BAB 3

966 Kata
     "Aku punya rencana, tapi, kita harus menanggung hukuman bersama-sama." Glizart menatap Luzia, ia jelas tak rela jika Luzia mendapatkan kebebasan sementara dirinya mendapat hukuman.    "Aku tidak pernah meninggalkanmu," ujar Luzia, ia menatap Glizart dengan tajam seakan mengatakan; 'Tenang saja, mereka tak akan membunuhmu.'    "Luzia, tatapanmu tidak membuatku yakin." Glizart bersedekap, ia menatap sepupunya dengan malas. Sudah terlalu sering Luzia lolos dari hukuman dan membuat dirinya menjadi tersangka utama.    ‎    ‎Namun, saat Luzia mengacungkan jari kelingkingnya, Glizart menjadi yakin. Keduanya sama-sama terkekeh, membuat orang yang lewat merasa ngeri. Mereka merasakan bahaya akan mendekat dan membuat mereka menjadi was-was.    "Ayo ...," ujar Glizart, ia dan Luzia kembali ke mansion, lalu masuk dan menuju ke kamar Glizart. Entah apa yang mereka lakukan, namun itu tentu hal yang akan membuat siapa saja menyerah untuk mengelus d**a.    Glizard membuka pintu kamarnya, Luzia mengikuti dari belakang dan segera berlari ke arah ranjang. Ia berguling di sana dan memeluk guling Glizart. Sedangkan Glizart, ia memilih untuk diam dan membuka ruangan lain di dalam kamarnya. Pria itu masuk lalu duduk di depan sebuah meja panjang, tangannya dengan cepat merakit sesuatu.    "Kau akan membuat apa?" tanya Luzia. Ia menghampiri Glizard dan menunggu sepupunya menjawab, namun, Glizard tidak berniat menjawab.    "Diamlah, sebaiknya kau tidur. Aku akan membangunkanmu, nanti." Glizart menatap Luzia, ia merasa terganggu karena sedari tadi Luzia hanya membuat fokusnya hilang.    "Kau tahu siapa nama pria berkacamata?" tanya Luzia. Ia sungguh penasaran dan ingin tahu nama pria itu.    "Kau sudah memberinya nama, berhenti bertanya dan diam."    Luzia hanya mengangguk, daripada ia bosan lebih baik berbaring dan menonton beberapa siaran yang ada di televisi. Berdiri, tidak lupa ia menarik rambut Glizart, membuat suara gaduh kembali terdengar dan tentu saja diwarnai suara tawa menjengkelkan milik Luzia.    Di luar kamar, seorang pria berdiri di dekat pintu, ia menggunakan topeng dengan jubah dan kerudung yang menutupi bagian kepalanya.    "Tuan muda, dan Nona Luzia berada di kamar."    "Biarkan saja, awasi mereka terus, lalu laporkan padaku."    "Baik."    Lebih dari satu jam, Glizart sudah membuat beberapa mainannya. Pria itu tersenyum senang, lalu menatap Luzia yang masih terfokus pada layar televisi. Berdiri, ia mengumpulkan mainan yang akan ia dan Luzia gunakan. Pria itu menghampiri Luzia, lalu mendaratkan tangannya dengan mulus di atas kepala gadis itu.    "Kau lebih tua dariku, tapi, apa yang kau lihat di televisi dan tingkahmu membuatku meragukan banyak hal." Glizart menarik napasnya pelan, "Kau cantik dan manis, jujur saja kecantikanmu itu berbeda dari yang lain."    Luzia menatap Glizart, ia merasakan sejenak kelembutan pada elusan tangan Glizart di kepalanya.    "Kenapa menatapku?" tanya Glizart.    "Aku merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi," ujar Luzia. Ia menatap sepupunya, mulai dari ujung rambut hingga kaki. Bagian yang paling ia perhatikan adalah mata Glizart.    "Jangan menatapku, kau akan jatuh cinta padaku."    Suara tamparan terdengar, Glizart memegang pipinya dan menatap Luzia, tanpa berkedip dan membuat Luzia menjadi bingung.    "Apa terasa sakit?" tanya Luzia.    "Tidak." jawab Glizart.    Sekali lagi, suara tamparan keras terdengar.    "Apa masih belum sakit?" tanya Luzia, ia mengedipkan matanya beberapa kali.    "Itu tidak sakit!" tegas Glizart.    Baru saja tangan Luzia ingin menamparnya, Glizart menahan tangan gadis itu.    "Kau menamparku beberapa kali, ada apa denganmu?"    "Kau sepertinya salah minum obat, perkataanmu tiba-tiba sangat lembut dan juga, bodoh."    "Luzia Bodoh!" Glizart berdesis pelan, ingin sekali rasanya menendang b****g Luzia dan membuat gadis itu menangis histeris.    "Kau sudah kembali normal, jadi ayo, kita harus melakukan permainan."    Glizart hanya mendesah, ia berdiri dan menurut saat Luzia menarik tangannya. …    Suara ledakan di berbagai tempat, suara teriakan para pelayan, dan jelas saja para mafioso segera berlari dan mencari sumber malapetaka di tengah hari itu. Pria-pria dengan jas hitam dan pistol mereka masing-masing berpencar. Mansion di serang, dan mereka harus secepatnya menangani masalah ini.    "Periksa semua orang, terutama para wanita!" titah seorang mafioso. Ia berlari ke arah gerbang, menatap keadaan di sana yang juga mulai memanas. Pria itu menatap sekitar, ada banyak tempat yang terbakar, ledakan besar tiba-tiba saja ada di hadapannya. Dengan sigap, ia menghindar, berguling di atas permukaan kasar. Matanya menyelidiki sekitar, ia harus bisa menangkap musuh yang mulai menyerang dengan jebakan yang tertata rapi.    "TALONG!" teriakan seorang gadis membuatnya panik, ia melihat ke segala arah.    "TOLONG!" lagi, suara teriakan itu terdengar.    Kaki pria itu berlari cepat, ia melompati tembok tinggi dan kini sudah berdiri di atas sana. Matanya menatap Glizart dan Luzia yang terikat. Darah mengucur dari hidung Luzia, sedangkan Glizart terlihat tak sadarkan diri dengan beberapa luka di tubuhnya.    "Daddy! Mommy!"    Suara tangisan itu membuatnya panik, ia segera melompat dan menghampiri Luzia dan Glizart.    "Uncle tolong!" Luzia menangis, ia khawatir akan keadaan Glizart yang tak sadarkan diri. Air mata gadis itu mengalir deras, membuat pria itu terlihat tidak tenang. Bagaimanapun, yang terluka parah saat ini adalah anak dari keluarga inti Roulette. Ia merasa gagal, ia ingin melepaskan pikatan pada tubuh keduanya, namun, bom kembali meledak. Pria itu terpelanting, ia terhempas di tembok dan matanya terfokus pada tubuh Luzia dan Glizart yang terkena.ledakan.    "Mommy!" teriakan itu adalah akhir dari segalanya.    Pria tadi segera berdiri, ia melangkah sempoyongan ke arah tubuh Glizart dan Luzia yang kini sama-sama dalam keadaan pingsan.    "Ti-tidak!" gumamnya pelan. Ia menatap nanar, ia gagal melindungi anggota keluarga Roulette, belum lagi, ia tidak akan mendapat ampunan dari kepala keluarga Snake.    Beberapa saat ia terdiam, para mafioso berhenti, mereka baru saja tiba di sana. Kondisi tubuh Glizart dan Luzia sudah sangat parah. Darah di mana-mana, ada pula bekas bakar di kulit mereka dan yang paling parah keduanya tak sadarkan diri. Tangan Luzia dan Glizart saling bertautan, sedangkan kepala mereka tertunduk dengan darah yang mengalir dari lubang hidung dan juga mulut.    "Apa yang kalian lihat! Cepat bawa mereka berdua!" Spade yang baru saja tiba menatap miris tubuh dua keponakannya, pria itu menatap marah para mafioso segera melakukan tugas mereka masing-masing. Mereka membawa tubuh Luzia dan Glizart ke ruang perawatan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN