Sebuah rumah kecil yang ada di bagian tersudut wilayah kediaman keluarga Roulette. Tempat itu adalah markas kecil bagi Luzia dan Glizart. Tempat rahasia mereka sedari kecil dan menjadi tempat mereka sering berbagi cerita.
Luzia dan Glizart tertawa keras, mereka menatap layar televisi yang menampilkan semua adegan yang terjadi. Bom yang mereka pasang, robot boneka yang lama mereka siapkan beberapa bulan lalu, dan drama picisan dengan suara Luzia yang berteriak, semuanya begitu sempurna.
"Kau berhasil membuat robot yang benar-benar hidup, bahkan, Uncle Spade tidak menyadari semuanya." di acungkan Luzia kedua jempolnya.
"Aku memang hebat, dan akan sangat hebat jika kita bersatu."
Glizart dan Luzia saling berpegangan tangan, berputar sambil bernyanyi dan melompat gembira. Entahlah, mereka selalu senang saat rencana besar berhasil. Menghancurkan beberapa bagian mansion dengan bom, cukup membuat semua orang panik.
"Aku akan membuat robot boneka yang sama, dan kita bisa mengerjai orang di pusat kota." Glizart memberikan ide gilanya.
"Kau memang sepupu yang luar biasa keren!" puji Luzia. Gadis itu kembali memeluk Glizart, mereka tertawa dan terlihat begitu senang.
"Tapi, bagaimana kita menghadapi mereka?" Glizart melepas pelukannya dan menatap Luzia.
"Hum, sepertinya, kita harus kabur beberapa hari dan menjauh. Kau juga tahu, jika sampai kita ketahuan akan ada hukuman-hukuman. Kakak Cancri dan Kakak Lauye akan mengirimku ke markas Golden Snake, sedangkan kau akan dihukum oleh Daddy Nero."
"Kau ingin pergi bersamaku?" tanya Glizart.
"Kau akan membelikanku ice cream?"
Glizart mendorong kepala Luzia dengan satu telunjuknya.
"Glizart, kau jahat sekali!" rengek gadis itu.
"Bodoh! Kita harus keluar dari kediaman keluarga sebelum semua orang menyadari jika itu hanya robot."
"Gendong!"
Glizart hanya menurut, ia dan Luzia menyelinap dari bagian belakang mansion, dan menghilang secepat mungkin.
Luzia merasa senang, ia begitu menyayangi Glizart dan sangat dekat dengan pria itu. Keduanya kini berada di hutan rimbun, mereka terus berjalan tanpa henti.
Namun, seseorang menghadang jalan mereka. Pria dengan rambut putih panjang dan kedua mata tertutup kain hitam.
"Sudah puas bermain?" tanya Salazar.
Baik Glizart maupun Luzia menelan ludah mereka kasar. Apalagi saat pria bersurai hitam muncul dan bersandar pada batang pohon dengan wajah datar.
"Luzia, sepertinya tidak cukup untukmu membuat seisi mansion menjadi panik. Kau tahu, Kakak Rebecca sampai pingsan karena ulahmu barusan." Cancri menatap adik perempuannya. Ia menatap Salazar dan hanya bisa mendesah lelah, tidak tahu harus mengatakan apa atau hukuman apa yang bisa Luzia dan Glizart dapatkan.
Luzia semakin mengeratkan pelukannya pada Glizart, ia ketakutan saat melihat kakaknya datang, mata Luzia kembali terfokus pada seorang pria dengan masker dan rambut yang di kepang kecil-kecil, pria itu mengenakan setelan hitam, dan kacamata yang menurut kebanyakan orang aneh.
"Luzia …," ujar pria itu pelan, suaranya terdengar begitu serak nan menyeramkan. Luzia menunduk, ia tak sanggup menatap wajah kakaknya.
Lauye, ia melangkah maju, sedangkan Glizart mundur perlahan, "Kau ingin pulang sekarang, atau, aku akan menghukum kalian berdua dengan caraku."
"Bodoh, turunlah!" Glizart membisik Luzia.
"Tidak! Kakak Lauye menyeramkan!" jawab Luzia, ia juga berbisik.
"Glizart!" tegas Salazar.
Dari arah belakang, para mafioso yang dipimpin oleh Nero datang dan menatap Luzia yang kini berada di gendongan Glizart. Sejenak, Nero mengembuskan napasnya. Kelakuan Glizart dan Luzia benar-benar membuat semua orang panik, belum cukup kekacauan tahun lalu, dan dua bocah sialan itu kembali berulah.
Namun, di saat yang tak terduga, Nero melesatkan sepuluh pisau dari tubuhnya. Ia terlihat begitu gemas dan ingin mencincang Glizart dan Luzia.
Glizart menghindar, ia segera berlari secepat mungkin dengan Luzia yang berada di gendongannya. Pria itu menyeringai saat dirinya menjauh dari orang-orang di sana.
"Well, kita memang harus kabur sejauh mungkin." Glizart terus berlari, ia memasuki hutan semakin dalam, dan beberapa kali Luzia tertawa sedangkan Glizart memberikan lelucon jika semua orang di belakang sana sangat lemah.
Suara letupan senjata terdengar, Luzia menatap ke belakang dan melihat Lauye yang berlari cepat.
"Lebih cepat Kakak Lauye akan membunuh kita berdua!"
Mendengar titah Luzia, Glizart berlari cepat. Ia menghindari peluru-peluru racun milik kakak sepupunya. Belum lagi, Salazar dan Cancri yang berlari di belakang Lauye dan ikut mengganas.
"Mereka sepertinya sangat kesal." komentar itu disuarakan oleh Glizart.
Luzia tertawa, ia semakin mengeratkan pelukannya pada Glizart, "Kau tahu? Aku merasa seperti hidup sekarang!"
"Aku akan melesatkan pisau, biarkan mereka berhenti dan menikmati ledakan."
"Lesatkan saja!" Luzia terdengar begitu senang. "Seperti yang sering dikatakan Deidara, 'Seni adalah ledakan.' dan bagi kita, ledakan adalah permainan."
Glizart tertawa, ia melesatkan dua puluh pisau dan meledak dengan waktu bersamaan. Suara ledakan begitu keras, di belakang mereka kebakaran segera terjadi dan membuat semua orang berhenti. Samar, keduanya mendengar teriakan kesal orang-orang di belakang sana.
"Sebentar lagi, kita akan berada di jalan raya. Jadi, ayo kita cari jalan lain. Sepertinya, mereka yang lain sudah menunggu di jalan sana."
"Kau benar, masih ada Uncle Spade yang juga pasti mengerahkan bawahannya ditambah para elit Golden Snake juga pasti akan mengincar kita."
"Berpeganglah yang kuat, kita akan berlari dan menjadi ninja yang hebat."
"Aku adalah Hokage Tsunade!"
"Dadamu itu kecil, Bodoh!"
"Glizart! Kau menyebalkan!"
"Ayo beristirahat di air terjun, aku lelah terus menggendongmu."
Glizart segera melangkah cepat, ia menuju arah air terjun yang tak jauh dari tempat mereka berada. Ia juga merasakan lelah terus menggendong Luzia, jika di biarkan berlari, sudah pasti sejak tadi mereka sudah tertangkap.
"Di daerah ini, mereka tak akan bisa melacak kita."
"Kenapa tidak membuat markas kecil di sana?"
"Akan banyak yang tahu jika kita melakukan pembangunan di daerah terpencil." jawab Glizart.
…
Air terjun yang tenang, sepi dan tentu saja berada di kedalaman hutan. Glizart dan Luzia duduk dan merendam kaki, mereka juga melemparkan batu ke dalam air lalu akan tertawa saat mengingat betapa hebatnya mereka.
"Kenapa kau tidak mengejar Arth lagi? Kau bilang jika dia cinta yang harus diperjuangkan." Glizart menatap Luzia.
"Aku tetap akan kalah dari Kakak Lamia, Glizart."
"Dan kau kembali murung, apa yang harus kita lakukan agar kau tersenyum?"
Luzia diam, ia menunduk dan ingat bagaimana Arth menolaknya. Ia merasakan sakit itu kembali, tapi, dengan cepat ia menepis pikiran tentang rasa yang tertinggal di hatinya.
Glizart menepuk kepala Luzia, ia tersenyum kala Luzia menatap pada dirinya, "Kau tahu? Kau masih seperti anak kecil, tingkahmu sangat jauh dari seorang gadis berumur dua puluh delapan tahun."
"Lalu, apa masalahnya?"
"Bersikaplah dewasa."
Luzia terdiam, ia menatap air yang masih beriak, "Jika aku bertingkah dengan dewasa, Kakak Cancri dan Kakak Lauye, mereka tidak akan berhenti untuk melakukan pekerjaan." Luzia mendesah lelah.
"Kau perlu seorang kekasih!"
"Tidak, aku ingin mengejar penyelamatku dulu, dan menjadikan dia teman serta saudaraku."
"Kenapa tidak kau jadikan dia suami?"
Luzia terdiam, ia sadar akan siapa dirinya.
"Kau diam? Apa masalahnya?"
"Glizart, aku hanya merasa tidak ada cinta untuk orang sepertiku. Arth tidak mencintaiku, karena aku hanya boneka."
"Tapi, otakmu adalah dirimu. Kau akan mengingat segalanya, walau tubuhmu ini hancur." Glizart kembali melemparkan batu.
Luzia diam, ia memilih bersandar di bahu Glizart. Menyadari semua ucapan itu benar, kenyataannya dia hanya manusia kloningan, tubuh aslinya adalah ular yang dinilai kebanyakan orang menjijikan.
"Kau menangis?" Glizart merangkul pundak Luzia, menenangkan sepupunya yang mulai sesegukan.
"Di antara semuanya, cuma kau yang bisa menganggapku manusia. Semua orang selalu menjauh, saat tahu aku hanya seekor ular."
"Apa masalahnya? Aku menyayangimu," ujar Glizart, "Mommy juga sayang padamu, bahkan seluruh keluargamu juga demikian."
"Tapi, Salamander selalu menatapku dingin, dia bahkan jarang bicara padaku."
"Dia menyayangimu, hanya saja dia memang begitu." jawab Glizart.
Keduanya terus bicara, tak sadar jika seorang pria berkacamata sedang menguping pembicaraan mereka. Ada juga Salazar dan Cancri yang baru saja tiba.
"Kau mendengar keluhan adikmu dengan baik, Cancri." bisik Salazar.
"Yah, seharusnya aku lebih mengerti dirinya dibanding Glizart." jawab Cancri.
"Daddy Alucard berada disini, biarkan dia dan Lauye yang mengurus dua bocah sialan itu." Salazar menepuk pundak Cancri, lalu mereka pergi dan kembali ke mansion utama.