Glizart dan Luzia masih saja terus bicara, mereka saling berbagi kisah lalu akan tertawa sesekali dan melempar hinaan untuk masing-masing orang. Namun, mereka tidak sadar, jika dua pasang mata sedang mengawasi mereka, dan dua pasang kaki sedang mendekat ke arah mereka.
"Sudah puas bermain?" suara itu membuat keduanya menegang, apalagi saat tangan kekar berada di atas pundak mereka.
Luzia melirik sebentar, ia menelan ludah kasar saat matanya bertemu tatap dengan pria di belakang mereka.
"Da-daddy!" susah payah Luzia menelan ludahnya. Wajah Alucard terlihat menyeramkan, tatapan tajam pria itu membekukan dirinya.
"D-dad." Glizart sama kagetnya, ia melirik Luzia yang tersenyum hambar. Pandangan mata gadis itu memberi isyarat jika mereka akan segera berakhir dan di seret kembali.
"Cukup untuk hari ini, Luzia." suara itu juga terdengar. Dari balik semak belukar, Lauye sudah melangkah dengan tangan yang memegang borgol. Pria itu mendekat dan dengan tenang menatap Alucard. Tidak ada kata apapun yang ia ucapkan, hanya bertindak dan memborgol kedua tangan adiknya.
Glizart menatap ngeri Lauye, ia sekarang seperti melihat seekor ular besar yang akan segera mengamuk dan menelannya hidup-hidup. Namun, lamunannya terhenti, Alucard malah menembak bagian kakinya, dan membuat burung-burung di atas pohon berterbangan.
"Glizart!" Luzia ketakutan, ia melihat sepupunya menahan panasnya timah dari muntahan senjata milik Alucard, belum selesai kepanikannya. Lauye sudah mengangkat tubuh mungilnya, membawanya seperti karung dan berjalan dengan cepat.
"Glizart! Glizart! Kakak, Glizart terluka!" terus berteriak, namun tidak ada yang peduli. Tubuh Glizart dilemparkan oleh Alucard, menghantam batang pohon dan pria muda itu memuntahkan darah segar.
"Daddy Alucard! Hentikan, aku mohon! Glizart!" suara tangis dan teriakan Luzia memenuhi hutan. Ia bergerak dan berusaha lepas dari kakaknya. Ia ingin menolong Glizart dan menghentikan amukan Alucard.
"Glizart! Kakak turunkan aku! Glizart! Daddy berhenti!" lagi, suara Luzia menggema. Ia menatap Glizart yang kini tak berdaya dan hanya pasrah saat Alucard memegang kaki Glizart dan menyeret sepupunya.
"Glizart!"
"Berhentilah menangis, Bodoh!" ucapan Glizart membuat Luzia semakin menjerit, ia sedih, kesal, ia takut Glizart semakin terluka. Namun, sekuat apapun ia melawan, tenaganya tetap saja kalah dan membuatnya kelelahan. Mata Luzia menatap Glizart yang hanya tenang, tidak ada perlawanan saat Alucard membawanya pergi.
"Kau menatapku, seakan aku akan mati pada detik berikutnya." Glizart mulai mengoceh, ia benci saat Luzia menangis.
"Glizart bodoh! Aku takut kau terluka!" Luzia bersuara parau, ia menatap sepupunya dan hanya melihat Glizart yang mengembuskan napas.
Sementara keduanya terus bicara. Baik Alucard ataupun Lauye hanya diam. Mereka mengembuskan napas dan mengutuk dua manusia pembuat masalah yang masih bisa saling mengejek.
"Glizart, kau harus membantuku untuk menemui Noel!"
"Gadis dungu, berhenti bicara!"
"Aku tak akan berhenti, jika mereka semua sudah tua, aku akan membuat keributan dan mereka tak akan bisa menghentikanku."
Glizart terkekeh, Alucard dan Lauye tetap diam.
"Kenapa kau tidak menjawabku?"
"Aku hanya memikirkan wajah Mommy, dia pasti sangat menggemaskan. Aku ingin mencium Mommy dan tidak berbagi dengan-"
Belum selesai ucapan itu, suara muntahan peluru kembali terdengar. Luzia menatap kaget Alucard yang masih mengarahkan pistol andalannya ke arah Glizart.
