BAB 8

1560 Kata
   Suara tangisan terdengar begitu sedih, kesedihan yang entah apa penyebabnya. Luzia, beberapa saat lalu ia harus mendengar jawaban dari Vulcan dan Rebecca tentang rasa nasi goreng kimchi yang ia masakan khusus untuk Rysh. Masakan yang dikatakan Rysh tidak berhasil dan malah membuat kedua orang itu ketagihan.    "Dia jahat sekali!" maki Luzia pelan. Ia merasa kecewa, merasa hatinya terluka. Gadis itu memeluk boneka yang dihadiahkan Glizart sebulan lalu padanya, ia menatap wajah boneka itu dan menghapus jejak air mata yang masih membasahi pipi halusnya.    "Glizart, kenapa hanya kau saja yang bisa menerimaku sebagai orang normal?" Luzia memeluk boneka itu. Ia merindukan Glizart dan ingin bersama dengan sepupu kesayangannya itu.    Luzia kembali menangis, ia memeluk boneka itu seerat yang ia bisa dan menumpahkan semua kesedihannya di sana.    Di balik bayang, Rysh hanya bisa menatap datar. Ia baru saja membuat boneka cantik dari keluarga Snake menangis. Bukan rasa bersalah pada Luzia yang ia pikirkan, tapi bagaimana reaksi Felica saat tahu gadis manja itu menangis karena ucapannya. Baru saja ia ingin keluar dari persembunyiannya, seorang pria mendobrak pintu dan masuk. Mata Rysh terpaku, ia melihat pria dengan suarai merah dan putih mendekati ranjang Luzia.    "Nona," ujar pria itu. Ia berdiri di samping ranjang, wajahnya terlihat bersalah dan begitu sedih.    "Riyuma?" Luzia menatap pria itu, kembali menangis dan langsung duduk, "Kenapa kau tidak menyelamatkanku? Kenapa kau meninggalkanku?" Luzia melempar bantal yang ada di kasurnya, ia melakukan itu sambil menangis dan terus menuntut penjelasan dari Riyuma.    Riyuma diam, ia memang bersalah karena meninggalkan tugas dan tidak kembali secepat mungkin. Ia bersalah karena membuat nona yang ia layani mengalami hal buruk. Riyuma melangkah maju, ia memegang kedua tangan Luzia dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya, "Maafkan saya, Nona."    "Jika kau menyelamatkanku, aku tak akan mengenal pria itu. Dia tak akan menyakitiku, dan aku tak akan berhutang nyawa padanya!" Luzia menangis lebih kencang, sedangkan Riyuma semakin mengeratkan pelukannya.    "Apa yang bisa menebus kesalahan saya?" tanya Riyuma, ia masih memeluk Luzia, menenangkan gadis itu dan mengurangi rasa bersalahnya yang amat fatal    "Benarlah? Kau ingin jujur padaku?" tanya Luzia, ia melepas pelukan Riyuma, lalu menatap pria itu. Ia ingin tahu bagaimana dirinya di mata Riyuma.    "Anda baik, dan manja. Tapi, Anda juga orang yang menyebalkan. Semua orang memiliki sisinya masing-masing, beragam sikap dan tingkah laku. Anda, jelas memiliki semua itu, Nona."    "Apa aku seperti manusia?"    Riyuma terpaku, tangannya membelai pipi Luzia dan ia tersenyum, "Nona, anda adalah manusia kloningan. Tetapi, bagi kami kami semua yang ada di Golden Snake, Anda harus dilindungi. Kami mencintai Anda, dan tentu hidup kami hanya untuk Anda dan seluruh keluarga Snake."    Luzia terpaku, benar. Semua orang yang ada di Golden Snake akan memperlakukannya dengan baik. Bukan karena mereka merasakan itu dari hati, tapi sebuah tanggung jawab. Luzia menatap Riyuma, pengawal setia yang selalu mengawasinya. Ia kecewa, tapi ia hanya diam. Ia tak ingin Cancri dan Lauye menghabisi orang banyak dalam organisasi itu dan membuat Golden Snake kacau.    "Nona, apa saya salah bicara?"    Luzia menggeleng, ia kembali berbaring, dan memeluk bonekanya, "Riyuma, pulanglah. Aku akan pulang saat kesehatan Glizart sudah pulih."    "Tapi, saya harus melindungi Anda."    "Tidak ada yang bisa mencelakai ku disini, Mommy Lica ada bersamaku, dan kakak Rebecca menjagaku."    Riyuma diam, ia harus menuruti Luzia dan melaporkan segala sesuatu kepada Cancri dan Lauye. Pria itu berdiri, namun ia terpaku pada tangan Luzia yang terdapat banyak luka dan bekas benda panas.    "Apa yang terjadi? Tangan Anda terluka, Nona."    "Bukan apa-apa, ini tidak terasa sakit. Aku bukan manusia, Riyuma, semua yang terjadi pada tubuhku tidak akan terasa sakit."    Riyuma menatap Luzia tajam, ia jelas tak rela jika tubuh Luzia memiliki luka fisik.    "Jangan menatapku, bawa tubuh ularku pulang!" Luzia menyibak selimut, tubuh ularnya masih terbaring tidur dan ia mencium tubuh ularnya.    Riyuma terpaku, sejak lama ia tak melihat tubuh itu, tubuh ular yang dirindukan.    "Bisakah, saya membawanya?"    "Iya, kau bisa membawa tubuh ularku, Riyuma. Kau bisa membawanya ke markas Golden Snake."    Riyuma mengangguk, ia segera meraih tubuh ular itu dengan rasa senang, "Terima kasih, Nona. Saya akan melakukan perintah Anda."    "Iya, sampai jumpa, Riyuma."    Riyuma segera pergi, ia meninggalkan Luzia sendiri dan itu membuat Luzia merasa lebih baik. Gadis itu duduk, ia menatap kedua tangannya yang mempunyai banyak luka.    "Aku bosan." Luzia kembali mengeluh, ia berdiri dan berjalan ke arah balkon, suasana malam hari terlihat begitu tenang. Luzia duduk pada kursi dan menatap tangannya yang belum juga diobati, ia menangis. Bahkan, tidak ada yang memperhatikan tangannya. Ia mulai menangis lagi, biasanya Glizart akan mengobati lukanya, akan bertanya apa itu sakit atau tidak.    Atau, biasanya Rebecca akan menemaninya, tapi, Rebecca jelas mempunyai kesibukan lain dan takut mengganggunya saat ini. Luzia merogoh sakunya, ia menemukan pisau kecil dan melukai tangannya, ia menatap darah yang keluar dan menangis. Ia kesal, kenapa ia tak bisa merasakan apa itu sakit, kenapa ia harus menjadi manusia kloningan. Ia kesal, kenapa semua yang melukai tubuhnya tidak terasa, kenapa ia harus dilahirkan menjadi seekor ular.    Rysh yang masih bersembunyi dibalik bayang hanya bisa menatap datar, ia tak bisa mengerti wanita, tapi ia tahu Luzia sedang sakit hati. Secepatnya, ia keluar, menahan tangan Luzia yang memegang pisau, di rebutnya, lalu dilemparkan ke bawah.    Luzia berhenti, ia menatap wajah Rysh dan berusaha menarik tangannya. Luzia terus menangis, ia tidak bersuara dan hanya terus berusaha melepaskan tangan Rysh.    "Bodoh!" Rysh menggenggam tangan Luzia lebih erat, ia menatap gadis itu hingga Luzia benar-benar diam dan tidak memberontak lagi.    Darah Luzia menetes ke lantai, mengotori tangan Rysh dan itu terasa basah serta pekat. Wajah Luzia memucat, bukan karena sakit, tapi karena darahnya perlahan berkurang.    Setelah Luzia tenang, Rysh melepaskan tangan Luzia, ia menatap tangan gadis itu dan merasa miris sendiri. Tangan Luzia terluka begitu parah, bahkan kulitnya tergores sangat dalam sampai pada tulang. Urat nadi gadis itu jelas saja putus dan memerlukan perawatan sesegera mungkin. Rysh menggendong Luzia, ia tidak mempedulikan Luzia yang memberontak di gendongannya. Pria itu keluar dari kamar dan membawa Luzia ke ruang perawatan.    "Kau jahat!" rengek Luzia.    "Lepaskan!" Luzia kembali memberontak namun Rysh hanya diam dan terus melangkah.    "Rysh!" tegas Luzia.    Rysh berhenti, ia menatap mata Luzia dan kembali melangkah. …    Ruang perawatan sedang ramai, namun itu bukan halangan untuk Rysh terus berjalan masuk dan menemui Spade. Pria itu mengabaikan pandangan para perawat, ia masuk ke salah satu ruangan, dan langsung menatap Spade yang kini merawat Glizart.    Melihat Glizart, Luzia langsung memberontak dan Rysh tidak mengizinkan Luzia turun. Ia menatap gadis itu, membuat Luzia kembali bungkam dan menangis dalam diam.    "Ada apa ini?" tanya Spade, pria itu berdiri, ia menatap Rysh yang memasang wajah sedatar mungkin.    "Luzia! Dia terluka." Glizart beranjak dari ranjang perawatan, ia menghampiri Rysh dan segera merebut tubuh Luzia dari gendongan pria itu, "Luzia … kau menangis?" Glizart terlihat khawatir.    "Glizart …," ujar Luzia pelan, ia langsung menangis sejadinya dan menyembunyikan wajahnya di d**a Glizart.    "Kenapa dia menangis?" Glizart menatap Rysh. Namun, pria itu hanya diam, "Luzia, tanganmu. Apa itu sakit?" tanya Glizart.    Luzia menggeleng, ia memang tidak merasakan sakit. Namun, Glizart menatap gadis itu tajam.    "Sakit …." Luzia menundukan kepalanya, ia masih menangis sesegukan di gendongan Glizart dan membuat sepupunya merasa khawatir. Glizart cukup tahu, jika Luzia hanya perlu diperlakukan seperti manusia normal, ia cukup mengerti, jika Luzia pasti terluka karena sesuatu yang terlalu dalam.    "Aku akan mengobatimu." Glizart melangkah pergi, ia membaringkan tubuh Luzia di atas ranjang yang tadi ia tempati. Pria itu segera mencari semua keperluan yang ia butuhkan, ia segera bergegas mengobati luka pada tangan Luzia, mulai dari membersihkan, sampai menyambungkan urat nadi Luzia yang putus lalu menjahit kulit gadis itu.    "Kau selalu saja ceroboh, asal kau tahu. Di dunia ini, hanya aku yang bisa mengerti bagaimana perasaanmu itu, Bodoh!" Glizart mengomeli Luzia, ia terus bekerja tanpa peduli pada Spade dan Rysh yang sama-sama memasang tampang datar. Mereka sudah tak asing dengan kedekatan Luzia dan Glizart, mereka juga tahu jika keduanya memang saudara yang saling melengkapi.    "Jika kau ingin menangis, temui aku. Jangan sendirian dan memendamnya seorang diri. Kau tahu, kedua kakakmu bisa saja salah paham dan mencari mereka yang membuatmu terluka."    "Glizart, maaf …," ujar Luzia. Ia hanya meneteskan air matanya, tak berani menatap wajah Glizart yang sedang terlihat marah.    "Aku bisa memaafkanmu, asal kau jangan menangis dan tetap mewaraskan otakmu." jawab Glizart.    Tak berapa lama, Glizart sudah selesai dengan acara pengobatannya. Ia menatap Luzia dan membelai pipi sepupunya, "Lukanya akan cepat sembuh, apa tadi sakit?"    "Ya, itu sakit."    "Baiklah, sekarang tanganmu hanya perlu pemulihan. Lihat, aku memberi banyak perban dan mengobatinya dengan kemampuanku."    "Glizart, kau yang terbaik!"    "Baiklah, sekarang, Luzia kau bisa keluar dan menikmati kasur empukmu. Nero akan datang dan bicara pada Glizart."    Luzia menatap spade yang mendekat pada ia dan Glizart sambil bersedekap, pria itu sepertinya tak akan memberi kesempatan keduanya bersama dalam beberapa waktu.    "Cepat sembuh, Luzia." Glizart kembali mengangkat tubuh Luzia dari ranjang, ia memberikan Luzia kepada Rysh dan menatap Luzia yang sepertinya tak ingin pergi jauh darinya, "Aku akan menemuimu setelah urusanku selesai. Ingat, kita masih punya banyak permainan."    "Ya! Kau juga harus sembuh, aku menunggumu." Luzia tersenyum senang, setelah itu ia melambaikan tangan kirinya yang tidak terluka.    Rysh membawa Luzia pergi, ia hanya diam apalagi saat gadis itu menyandarkan kepala di dadanya dan memejamkan mata.    Rysh membawa Luzia ke garasi, ia tidak mempedulikan saat gadis itu menatapnya heran. Balas menatap, Rysh hanya tersenyum kecil.    "Kita akan kemana?" tanya Luzia, wajahnya terlihat bingung.    Bukannya menjawab, Rysh malah memasukan Luzia ke dalam sebuah mobil, lalu ia masuk dan membawa Luzia pergi dari sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN