memenuhi kursi. “Mbak, ini uangnya. Silakan pergi!” “Maaf saya mau makan, bukan meminta-minta.” “Oh maaf sekali, Mbak. Saya kira mbak pengemis.” Sekar tertegun dengan apa yang dikatakan salah satu pegawai warung itu. Sekar yang memandang seragam yang dipakai wanita itu dengan bertulisakan “Warung Ijo”. Sekar pun segera masuk, namun saat dia melangkah tak jauh dari pintu warung. Kakinya memintanya untuk berhenti. Sekar kembali lagi memikirkan uang yang hanya tujuh ribu berada di dalam sakunya. “Mbak, kalau mau makan silakan pesan dan langsung bayar di kasir, ya.” Suara pegawai warung itu membuat Sekar hanya mengangguk diam. Dia masih sangat merasa bingung. Lagi-lagi perutnya terus berdendang, dia seolah tak tahan lagi dengan apa yang dirasakannya. Sekar pun bertekad untuk bisa mendapatkan makanan. Jika tidak, pastinya lambat laun tubuhnya akan lemas, jika tidak begitu kesehatan Sekar pun akan mudah terganggu. Sekar menarik napas panjang. Dia mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri. Sekar kembali melanjutkan langkahnya. “Silakan Mbak, mau makan di sini atau dibawa pulang?” Sekar kembali tertegun dengan suara itu, pertanyaan yang masih membuatnya terdiam. Ada rasa takut nan malu dalam benaknya. Namun, wajah ayu nan senyum yang menghangatkan petugas kasir itu membuat Sekar dilimuti rasa yakin atas apa yang akan dilakukannya. “Mbak, bolehkah saya pesan menu apa pun yang terpenting harganya tujuh ribu saja.” “Maaf mbak, tujuh ribu hanya bisa dapat nasi satu porsi.” “Ya tidak apa-apa, Mbak. Kalau boleh saya minta garamnya sedikit atau kecap untuk ditaburkan di atas nasi yang saya pesan, ya.” “Baik, Mbak. Mau duduk di mana?” Sekar menoleh dan mencari tempat duduk. Sayangnya semua tempat duduk itu masih penuh pengunjung. Sekar pun nampak bingung, akan duduk di mana dirinya. “Mbak, semua kursinya penuh,” keluh Sekar. “Kalau begitu, Mbak bisa makan di sebelah ya. Ada kursi panjang di situ. Atau kalau tidak begitu mbak bisa tunggu sebentar, mungkin ada pengunjung yang telah selesai makan lalu pergi.” Sekar pun mengangguk. Dia masih saja berdiri di depan kasir. Tak ada pergerakan apa pun. Sekar memandang ke sana-ke mari. Dan ternyata warung yang sesak akan pengunjung itu seolah membuat perutnya semakin melilit. “Mbak, ini pesanannya.” “Iya terima kasih.” Sekar kemudian merogoh sakunya. Dia akan mengambil uang yang dimilikinya. Namun, ternyata saat tangan kanan Sekar keluar dari saku, dia hanya mendapati satu lembar uang yang bernilai dua ribu. Sedangkan selembar uang lima ribu itu tak ditemukannya. Sekar terlihat semakin gugup. Dua saku yang dimilikinya itu sama sekali tak bisa menghadirkan selembar uang yang hilang. Sekar mencoba mencari-cari dengan menggerakkan kedua matanya tanpa lepas. “Mbak, totalnya tujuh ribu. Silakan dibayar.” “Mbak, uang saya yang lima ribu hilang, hanya sisa yang dua ribu.” Pegawai warung itu pun nampak bingung. Dia hanya bisa memandang satu-satunya pelanggan yang tak bisa membayar pesanan, yang tak lain adalah Sekar. “Ada apa Kina?” “Ini Pak, Mbaknya tidak bisa bayar pesanan.” Seorang laki-laki terlihat menghampiri Sekar. Tak lain, laki-laki itu adalah pemilik warung yang tak pernah sepi pengunjung. Laki-laki itu nampak memandang pesanan Sekar yang masih berada di atas meja kasir. “Mbak hanya pesan nasi saja?” tanya laki-laki yang memakai kaos kerah berwarna hitam itu. “Iya, Mas. Saya hanya pesan nasi saja, saya tadinya punya uang tujuh ribu untuk membeli nasi dan ternyata saat saya mau bayar, uang lima ribu saya hilang dan tinggal dua ribu saja.” Sekar lalu menunduk. Dia berusaha mengondisikan perutnya yang berdendang begitu keras dan bahkan suaranya sampai di telinga orang yang dekat dengannya. Sekar menahan malu. Sedangkan laki-laki itu yang mendengar suara perut Sekar, seakan mengerti jika Sekar benar-benar sedang kelaparan. “Kina, tolong ambilkan ayam, sambal dan juga sayur, berikan pada mbak ini