"Berhenti bicara, atau kau akan berakhir di laboratorium Daddy-mu."
Glizart dan Luzia sama-sama diam, mereka hanya saling menatap dan tidak bersuara lagi. Perjalanan ke kediaman inti masih jauh, mereka harus berjalan selama dua jam dan akan sampai di tempat tujuan.
Tidak terasa, sudah lama mereka berjalan dan sebuah bangunan megah kini terlihat. Bangunan yang menjadi istana para Roulette dan juga istana dimana kedua pembuat masalah melarikan diri.
Baik Alucard maupun Lauye. Mereka berjalan dengan tenang, para mafioso menatap pada Glizart dan Luzia yang kini terbungkam dengan wajah pucat mereka. Menundukan kepala, mereka tak berani bicara saat Alucard dan Lauye sama-sama memasang tampang datar dengan pandangan tajam nan dingin membekukan.
Namun, saat mereka sedang menuju bangunan utama, Felica sudah datang dan menatap Glizart dan Luzia khawatir.
"Nero, bawa Moe masuk!" titah Alucard.
Nero segera pergi, ia menatap Vicente dan Xavier yang juga membawa Felica bersama mereka. Tak ada kata apapun yang terucap, hanya ada suara langkah kaki dan embusan napas orang-orang di sana.
Pilar-pilar besar pada bagian dalam mansion utama terlihat kokoh, ukiran-ukiran tangan para seniman menambah kesan elegant. Pada bagian langit-langit ruangan, terdapat lampu kristal besar yang menggantung. Pada setiap sudut, banyak guci-guci mahal dan juga lukisan indah yang terpajang.
Di depan sana, sebuah pintu berdaun dua terlihat begitu menawan. Terbuat dari kayu mahoni dan ukiran rumit yang begitu mengagumkan. Warnanya coklat tua, dengan dua orang penjaga yang kini membuka dua daun pintu itu. Kedua penjaga itu menunduk, apalagi saat Alucard dan Lauye ikut masuk bersama pemimpin keluarga.
Memasuki ruangan, sebuah kursi terletak agak jauh dari kursi-kursi yang berjejer kiri dan kanan. Ruangan itu luas, di dalam sana tepatnya seperti aula kerajaan. Di setiap sisi, sudah duduk orang-orang penting di organisasi mafia Roulette. Cancri yang kini duduk dengan tenang, tatapannya tak lepas dari Luzia. Ada juga Kim Chaeri Snake, ibu dari Luzia, Lauye, dan Cancri. Jangan lupakan White Snake, pria yang tak lain kepala keluarga Snake dan ayah dari Luzia serta kedua saudaranya.
Salazar, ia duduk bersebelahan dengan Neveriaz dan Salamander. Pria itu sudah melepas kain hitam yang menutup matanya, ia menatap sang ibu yang hanya diam, tidak bicara sedikitpun.
Ada juga para eksekutif tinggi Roulette, dan para eksekutif menengah. Semua orang hadir, mereka menetap dan menunggu pemimpin keluarga menghukum dua anak dari keluarga itu. Aura mencekam begitu terasa, mengintimidasi semua orang dan membuat mereka terdiam.
Felica duduk, ia menatap semua orang yang hadir. Tangannya memberi kode, semua orang duduk dengan tenang, matanya menatap Alucard dan Lauye yang membawa dua anaknya. Wanita itu menatap kedua pria dengan usia yang berbeda itu. Dan dengan patuh, keduanya meletakan tubuh Luzia dan Glizart di hadapan Felica.
Nero baru saja ingin melempar pisaunya pada Glizart, namun Felica dengan cepat menangkap pisau itu, menggenggamnya hingga tangan mungilnya terluka.
"Mommy!" Luzia menundukan kepalanya, ia melihat darah Felica mengalir dan mengotori bagian lantai.
Namun, bukannya menjawab, Felica malah menatap Luzia dan Glizart. Yang mengendalikan tubuhnya saat ini bukan Varsa, bukan pula yang lain. Hanya Eliezer yang ada di sana sekarang, ia berdiri, menghampiri Luzia dan Glizart. Pandangan mata yang tajam, aura begitu pekat dan menyeramkan.
Salazar menatap ibunya, ia merasa ngeri dengan aura mencekam yang dipancarkan wanita itu. Namun, ia tidak melihat jika sang ibu ingin membunuh kedua saudaranya. Ia terus menatap, namun tak bisa menemukan apapun pada ibunya.
Luzia menatap Felica yang mendekat ke arahnya, ia hanya bisa bergerak mundur, ia takut dan menelan kasar ludahnya. Sedangkan Glizart, ia menatap ibunya penuh ketakutan, sisi lain dan sisi paling kejam dari wanita yang melahirkannya bangkit.
"Luzia, kita akan mati." ia berkata dengan suara pelan, ia sekarang takut dan berharap bisa kabur sejauh mungkin dan tidak pernah kembali.
Felica terus mendekat, ia kini berdiri tegak, matanya menatap ke arah Glizart, lalu membungkuk. Tangan Felica memegang bahu anaknya, cengkraman itu terlihat biasa saja, namun aura yang dikeluarkan begitu menakutkan. Glizart menelan kasar ludahnya, ia berakhir pingsan dan membuat Luzia panik.
Luzia bergerak mundur, ia tidak bisa merasakan kakinya sekarang, hanya ketakutan yang menguasai dirinya saat ini.
"Mo-mmy!" Luzia hanya berharap Felica segera bicara dan tersenyum padanya, ia berharap aura itu berubah dan menghangat.
Namun, Felica hanya diam ia tersenyum, dan itu terlihat begitu mengerikan di mata Luzia.
Disisi lain, Lauye bungkam. Ia ingat sosok itu, sosok yang pernah menemuinya dan membuat dirinya harus mendapat hukuman dari sang ayah, ia ingat sosok itu, aura itu, dan siapa yang mengendalikan tubuh Felica.
Luzia masih berusaha kabur, ia menarik tangan Glizart, berharap sepupunya bangun dan segera menggendongnya. Ia berharap semua orang segera berhenti diam dan bicara. Namun, semua tetap sama. Felica kini benar-benar ada di dekatnya, wajah wanita itu berjarak beberapa inci dari wajahnya.
"Mom!"
Telunjuk pada tangan kanan Felica tepat berada di dahi Luzia, membuat Luzia menahan napas dan akhirnya pingsan.
Semua orang hampir tertawa, dua pembuat masalah sepertinya ketakutan dan mungkin saja akan jera. Di saat yang sama, Felica berdiri tegak. Ia kembali duduk di kursi pemimpin keluarga, di tatapnya Luzia dan Glizart yang tak sadarkan diri.
Beberapa detik berlalu, masih terdengar embusan napas dan masih dengan lirikan mata tiap-tiap orang di ruangan itu. Felica memejamkan matanya, ia menatap kedepan dan merasa bingung.
"Apa yang terjadi pada mereka?" tanya Felica.
"Kau membuat mereka ketakutan, Lica." suara Xavier terdengar. Ia menahan tawa jahatnya, apalagi saat melihat Glizart dan Luzia sama-sama pucat dan tidak sadarkan diri.
"Bodoh! Kenapa kalian hanya diam! Bawa mereka ke ruang perawatan, dan jangan ada yang menyentuh kedua anakku!"
Semua orang bergerak cepat, mereka membawa Glizart dan Luzia ke ruang perawatan. Sedangkan para petinggi Roulette baik itu petinggi kelas tinggi atau menengah, dan keluarga Snake hanya bisa menggelengkan kepala.
"Bekerja seperti biasa, aku akan menemani anak-anakku!" ujar Felica tegas. Ia segera menyusul Luzia dan Glizart yang kini dibawa para bawahannya.
Keempat suami Felica hanya bisa saling tatap, mereka kemudian pergi dan menyusul Felica.
"Dua bocah bar-bar itu ternyata bisa ketakutan juga." Neveriaz menatap Salazar. Ia yakin saudaranya itu tahu sesuatu.
Salamander memilih diam, ia juga tahu jika dua saudaranya itu memang terlalu aktif bahkan selalu membuat masalah.
Salazar menatap Cancri yang kini berlalu pergi, di belakangnya ada Lauye yang masih setia menunduk.
"Coba jelaskan padaku, apa yang Cancri rasakan saat melihat Mommy?" Neveriaz bertanya pada Salazar.
"Bertanyalah seorang diri, Neveriaz." jawab Salazar kemudian pergi dari sana.