Taman labirin begitu sepi, jarang ada orang yang kesana dan ingin menghabiskan waktu dengan menjelajahi tempat itu. Namun, berbeda dengan pasangan ini. Mereka sedang berjalan tenang, pada sisi kiri dan kanan, bunga pagar setinggi lima meter tumbuh seperti dinding. Luzia, sedari tadi ia hanya bisa mengoceh, lalu Rysh akan menjawab seadanya. Gadis itu, kadang tidak mendapat jawaban dari semua pertanyaannya.
"Um, jadi, kau sudah lama bersama Mommy? Kenapa aku baru melihatmu?" Luzia berjalan pelan, di sampingnya seorang pria tinggi sedang menatap datar ke arah depan. Luzia hanya setinggi bahu pria itu, ia juga harus menengadahkan kepalanya saat ingin bertatap muka.
"Ya." Rysh seperti tak peduli, ia memilih melangkah lebih cepat, meninggalkan Luzia yang tak bisa berjalan secepat dirinya. Pria itu merasa kesal, padahal belum satu jam ia menemani Luzia. Entahlah, baginya hanya mengawasi Felica yang menyenangkan. Ia tidak pernah menginginkan hal seperti saat ini.
"Tunggu!" Luzia berlari, mengejar Rysh yang sudah dua meter di depannya. Gadis itu menatap Rysh yang tidak berhenti, ia terus berlari dan pria itu menghentikan langkahnya mendadak.
Tubuh Luzia terdorong ke belakang, ia terduduk di atas rumput hijau yang terpotong rapi.
"Lamban!" maki Rysh.
"Kau melangkah terlalu cepat, gendong aku!" Luzia merajuk. Ia kesal dengan tingkah Rysh yang terus mengabaikannya.
"Kau punya kaki, gunakan untuk berjalan."
"Tapi, aku lelah."
Rysh terkekeh pelan, ia menatap Luzia yang memamerkan senyuman. Ingin sekali ia menjawab, jika Luzia hanya boneka. Tapi, ia tak ingin mendapat masalah dan membuat Felica marah padanya. Ia cukup mengamati Luzia selama ini, ia cukup paham bagaimana watak gadis itu sejak kecil. Saat Luzia lahir, ia bahkan sudah menjaga Felica.
"Nona Muda, kau manja sekali." Rysh membungkuk, ia menatap Luzia yang masih terduduk di atas rumput. Tangan Rysh terulur, ia mengacak rambut gadis itu gemas.
"Kau membuat rambutku berantakan!" Luzia menggembungkan pipinya, ia menatap Rysh yang terkekeh dan berdiri tegak kembali.
Tak lama, Rysh berdiri, ia kembali membungkuk dan membelakangi Luzia, "Naik, aku tak tahan mendengar rengekan bayi." dia memang tidak menyukai Luzia, namun dia bukan pria jahat yang membiarkan seorang gadis boneka menangis.
Luzia tersenyum, ia berdiri dan naik ke punggung Rysh, tangannya terulur dan memeluk Rysh dari belakang. Luzia bisa merasakan, jika tangan Rysh memegang kedua pahanya, ia juga tersenyum saat pria itu berdiri dan berjalan.
"Kenapa kau sangat irit bicara? Apa Mommy melarangmu banyak bicara?" Luzia menatap wajah Rysh dari samping, namun, ia melihat wajah pria itu terlalu datar.
"Kau tidak menjawab lagi. Ah yah! Berapa usiamu?"
"..."
" Rysh, kau menyukai makanan apa?"
"Apa saja." jawab Rysh, ia masih tahu batasan untuk mengabaikan Luzia.
"Katakan, aku akan belajar memasak untukmu."
Rysh merasa lucu, Luzia bahkan tidak pernah masuk ke dapur, bahkan ia hanya tahu cara makan dan minum. Dan, ia merasa Luzia percuma jika ingin memasak sesuatu untuknya, gadis itu hanya akan memasak racun, dan ia tidak akan merasakan lapar.
"Aku menyukai nasi goreng kimchi," ujar Rysh asal-asalan. Hari ini ia harus menemani Luzia dan menjalankan keinginan Felica. Ia harus bisa membuat Luzia tidak mengadu pada Felica dan Felica memuji dirinya sangat hebat dalam menyenangkan anak gadis manja itu.
"Aku akan mengundang Kakak Rebecca dan Vulcan!"
Rysh hampir tertawa, ia tak bisa membayangkan bagaimana kedua manusia biasa itu saat mencoba masakan Luzia.
"Kau menghina skill memasakku?"
"..."
…
Dapur di mansion utama keluarga Roulette sedang terjadi keributan. Luzia mengusir semua koki dan pelayan yang ada di sana serta memaksa para mafioso untuk pergi sejauh mungkin. Gadis itu tersenyum senang, tidak ada yang berani membantah karena dia membawa nama Felica saat memasuki dapur.
Di belakang Luzia, tiga orang berdiri dengan berbagai macam pandangan. Mereka sama-sama menunggu kelanjutan dari ulah Luzia kali ini.
"Menurutmu, Nona Luzia akan melakukan apa?" Vulcan menyikut Rysh yang sedari tadi hanya diam dan menatap Luzia dengan pandangan datar. Ia belum berkenalan dengan pria itu dan tidak pernah melihat pria tersebut berada di mansion Roulette.
"..."
"Aku akan memasak, kalian bisa menunggu dan mencicipi masakanku nanti." Luzia menarik tangan Rysh. Ia mengabaikan Rebecca yang terlihat masih jengkel padanya.
"Kebetulan sekali, aku merasa lapar." Vulcan mengelus perutnya, pria tampan itu tersenyum saat Luzia membalik badan dan melambai ke arahnya.
"Rysh, gendong. Aku ingin mengambil beberapa gelas, piring, serta mangkuk diatas sana." Luzia menunjuk lemari kaca yang berada jauh di atas tangannya, ia tidak bisa mencapai ke atas sana.
"Merepotkan." cibir Rebecca. Wanita itu duduk di samping Vulcan dan memperhatikan Rysh yang menggendong Luzia.
"Adikmu, apa dia bersama kekasihnya?" tanya Vulcan.
"Bukan, Luzia tidak memiliki kekasih." jawab Rebecca singkat.
Di depan sana, Luzia terus meminta Rysh menggendongnya, lalu meminta pria itu mengambil meja panjang sebagai pijakan saat memasak.
Luzia menatap Rysh, ia kini sedikit lebih tinggi dari pria itu. Tangannya terulur, dan dengan penuh kasih sayang mengacak rambut Rysh.
"Aku bisa memasak, Mom selalu mengajariku dengan baik." Luzia kembali melakukan tugasnya, ia memasak dan memotong sayuran. Walau kemampuannya tidak seberapa, tapi ibunya selalu memuji jika masakan Luzia bisa dikatakan lezat.
Gadis itu melanjutkan tugasnya, ia bernyanyi pelan dan suaranya merdu. Kemampuan Luzia beragam, Chaeri tidak pernah main-main dalam mendidik anak gadisnya.
Satu jam berlalu dengan cepat, dapur sudah bersih dengan makanan yang matang sempurna. Luzia tersenyum senang, ia menatap Rysh yang terlihat bosan lalu melompat dari atas meja.
"Luzia," ujar Rysh pelan, ia menatap mata Luzia, di dekatkannya wajah lalu membersihkan tepung yang ada di pipi gadis itu. Rysh memegang tangan Luzia, ia menatap tangan gadis itu dan merasa miris. Beberapa bekas sayatan pisau, ada juga bekas benda panas yang menyebabkan tangan Luzia terluka. Ia tahu Luzia sedang berusaha memasakan makanan untuknya, hal yang percuma dan hanya menghabiskan waktu saja.
Luzia diam, ia tak mengerti dengan apa yang ingin Rysh katakan, Luzia menelan ludahnya kasar.
"Kau adalah boneka, jangan sampai membuat tuanmu khawatir."
Rasanya begitu menyakitkan, Luzia segera berdiri, ia menepis pikiran buruknya.
"Ayo makan! Kakak Rebecca dan Vulcan sudah menunggu." Luzia tersenyum, ia meraih satu piring nasi goreng kimchi yang diinginkan Rysh, dibawanya ke meja makan dan diletakannya, "Jangan menyentuhnya, makanan ini milik Rysh!" tegasnya.
"Nona, aku akan menerima makanan apapun darimu." Vulcan tersenyum.
Rebecca mengerlingkan matanya, ia menatap Vulcan yang masih duduk dengan tenang dan Luzia yang tersenyum hangat pada mereka berdua.
Luzia baru saja ingin berbalik, namun Rysh sudah membawa satu piring dan mangkuk lalu meletakkannya di atas meja. Ada satu buah roti diatas piring, dan Luzia meraih piring itu. Ia memberikannya kepada Rebecca lalu mengecup pipi kakaknya.
"Kau membuat bagel, apa kau yakin dengan rasanya?"
"Tentu, aku si Luzia yang cerdas, bahkan, Glizart memuji masakanku dan selalu menambah porsi makannya." Luzia berlalu pergi, ia mengambil satu piring yang masih tersisa di dapur, lalu kembali secepat mungkin ke meja makan.
Setelah semua siap, Luzia duduk dan meminta Rysh mengambil minuman yang ia tinggalkan diatas meja. Ia kemudian duduk menunggu dan mereka mulai makan saat Rysh datang lalu duduk bersama untuk menikmatinya.
Meja makan di mansion utama terlihat memanjang, banyak kursi di sisi kanan dan kiri, lalu di dua ujung ada masing-masing satu kursi. Ruangan itu juga didesain dengan suasana abad pertengahan, lampu gantung kristal ada diatas sana dan menjadi penerang bagi empat anak manusia itu.
Vulcan menatap sup rumput laut yang ada di hadapannya, ia cukup kagum dengan wanginya masakan Luzia.
Rebecca juga sama, ia menatap kagum pada bagel yang ada di piringnya lalu dengan tak sabar menikmati bagel kesukaannya.
Rysh, ia menatap nasi goreng kimchi yang Luzia buatkan untuknya. Diambilnya sendok, lalu menyuapkan nasi goreng itu ke mulutnya. Terasa hambar, tapi ia tetap menelan nasi goreng itu, ia juga melirik Rebecca dan Vulcan yang saling pandang.
"Bagaimana?" tanya Luzia. Gadis itu belum menyentuh makanannya.
"Lezat!" tegas Vulcan, ia menatap Rebecca yang juga mengangguk.
"Benarkah?"
"Luzia, ini sangat lezat." Rebecca kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, ia menatap Luzia dan memberikan dua jempol, sambil terus menikmati bagel yang begitu enak itu.
Rysh masih diam, ia menatap senyuman Luzia dan mendesah, "Tidak enak." jawab Rysh tenang, ia menatap Vulcan dan Rebecca yang menatap heran padanya. Baginya, masakan Luzia sama sekali tidak terasa, ia tidak mengecap rasa apapun dari masakan itu.
"Aku merasa ada banyak sampah yang masuk ke tubuhku."
"Benarkah?" Luzia menatap Rysh. Binar matanya meredup, ia hampir menangis.
"Aku tidak berbohong, Nona." jawab Rysh. Ia memang tidak berbohong.
"Maaf, aku membuatmu kecewa." Luzia menunduk, sedangkan Vulcan dan Rebecca hanya diam, mereka menyimak apa yang akan terjadi sambil menikmati makanan enak itu dengan rasa canggung. Vulcan mengambil jalan tengah, ia meraih piring yang ada di depan Rysh lalu makan makanan itu.
Rebecca menunggu Vulcan berkomentar, mengatakan kebenaran dari lidah pria di samping adiknya.
"Bagaimana?" Luzia menatap Vulcan, pria itu diam, dan menyuapkan makanan itu pada Rebecca.
"Kakak, bagaimana?" tanya Luzia.