secara gratis.” Sekar pun nampak terkejut dengan ucapan itu. Dia bak ditolong oleh malaikat. Sekar menatap wajah laki-laki itu dengan tatapan tajam. Seperti tak menyangka jika dirinya mendapat sebuah kejutan yang tak disangka-sangka dari orang yang tak dikenalnya. Pegawai yang diminta oleh laki-laki itu pun segera mengikuti perintah. Lalu kembali meletakkan sepiring nasi beserta lauk dan ayamnya berada di meja kasir. “Silakan, Mbak.” Sekar tampak bingung. Dia tak tahu bagaimana harus bersikap. Hanya saja, perutnya seperti tak bisa diberi waktu yang lama lagi. “Silakan diambil, Mbak. Dan makanlah tanpa harus memikirkan untuk membayarnya.” “Maaf, saya tidak bisa menerimanya,”ungkap Sekar. “Kenapa begitu? Saya memberikan makanan ini tanpa meminta imbalan apa pun, dan saya harap saya bisa membantu Mbak, agar tidak kelaparan. Itu saja!” Kedua mata Sekar berotasi. Dia yang sebenarnya bingung dengan apa yang sudah dikatakannya itu. Hanya saja, Sekar anti meminta-minta. Lalu kedua mata Sekar tampak menatap laki-laki itu dengan serius. “Begini saja Mas, saya akan makan tapi setelah makan ijinkan saya untuk bersih-bersih atau mencuci piring, atau apa pun itu yang bisa membawar sepiring makanan ini.” “Baiklah, lakukan saja apa yang Mbak inginkan.” Laki-laki itu kemudian berlalu. Dan Sekar segera mengambil makanannya. Dia berdiri dengan mencari kursi yang kosong. Akan tetapi Sekar tak menemukan apa yang dicarinya. Sedangkan perutnya seakan menjerit keras dan sudah ingin menerima asupan makanan. Sekar tak bisa berpikir lama lagi. Dia segera menuju ke sebuah kursi panjang yang terletak di samping dapur. Sekar tak tahan dengan lapar yang sangat mengganggunya. Sekar menatap seporsi nasi putih yang berhias kecap. Seumur-umur baru kali pertamanya Sekar menyantap makanan sesederhana itu. Tak ada pilihan lain, Sekar harus segera menghabiskannya, agar dirinya bisa memiliki tenaga untuk kembali melanjutkan sebuah perjuangan. Setelah selesai makan, Sekar pun memenuhi janjinya. Dia segera menuju ke tempat pencucian piring. Sekar bersiap untuk membersihkan piring-piring yang bertumpukan nan kotor itu. Sekar mulai menyalakan kran air, lalu busa yang dibasahi lalu dicelupkan pada sabun pencuci piring itu, segera digosokkan pada semua badan piring yang tengah kotor itu. Sekar pun menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat baik. Dari balik pintu, laki-laki yang memberikan Sekar makan gratis itu,nampak memandang tanpa lepas dari balik jendela ruangannya. Dia terus saja mengikuti pergerakan anggota badan Sekar. Sama sekali tak beralih. Hingga suara ketukan pintu membuyarkan pandangannya. “Masuk!” suara laki-laki itu membahana. “Pak, maaf saya hanya mau menyampaikan jika laporan yang bapak minta sudah saya kirimkan melalui email sekitar lima menit yang lalu.” “Baik. Kina, siapa yang menggantikan tugasmu sekarang?” “Ada bobi, Pak.” “Kina, tolong cari tahu tentang wanita yang tadi makan di sini.” “Maksud Bapak, wanita yang mana? Karena yang datang di warung kita sangat banyak wanitanya, Pak.” “Yang sekarang dia sedang menyuci piring.” “Oh, yang tadi pesan seporsi nasi putih itu?” “Aku tunggu kamu sepuluh menit lagi, cepat kamu lakukan apa yang saya minta.” “Baik, Pak.” *** Ningrum semakin pecah kepalanya. Pekerjaan rumah dan mengurus bayi adalah hal terberat baginya. Hingga, Ningrum memutuskan untuk pindah agen baby sitter, dia ingin mendapatkan pengasuh anaknya secepat mungkin. Dia tak lagi mengandalkan suaminya, apalagi suaminya yang seakan tak mau tahu dengan apa yang kini menjadi beban pikirannya itu. Ningrum sedikit bisa bernapas lega, saat dirinya bisa mendapatkan jawaban yang cepat dari pihak agenci. Apalagi saat pihak agenci mengatakan bahwa ada baby sitter yang akan segera mengisi kekosongan di rumahnya. Ningrum tersenyum lebar, satu urusan telah selesai. Kini dia harus mencari lagi satu asisten rumah tangga untuk menggantikan Lastri. Ningrum pun mempercayakan masalah itu kepada agen penyedia tenaga kerja. Saat Ningrum akan bertanya dan mencari informasi. Dia harus kembali mendengar suara tangisan bayi, Pras sang bayi mungil itu terus saja meraung dan membuat Ningrum seakan tak bisa tenang. Suara ponsel Ningrum berdering. Dia tak sempat mengangkatkan karena berusaha untuk mendiamkan sang anak. Dibiarkan saja ponsel itu dengan deringan yang cukup keras. Dia hanya berkonsentrasi untuk membuat sang anak cepat diam dan tak menangis lagi. Beberapa saat kemudian, usaha Ningrum pun berhasil. Pras telah tertidur pulas. Ningrum segera menaruh bayi itu pada box tempat tidur. Lalu Ningrum meraih ponselnya dan segera menuju ke kamarnya. Dua panggilan tak terjawab dari suaminya. Ningrum pun berusaha untuk menelepon kembali si Toni. Hanya saja, Ningrum nampak terkejut saat ponsel Toni tak aktif. Ningrum mencobanya lagi, namun jawaban yang sama tak berubah. Tiba-tiba saja, Ningrum baru tersadar jika sang suami tela mengirimkan sebuah pesan kepadanya beberapa waktu lalu. Ningrum pun segera membuka pesan itu. Hari ini aku tidak pulang, ada pekerjaan di luar kota yang harus aku selesaikan. Pesan itu seolah membuat Ningrum keluar dua tanduk di kepalanya. Hari masih sangat sore untuk bilang tidak pulang. Apalagi ponsel Toni yang tak bisa dihubungi, membuat kecurigaan yang menumpuk di benak Ningrum. Dia berusaha lagi untuk menghubungi suaminya. Sayangnya, panggilan itu sama sekali tak tersambung. Jam dinding di kamar itu baru saja menunjukkan pukul tiga sore. Sangat aneh sekali bagi Ningrum jika ponsel suaminya dalam keadaan mati. Ningrum yang sangat paham, jika sang suami rapat. Ponsel itu tetap tak akan dimatikan. Pastinya hanya dirubah di mode senyap. Pikiran Ningrum pun berkelana. Hingga dirinya merasa marah dan membanting ponselnya ke lantai. *** Sekar yang sudah menyelesaikan tugasnya. Semua piring yang kotor itu kini telah berubah menjadi putih bersih. Sekar pun berhias senyum, lalu dia yang merasa ingin ke kamar mandi. Dengan cepat Sekar pun menuju ke kamar mandi pengunjung yang terletak tak jauh darinya. Kamar mandi itu penuh, banyak pengguna. Sekar pun menunggu dan berdiri di depan kamar mandi. Hingga satu pintu terbuka dan Sekar segera masuk ke dalam. Tiba-tiba saja, Sekar melihat sebuah dompet yang terjatuh di lantai kamar mandi. Sekar segera memungutnya. Sekar pun sangat yakin jika dompet itu adalah milik pengguna kamar mandi sebelum dirinya. Sekar segera keluar dan mencari pengguna kamar mandi itu. Dan untung saja, Sekar bisa menemukan orang yang dicarinya. Sekar yang berlari dengan tergopoh-gopoh itu, segera menepuk pundak orang yang dimaksud. “Mbak, apa ini milik, Mbak?” Sekar menunjukkan sebuah dompet kepada wanita itu. Dan seketika wanita itu pun merogoh sakunya, ternyata dia mendapati jika barang miliknya tak ada di dalam kantongnya itu. “Iya, itu dompet saya.” Sekar segera mengembalikan dompet itu kepadapemiliknya. Dia berhias senyum, seolah ada rasa senang bisa membantu sesamanya. “Lain kali hati-hati ya, Mbak.” “Terima kasih sudah mengambalikan dompet saya, jika mbak gak melakukan itu saya gak tahu bagaimana saya bisa membayar angkot untuk mengantar saya pergi melamar kerja.” “Mbak mau kerja di mana?” “Saya ini baby sitter dan saya dapat panggilan dari agenci, ada seorang wanita yang butuh seorang baby sitter untuk menjaga anaknya.” “Semoga sukses, ya Mbak.” “Saya Fina.” “Sekar.” “Kalau begitu saya permisi, nanti takut kemalaman.” Sekar mengangguk. Mendengar kata baby sitter, seketika dia mengingat kembali akan bayinya. Sekar yang seharusnya kini menjadi baby sitter pribadi Raja, anaknya. Sayangnya hal itu begitu sangat sulit untuk dikabulkan. Sekar pun menitikkan air matanya tanpa sadar. “Kenapa menangis?” Sekar menoleh ke arah suara yang mengejutkannya itu. Sembari dia segera mengusap pipinya yang basah karena air mata itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN