Part 4 - Mengakhiri Hidup

1750 Kata
  Senyum simpul Pak Surya seolah berbunga-bunga. Calon menantunya telah datang untuk menjemput anaknya. Menanti dengan harapan tergantungkan. Pak Surya segera mempersilahkan Fauzi untuk duduk di ruang tamu. Laki-laki yang memiliki kekayaan tujuh turunan itu pun sangat disepesialkan oleh Pak Surya. Seperti emas berlian yang tak boleh hilang dari genggamannya. Pak Surya selalu tersenyum hangat pada laki-laki kaya raya itu. “Kamu kabarnya bagaimana, Fauzi?” “Sehat, Pak, Sekar bagaimana?” “Duduk saja dulu, nanti Bapak akan panggilkan Sekar” “Maksud saya, dia sudah sembuh dari sakitnya?” “Tenang saja, hari ini dia akan pergi bersamamu, Fauzi” “Syukurlah, kalau kondisinya sudah membaik, Pak” “Bapak tinggal ke warung sebelah sebentar, ya” “Iya, Pak” Fauzi nampak sekali berbunga-bunga hatinya. Sama dengan pak Surya yang terus saja menunjukkan senyum terbaiknya. Fauzi merasa tak sabar ingin membawa calon istrinya pergi berdua, memadu kasih dalam cinta yang terlukis indah dalam sanubarinya. Kamar Sekar yang sangat dekat dengan ruang tamu , dia mendengar dengan sangat jelas suara Fauzi dan ayahnya dari balik kamarnya. Dia telah mengetahui kedatangan Fauzi untuk menjemput dirinya. Sekar dalam kondisi yang sangat sulit untuk dipecahkan. Hatinya remuk redam. Sekar mengolah napasnya yang sangat sulit untuk diaturnya kini. Detik demi detik membuat jantung Sekar berdetak lebih kencang. Meraup segala waktu yang kini dimilikinya. Tak banyak ruang untuk Sekar bisa bernapas, seakan hamparan duka kini menantinya. Sekar membangunkan tubuhnya. Dia berdiri dengan pikiran lari mendahului logikanya. Tak lama lagi ayahnya pasti akan membuka pintu kamar. Menyuruhnya untuk segera bersiap dan menemani Fauzi untuk pergi. Sekar dalam himpitan keadaan. Terjerembab dalam luka yang tak terlihat. Waktu yang dimilikinya tak lama, ibarat sejengkal langkah yang akan membuktikan kemana kakinya akan berpijak. “Tuhan, tolong aku, berilah aku jalan untuk menghindar dari kenyataan ini.” Sekar berjalan mondar-mandir. Mencari sebuah jalan agar dirinya bisa dengan mudah melepaskan jerat rasa yang mencekiknya. Meludahkan ratapan yang terus meraung dalam jiwanya. Sekar seolah menyerah, saat sang ayah membuka pintu kamarnya. “Cepat kamu bersiap Sekar, Fauzi telah menunggumu.” Bagai Guntur yang mengibas dengan begitu keras, kata-kata itu menerabas seluruh ruang hidupnya. Jurang kesedihan semakin terbuka sangat lebar. Sekar masih pada posisi yang sama. Matanya meneteskan butir tangis. Dia tak mampu untuk sekadar menolak dengan bibirnya. Hanya jeritan hati yang terus meraung, meski tak terdengar langsung di telinga sang ayah, namun Sekar benar-benar dalam jerit kepiluan.  “Sekar, jangan lama-lama!” Suara sang ayah kembali melengking dengan keras di balik pintu kamarnya. Pak Surya seolah tak sabar melihat anak gadisnya pergi dengan juragan kaya. Sedangkan Sekar, dia masih belum mendapat jawaban atas apa yang akan dilakukannya. Tak ada yang bisa membohongi cinta. Dia lebih tajam dan lebih mengalahkan segala logika. Melihat wajah Fauzi dari balik pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Membuat Sekar semakin tak sudi untuk pergi bersama duda beranak satu itu. Tapi Sekar tak punya cukup keberanian untuk melawan perintah sang ayah. Jika adiknya bisa hidup bahagia karena perjodohan. Tapi Sekar tak meyakini bila itu bisa terjadi pada dirinya. Bayangan wajah Dimas yang selalu menghantui pikirannya. Melekat dalam hatinya tak mau pergi. Sekar masih saja berdiri tanpa melakukan apa pun. “Sekar, kamu masih belum siap juga?” Pak Surya melihat Sekar yang masih berhiaskan baju tidurnya. Sekar tetap diam dan mengunci mulutnya. Pandangan matanya menunduk, seolah ketakutan memang selalu setia padanya, saat sang ayah mulai bernada tinggi padanya. “Cepat kamu mandi, Sekar, Fauzi sudah menunggumu!” “I-ya, Ayah” “Lima belas menit kamu sudah harus siap, Sekar, jangan buat Ayah kecewa.” “I-ya.” “Kamu ini bikin ayah emosi saja Sekar, apa sih kurangnya Fauzi? Dia kaya dan kehidupannya mapan.” Sekar memilih untuk diam dan tidak menjawab akan apa yang Ayahnya katakan itu. Meskipun dalam hati Sekar seolah sama sekali tak mempermasalahkan harta apalagi fisik. Walau jika dilihat dari fisiknya, Fauzi bak langit dan bumi bagi Sekar. Laki-laki kaya itu memang memiliki kemapanan yang cukup baik. Hanya saja secara tampang sama sekali tak mendukung bagi Sekar, Fauzi berkulit hitam, rambutnya bergelombang. Berkaca mata dan tingginya bahkan sama dengan Sekar. Jika dibandingkan dengan Sekar sangatlah berbeda. Wanita yang memilik nama panjang Sekar Cahaya Pratiwi itu memili wajah rupawan. Kulitnya putih bersih, hidung mancung, matanya terlihat bak bulan purnama. Setiap laki-laki yang memandang Sekar pastinya akan memuji kecantikan paripurna yang dimiliki anak dari juragan kebun itu. “Cepat kamu bersiap, jika tidak Ayah tak segan-segan untuk menghukummu.” Pak Surya pun berlalu. Sekar melangkah perlahan. Terasa sangat berat dilakukan. Dia menarik handuk yang tercentel di belakang pintunya. Sembari melangkah untuk mandi dan memberisihkan tubuhnya, Sekar mencoba mencari jalan keluar untuk dirinya yang terhimpit keadaan. Mengguyur tubuh dengan air yang terasa dingin menusuk pori-porinya. Hiasan tangis seakan bercampur dengan molekul air. Tak terlihat menetes dengan deras. Sekar mengulur waktunya. Gerak tangannya lambat. Tak peduli jika ayah dan laki-laki bernama Fauzi itu menunggunya. Dia hanya ingin mencari sebuah ketenangan untuk hatinya. “Sekar, lama sekali kamu mandinya.” Suara Pak Surya kembali membahana. Sekar tak menjawab. Dia tetap memainkan air kamar mandi itu. Suara guyuran air terdengar riuh. Membuat Pak Surya tak sabar menunggu anaknya yang telah lama memasuki ruangan kecil sejak lima belas menit lalu. “Sekar, kamu lama sekali, jangan membuat Fauzi menunggu lama, Sekar.” “Iya, Yah, sebentar lagi.” Sekar menyeka tangisnya. Dia tak ada pilihan lain. Waktu yang membawanya pada kondisi seakan pasrah dengan keadaan. Waktu pula yang akan memberikan jawaban tentang cinta ini. Dia yang tak bisa memaksa hatinya. Namun, keadaan seolah memintanya untuk melakukan hal itu. *** “Maaf ya, Fauzi, Sekar masih dandan, maklum wanita lama kalau bersolek.” “Tidak apa-apa, saya siap menunggu sampai kapan pun.” “Di minum dulu minumannya, Fauzi.” “Iya, saya minum.” Fauzi meraih minuman dalam botol berwarna putih. Pak Surya membelinya di warung sebelah. Fauzi meneguknya hingga setengah. Lalu meletakkan kembali di atas meja. Mereka kembali membuat perbincangan yang mengasyikkan, saling bertukar senyum. Menimpali setiap kata dengan canda yang begitu membahagiakan. “Jika kamu menikah dengan Sekar, mas kawin apa yang akan kamu berikan?” “Kalau saya, apa pun yang diminta Sekar pasti akan saya kabulkan.” “Kalau Sekar minta rumah dan mobi mewah, bagaimana?” “Itu hal kecil, pasti akan dengan senang hati saya memberikannya.” “Lalu bagaimana jika Sekar meminta lebih dari itu?” “Untuk Sekar, seluruh harta, jiwa dan raga seolah tak berarti lagi, semua pasti akan saya persembahkan untuk gadis yang saya cintai sampai mati.” Mendengar apa yang dikatakan Fauzi. Pak Surya tersenyum lebar. Dia seakan yakin dengan pilihannya. Menjodohkan anaknya dengan laki-laki yang tentunya tak diragukan lagi kekayaannya. Meskipun pak Surta tahu jika Fauzi sudah pernah menikah dan memiliki anak. Tapi baginya hal itu sama sekali tak penting. Yang paling utama adalah anaknya bisa hidup mapan dan tidak kekurangan apa pun. Tak terasa menunggu Sekar telah begitu lama berlalu. Pak Surya yang terus mengajak Fauzi untuk terus berbincang tentang masa depan sang anak. Namun, Fauzi terlihat melihat jam tangan yang dikenakan di pergelangan tangan kirinya berkali-kali. “Pak, apa Sekar masih belum siap juga?” “Anak ini kalau dandan memang terlalu lama, sebentar Bapak akan memanggilnya lagi.”   Sekar seolah tak beranjak dari tempatnya. Dia masih saja tetap saja bermain air di kamar mandi. Meski tubuhnya telah berhias pakaian. Namun sengaja tak cepat keluar. Dia merasa aman dan nyaman di tempat itu. Meski hatinya menolak, tapi Sekar tetap melakukannya. Pak Surya melangkah menuju ke kamar Sekar. Sayangnya dia tak mendapati Sekar berada di kamarnya. Pak Surya pun memanggil Sekar berkali-kali, dan ternyata Sekar masih berada di kamar mandi. “Sekar, berapa lama lagi kamu di dalam.” “Sudah selesai, Yah. Ini Sekar mau keluar.” “Ya sudah, cepat. Ayah dan Fauzi menunggumu di ruang tamu.” *** Air dalam botol minuman itu telah habis diteguk Fauzi. Hanya sisa botolnya saja, pun sepiring cemilan sudah memenuhi isi perutnya. Tak ada tanda-tanda jika Sekar segera keluar untuk menemuinya. Fauzi melirik ke arah jam kecil yang melingkar di tangannya. Hampir satu jam setengah dia duduk menunggu pujaan hati. “Sekar masih lama ya, Pak?” “Iya, kenapa lama sekali, Bapak coba lihat dulu, ya.” “Baik, Pak.” Pak Surya melangkah dengan cepat. Dadanya yang sudah dipenuhi amarah. Merasa kecewa dengan perlakuan Sekar yang tak bisa diaturnya. Pak Surya yang sedari tadi bolak-balik ke kamar Sekar. Namun sang anak seperti meremehkan kata-katanya. Rasanya pak Surya ingin cepat memarahi anak gadisnya. Pak Surya tak bisa ditolelir lagi. Dia benar-benar marah. Menggedor pintu kamar mandi yang terkunci dari dalam. Sekar terhentak. Dia dilanda ketakutan. Sekar yang awalnya harus bersilat lidah. Padahal Sekar sedari tadi sama sekali tidak keluar dari kamar mandi. Dia memilih untuk diam dan tak ingin mengikuti apa yang dikatakan ayahnya itu. “Sekar, apa yang kamu lakukan di dalam? Lama sekali kamu, Sekar!” “Maaf, Yah, Sekar sedang buang air besar.” “Lima menit jika kamu tidak keluar juga, ayah akan mendobrak pintu ini.” “Iya, Yah.” Pak Surya tak beranjak dari tempat berdirinya. Dia sengaja menunggu Sekar keluar. Tak mau bila harus dibohongi lagi. Namun Sekar hanya beralasan dengan kata-katanya. Dia tak sedang melakukan apa pun. Selain memandang air jernih yang menenangkan itu. Dia tetap berdiri dalam kebingungan yang masih belum mendapatkan jalan. Sekar melihat ventilasi ruangan yang sangat kecil. Sekar berpikir untuk bisa kabur dari kamar mandi lewat ventilasi jendela kecil itu. Dia segera berusaha untuk keinginan yang sangat kuat itu. Akan tetapi, Sekar yang tak bisa memanjat dengan mudah. Dia pun merasa gagal. Apalagi suara sang ayah terus saja terdengar menyuruhnya untuk cepat keluar. Sekar yang dilanda kebingungan atas apa yang kini seolah mempermainkan dirinya sendiri. Lalu mata Sekar berotasi, melihat beberapa detergen cair yang berjejer tertata rapi pada rak dinding kamar mandinya. “Sekar, sudah lima menit.” “Iya, Yah.” Waktunya memang tak lama lagi. Sekar tak punya pilihan selain menolak, demi cintanya sendiri. Dia mengambil detergen cair yang biasa digunakan untuk mencuci bajunya. “Cepat keluar atau Ayah akan mendobrak pintu ini, awas minggir kamu!” Semakin terhimpit keadaan. Tatapan mata Sekar fokus pada detergen berwarna merah muda. Dia mengambil sedikit cairan itu pada tutup botolnya. Dia menyerah, tak peduli dengan nyawanya, baginya cinta lebih penting dari segalanya, bila cintanya tak bisa digapai, tak ada alasan untuknya tetap berada di dunia, pikiran Sekar buntu, dia menggenggam erat cairan pada tutup botol itu, memandangnya tanpa lepas.. Cairan di dalam botol itu semakin dekat ke arah mulutnya. Seakan Sekar telah siap untuk mengakhiri hidupnya    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN