Chaeri duduk dengan tenang di ruang perawatan, wanita itu hanya bungkam, tidak mengalihkan tatap matanya dari tubuh Luzia.
"Kau terus menatap anakmu, seakan dia akan menghilang dari pandangan matamu." suara itu tidak membuat Chaeri mengubah posisinya, ia bahkan tidak merespon lontaran orang tersebut.
"Kim Chaeri," ujar orang itu lagi.
"Berhentilah untuk bicara, Spade. Aku harus memutar otak untuk membuat gadis dungu itu lebih dewasa." Chaeri mendesah lelah, "Dia bahkan tidak mendengarkan ucapan Daddy-nya."
"Kau bisa mencuci otaknya bahkan mengganti memori Luzia."
Chaeri mendelik kesal, sudah cukup ia menuruti permintaan Cancri dan melakukan hal gila pada otak anak perempuannya. Wanita itu tidak akan bertindak lebih jauh, dan membuat semuanya semakin rumit untuk saat ini.
"Tapi, kenapa tubuh ularnya masih tertidur? Bukankah tubuh kloningan Luzia terhubung dengan pikiran dari tubuh aslinya?"
Chaeri diam, tidak berniat menjelaskan. Ia lebih memilih untuk berdiri, melangkah ke arah anak gadisnya lalu duduk dan membelai surai lembut Luzia.
"Aku sengaja melakukan semua itu. Luzia harus mendapatkan semua kenangan yang baik. Sejujurnya, aku tidak ingin dia terlibat dengan dunia yang kita tempati saat ini." Chaeri mengelus pipi Luzia, ia mengerti bagaimana Luzia sangat ketakutan dengan Eliezer dan membuatnya tertidur sangat nyenyak.
"Kau terlalu mengekang putrimu, Chaeri." Spade berdiri, "Mereka akan sadar beberapa saat lagi, aku pergi."
Chaeri mengangguk, ia juga memiliki kepentingan yang lain. Wanita itu menatap Luzia dan Glizart, kemudian beranjak pergi.
Beberapa menit setelah Chaeri pergi, Luzia membuka matanya, ia menatap Glizart yang masih tertidur. Gadis itu bangkit, ia duduk lalu berdiri.
"Si bodoh itu, masih saja tidur." keluh Luzia, ia memilih pergi dari ruang perawatan, lalu mencari keberadaan Felica. Matanya menatap lorong-lorong panjang yang terlihat agak ramai, lalu melangkah pelan.
Para Mafioso dan pelayan yang ada hanya menunduk, mereka melihat senyum Luzia begitu lebar hingga matanya terlihat lebih sipit. Gadis itu melambaikan tangannya, ia tertawa dan melangkah lebih cepat, seseorang yang sedang berdiri beberapa meter di depannya membuat semangatnya terisi penuh.
"Salamander, kau tahu di mana Mommy?" Luzia menatap sepupunya, ia terus tersenyum dan membuat Salamander menatapnya lama.
Salamander mengangkat tangan kanannya, satu telunjuk ia arahkan, tepat di kening Luzia, "Gadis dungu, setelah membuat masalah besar, kau memasang tampang seakan tidak bersalah. Otakmu yang pintar itu sangat tidak berguna." Salamander masih menatap Luzia.
"Di mana Mommy?" tanya Luzia, ia tidak berhenti tersenyum, matanya menatap Salamander dan membuat pria muda itu mendesah lelah.
"Di ruangannya." jawab Salamander, ia menarik tangannya lalu pergi. Namun, ia kembali menatap Luzia yang kini memeluk tangannya.
"Antarkan aku."
Salamander tidak melepaskan tangan Luzia, ia hanya berjalan dan menuju ke arah ruang kerja Felica.
"Kau tahu, seandainya kau dan Neveriaz bisa ikut dalam permainanku, pasti sangat menyenangkan."
Salamander masih diam, ia hanya mendengarkan, tanpa memberi tanggapan. Ia malas untuk mengucap kata-kata, ia juga malas bertindak. Jika salah, Luzia akan menangis dan mengadu pada ibunya. Lalu, semuanya akan menjadi rumit, dialah yang akan disalahkan oleh sang ibu.
"Kenapa kau terlalu diam? Apa Daddy Alucard melarangmu bicara?" tanya Luzia lagi.
"..."
"Salamander, kau membenciku?"
"..."
"Baiklah, kita ganti pembicaraan. Salamander, menurutmu, apa aku bisa mendekati pria berkacamata? Uncle Spade mengatakan. Jika dia eksekutif menengah, tapi, saat aku bertanya pada Vulcan, dia tidak mengenal pria yang ku maksud."
"..."
"Dia tampan, tapi, sangat dingin. Aku hanya ingin menjadikannya teman, lalu aku ingin menjadikannya saudara. Tapi, Glizart memintaku menjadikannya suami. Menurutmu, apa ada pria yang akan menikahiku?"
"..."
"Kau terus diam, ah yah! Bulan lalu, Salamander berbulu sakit, tapi, Kakak Rebecca sudah memberinya obat dan dia sembuh." Luzia terus bicara, ia menceritakan banyak hal, sampai pada kucing-kucingnya yang memenuhi salah satu ruangan di mansion Cancri.
"Kita sampai, kau bisa menemui Mommy."
Luzia menatap Salamander, ia mendorong Salamander ke sudut, tepat di samping sebuah meja panjang. Gadis itu merentangkan kedua tangannya, ia memamerkan gigi putihnya dan merasa senang saat Salamander mengangkat tubuhnya.
Setelah berada di atas meja, Luzia berdiri. Ia membungkuk sedikit dan mengecup pipi Salamander, "Salamander, aku juga menyayangimu!"
Salamander hanya menatap, sedangkan Luzia menegakkan tubuhnya kembali.
"Aku ingin turun, tapi, mejanya terlalu tinggi."
"..."
Luzia duduk di atas meja, ia menatap Salamander lagi dan pria itu balas menatapnya. Tak lama, Salamander menurunkan Luzia, ia tidak mengatakan apapun dan langsung pergi.
"Jika kau terus bersikap dingin, tak akan ada gadis yang menyukaimu!"
"Aku hanya perlu menikahi paksa wanitaku," ujar pria itu dan pergi secepat mungkin.
Luzia mendekati pintu, ia mengetuk pintu, "Mommy … apa boleh aku masuk?"
Pintu terbuka, Luzia langsung masuk dan menatap Felica. Wanita itu hanya sendirian di dalam ruangan, mata Luzia menatap ruangan besar milik Felica.
"Ada apa, Luzia?" tanya Felica, ia tersenyum.
"Mom, aku ingin bertanya." Luzia melangkah maju, ia duduk di sofa, dekat dengan meja.
Felica berdiri, ia mendekati Luzia dan duduk di samping gadis itu.
"Mom, aku mencari seorang pria. Dia menggunakan kacamata, rambutnya hitam, wajahnya juga terbilang tampan. Tapi, dia terkesan dingin."
"Pria yang menyelamatmu?"
"Yes, Mom! Siapa namanya?" tanya Luzia, ia begitu senang, matanya menatap Felica dengan binar penuh harapan.
"Kau ingin bertemu dengannya?"
"Ya! Aku ingin!" tegas Luzia, ia sampai berdiri.
Felica tersenyum.
"Kenapa kau mencarinya?"
"Dia menyelamatkanku, lalu dia juga menemuiku saat sakit. Aku ingin menjadikannya teman, dan saudara."
"Kau yakin? Bagaimana jika kau menikahinya saja?"
Luzia menunduk, ia merasa sedih, "Mom, aku hanya seekor ular. Tidak akan ada yang mencintaiku, dan menginginkanku. Bahkan, Arth, dia tidak bisa mencintaiku."
Felica diam, ia menatap Luzia. Ada rasa sakit di hatinya saat gadis itu bersedih.
"Glizart, selama ini dia yang selalu bisa menemaniku dan menganggapku seperti seorang manusia. Setelah Glizart, tentu saja Mommy dan para Daddy, lalu sisanya hanya keluarga Snake."
"Luzia," ujar Felica pelan. Ia cukup mengerti perasaan anak gadisnya, ia bisa merasakan sakit yang Luzia rasakan. Bahkan, ia tahu, luka di hati Luzia lebih dalam dan besar.
"Mom, aku juga ingin menjadi manusia." Luzia menatap Felica, ia sudah menangis. Menjadi manusia kloningan bukan keinginannya.
Felica memeluk Luzia lagi, ia menenangkan Luzia. Bahkan, ia tahu, jika Chaeri begitu sibuk dan sering kali mengabaikan anak-anaknya. Felica menghapus air mata Luzia, ia kemudian berdiri, dan menatap pada salah satu sudut ruangan.
"Rysh, keluarlah!" titah Felica.
Seorang pria keluar, ia menggunakan topeng dan jubah hitam panjang dengan penudung kepala berwarna senada. Pria itu berdiri tegak, ia hanya diam dan menunggu perintah dari Felica.
"Buka penudung kepala dan topengmu. Anak gadisku, ingin bertemu denganmu." Felica tersenyum, ia mengalihkan tatapan matanya pada Luzia. Tangannya terulur, meraih tangan Luzia dan menariknya untuk lebih dekat.
"Mom, di-dia?" Luzia terbata, ia kembali menatap pria di depannya.
Pria itu melepas penudung kepalanya, ia juga melepaskan topeng yang menutupi wajahnya. Matanya yang tidak terbingkai kacamata, menatap Luzia yang menatapnya begitu dalam. Senyum di bibir Luzia membuatnya sedikit risih, binar mata gadis itu terlihat begitu polos.
"Noel, kita bertemu lagi."
Felica menaikan sebelah alisnya, ia tahu nama Noel, nama seekor kucing yang Luzia pelihara dan kucing yang selalu bersama Luzia saat di kamar tidurnya.
Rysh masih diam, ia hanya terfokus pada wajah Luzia. Gadis itu memang terlihat manja, bahkan mudah menangis. Jiwa pemberontak yang kuat, tapi kemampuan yang teramat sangat lemah. Luzia juga memiliki wajah manis, bercampur cantik. Yang Ia lihat, mata Luzia lebih mirip Kim Chaeri Snake, ibu kandung Luzia. Sedangkan bibir Luzia, lebih mirip White Snake, ayah kandung gadis itu sendiri. Tubuh Luzia pendek, sangat pas dengan seorang gadis yang patut dilindungi. Badan Luzia terlihat mungil, sangat pas untuk dipeluk. Saat ia menggendong gadis itu, beratnya sekitar empat puluh lima kilo.
"Salam kenal, Nona Muda. Saya, Rysh Roulette. Salah satu Shadow Guard yang melindungi Mama. Maaf, jika sebelumnya saya bersikap dingin kepada Anda, atau, saya membuat Anda tersinggung." Rysh membungkuk sedikit, membuat Luzia tidak mengedipkan matanya.
Luzia mengulurkan tangannya, ia menatap Rysh sambil tersenyum, "Aku, Belladona Luzia Snake, mau menjadi teman dan saudaraku?"
Rysh menatap tangan Luzia, ia terlihat ragu untuk menyambut jabatan tangan gadis itu. Sejenak ia berpikir. Rysh mencuri pandang pada Felica, ia seakan ragu untuk melakukan hal lebih jauh. Namun, ia melihat Felica mengangguk samar.
Saat tangan Rysh menyambut uluran tangan itu, ia bisa melihat Luzia yang tersenyum senang. Halusnya tangan Luzia, membuat ia yakin, jika Luzia, adalah seorang nona muda yang begitu hangat dan juga manja.
"Mau menemaniku jalan-jalan? Glizart sedang sakit. Neveriaz selalu sibuk, sedangkan, Salamander sangat tidak suka bicara." Luzia menatap Felica, ia hanya melihat Felica tersenyum dan mengangguk.
"Tapi, saya masih memiliki banyak tugas, Nona."
"Sayang sekali, apa Mommy memberi izin untuk menemaniku?" Luzia menatap Felica, ia masih belum melepas genggaman tangannya pada Rysh.
"Baiklah, kau bisa bersamanya, Sayang." jawab Felica.
"Baiklah, kau tidak punya alasan lagi, Rysh!"