Suara letupan kembang api menggeletar, langit malam yang semula gelap terlihat terang oleh bunga-bunga api yang mekar dan bercahaya dengan warna-warna berbeda. Luzia menatap kagum dari jendela mobil, ia sampai menyentuh kaca dan berharap bisa menyentuh cahaya mengagumkan itu.
"Indah!" tegas Luzia, matanya berbinar, ia bahagia dan merasa amat beruntung bisa melihat dunia luar. Gadis itu baru saja ingin membuka pintu mobil, namun, tangan Rysh menahannya dan membuat Luzia mengalihkan tatap matanya.
Pandangan mata Rysh membuat Luzia membeku, beberapa saat mereka saling bertatap dan terbungkam. Luzia mengalihkan pandangannya, ia merasa sesak dan tenggelam dalam mata jernih Rysh yang begitu mengagumkan. Mata itu, memandangnya dengan maksud yang ia tak bisa menebak.
"Rysh," ujar Luzia pelan, ia menunduk, menatap tangannya yang masih ditutupi perban, "Bisa antarkan aku pulang setelah ini." lanjut Luzia. Gadis itu meraih ponselnya. Ia mengirim pesan kepada Rebecca dan tentu kepada Glizart. Gadis itu menarik napas, ia merasa sepasang mata sedang mengawasi.
"Kenapa?" tanya Rysh.
"Aku takut, kau membuatku ragu akan beberapa hal." jawaban Luzia jelas membuat Rysh bingung. Ia tidak memahami bagaimana Luzia, dan ia tidak pernah ingin mencoba untuk melakukan hal itu.
Luzia membuka pintu mobil, ia menatap tingginya menara Eiffel dan berjalan pelan. Ia ingin ke sana, ia ingin merasakan hempasan angin di tempat tertinggi.
"Nona Muda, sebaiknya Anda masuk ke dalam mobil." Rysh kini berdiri di depan mobil, ia menatap Luzia yang terus berjalan dan mengabaikannya. Gadis itu terlihat menunduk, entah apa yang ia pikirkan saat ini.
Dengan terpaksa, Rysh masuk kedalam mobil. Ia terus mengawasi Luzia dengan mata tajamnya, tak ada niatan untuk menyusul, terlalu malas untuk meladeni sikap kekanakan gadis itu.
Mata Rysh mengawasi Luzia, ia tidak mengalihkan fokusnya pada hal lain dan mendesah. Gadis itu semakin cepat berjalan, semakin jauh dan mendekati menara Eiffel.
Di sisi lain, Luzia masih berjalan, ia melewati beberapa pasangan yang menikmati malam indah itu. Ia juga merasa iri, kenapa hanya dirinya yang tidak memiliki seseorang? Apa karena dia bukan manusia dan hal itu hanya sebuah impian yang tidak akan pernah menjadi nyata. Di saat dirinya sedang termenung, seorang pria berhenti di depannya, pria dengan rambut kecoklatan, senyumnya begitu mengagumkan dan membuat Luzia berhenti melangkah.
"Nona, kau berjalan seperti seseorang yang tidak memiliki semangat hidup. Mau ku temani?"
Luzia menengadahkan kepalanya, ia menatap mata pria itu dan terpaku.
"Arnold Villain, kau bisa memanggilku apa saja." pria itu mengulurkan tangan, ia tersenyum saat Luzia menerima uluran tangannya.
"Belladona Luzia Snake, kau adik Tuan Cancri, bukan?" pria itu tidak mengizinkan Luzia memperkenalkan dirinya, ia langsung menyebut nama lengkap Luzia dan membahas siapa kakak dari gadis itu.
Luzia mengangguk, ia kembali menatap lekat pria di depannya, "Maaf, apa aku bisa pergi?" tanya Luzia, ia meminta pria itu tidak menghalangi jalannya.
"Tidak, aku juga sendirian. Mau ku temani?" Arnold kembali menawarkan diri untuk menemani Luzia, entah, ia merasa perlu dekat dengan gadis manis itu
Luzzia kembali mengangguk, Arnold memegang tangan Luzia dan menatap balutan perban yang ada di tangan gadis itu.
"Itu, aku, aku melukai tanganku." Luzia tergagap, ia menunduk, takut jika pria itu tahu dia bukan manusia.
"Tanganmu juga ada bekas irisan pisau dan benda-benda panas." Arnold menatap wajah Luzia, ia melihat jika gadis itu gugup.
Luzia mundur beberapa langkah, ia tak menyukai saat Arnold mulai menyentuh ujung rambutnya dan mencium wangi yang menguar dari sana. Ia ketakutan, penampilan Arnold memang sangatlah rapi, tapi, pria itu membuatnya merasa terancam.
Di saat ketakutan terus menghantuinya, Luzia berhenti, ia merasakan seseorang berdiri di belakangnya dan menahan tubuhnya untuk tidak mundur lebih jauh. Sejenak, ia menghirup udara, aroma menenangkan menguar dari tubuh pria di belakangnya dan membuat hatinya benar-benar bergetar.
"Nona, kita harus kembali." suara Rysh terdengar berat, matanya menatap Arnold yang tersenyum simpul.
"Sayang sekali, bodyguard sudah menjemputmu, Nona Luzia. Apa kau ingin menghabiskan waktu denganku? Aku salah satu kolega bisnis kakakmu."
Luzia menggeleng, ia tidak ingin dan tidak merasa nyawan. Ia merasa jika dirinya bisa saja ditipu dan dijadikan barang jaminan. Kakaknya memiliki banyak teman, juga banyak musuh. Ia tak bisa sembarang percaya pada orang-orang, bahkan pada dirinya sendiri.
"Maaf, aku harus segera pulang." Luzia merasakan Rysh kembali mengangkat tubuhnya. Pria itu menggendongnya ke arah mobil dan memasukan Luzia ke dalam mobil.
Tanpa bicara, Rysh masuk ke dalam mobil dan melajukan mobil itu dengan cepat.
"Bodoh!" tegas Rysh. Membuat Luzia menatapnya heran, "Mereka itu bukan kolega bisnis kakakmu!" lanjut pria itu.
Bukan tanpa alasan Rysh mengatakan hal tersebut, ia melihat beberapa pria bersembunyi dibalik pohon dan berpencar di berbagai tempat. Jelas, mereka mengawasi Luzia yang sedang bicara dengan pria berambut kecoklatan tadi.
"Kau selalu berprasangka buruk pada orang lain." Luzia hanya tak suka jika seseorang menilai orang lain seenaknya. Walau ia merasa terancam, namun ia tetap tenang demi menjaga sopan santun. Ia tak ingin menilai orang lain dengan sekali lihat, ia harus mengenal seseorang lebih dulu baru menilainya.
Rysh diam, ia tak ingin berdebat dengan Luzia dan memperpanjang masalah. Sudah cukup baginya untuk bicara hari ini, ia bahkan harus mengangkat tubuh Luzia dan membawa gadis bodoh itu pergi dengan cepat.
Luzia kembali menatap ke kaca jendela, ia baru saja keluar dari sangkar emas dan menikmati dunia luar. Tetapi, orang-orang di sekitarnya akan selalu mengawasi dan membuat dirinya merasa tidak nyaman.
Entah itu dari kalangan keluarga Snake yang selalu mengawasinya, orang-orang Roulette yang akan ditugaskan ibu keduanya. Luzia juga ingat dengan para kolega bisnis kakaknya baik mereka yang ingin berniat baik, atau berniat buruk terhadapnya.
Hidupnya sejak dulu selalu diawasi, orang-orang dari kakek kandungnya. Belum lagi, orang-orang yang menjadi bawahan ibu yang melahirkannya. Gadis itu bersandar, ia memejamkan mata dan tidak berniat untuk membukanya lagi. Ia terlihat resah, ada banyak hal yang dipikirkannya saat ini.
Tentang cintanya kepada Arth, tentang rasa aneh setiap kali ia bersama Rysh, dan tentang dirinya yang hanya manusia kloningan. Ia terkadang merasa jijik pada tubuhnya, ia hanya seekor ular, ia hanya binatang mematikan bagi semua orang.
"Bagaimana orang lain bisa menerimamu, jika kau juga membenci dirimu sendiri."
Perkataan Neveriaz menari di otaknya, membuat Luzia mau tidak mau terlihat kesal dan membuka matanya.
"Berhenti!" tegas Luzia.
Rysh mengerem mobilnya mendadak, membuat Luzia terhempas ke depan hingga kepalanya terbentur.
"Sakit!" tegas Luzia, ia memegang kepalanya.
Rysh menatap Luzia yang masih mengelus keningnya, pria itu menatap Luzia yang balas menatapnya tajam. Sekarang, mereka berada di daerah yang sepi, mobil juga tidak ada yang melintas dan hanya ada gelapnya malam dengan jalanan yang dihiasi pepohonan pada bagian kiri dan kanan jalan.
"Aku ingin berjalan di hutan." permintaan Luzia membuat Rysh menatapnya lebih tajam. Gadis itu terdengar gila dan hanya membuang waktunya. Luzia menatap Rysh, ia ingin membuka pintu mobil namun Rysh segera melajukan mobil itu dengan cepat.
Luzia terkejut, pria di sampingnya terus mengemudi dan terus saja berdiam diri. Tidak ada sepatah kata pun yang Rysh berikan padanya, membuat Luzia jengkel dan memutar musik sekeras mungkin di dalam mobil.
Rysh hanya menulikan dirinya, ia benci keributan. Tapi, gadis itu mengacaukan hidupnya dalam satu kali pertemuan dan 'kencan' mengerikan yang Felica berikan padanya.
…
Kediaman keluarga Snake, tempat yang terlihat tenang dan sangat pantas dijadikan tempat hunian yang layak. Semuanya masih sama, bunga-bunga masih mekar dengan kelopak besar dan warna-warna yang indah. Gerbang terbuka, mobil berwarna merah memasuki halaman mansion dan menuju garasi.
Para pengawal keluarga Snake menatap aneh, mereka menatap dan melihat seorang gadis keluar dari sana. Luzia, gadis itu berdiri tegak di samping mobil, ia menatap pada pria yang mengikutinya keluar dan berdiri tajam menatapnya.
"Terima kasih," ujar Luzia pelan. Ia berjalan, mengabaikan Rysh yang masih membeku. Pria itu terlalu dingin dan itu membuatnya merasa aneh. Luzia menatap bangunan megah yang menjadi sangkar emas utama baginya, mansion yang dilengkapi dengan keamanan kelas tinggi.
"Daddy!" Luzia berlari, ia melihat White yang kini berdiri dan menatap padanya. Gadis itu memeluk ayahnya, menangis disana dan mengatakan jika dia baru saja merasa kesal pada tingkah Rysh.
White balas memeluk putrinya, ia menggendong tubuh Luzia dan berjalan keluar. Chaeri berdiri di belakang White, ia melihat sang suami yang menghampiri Rysh.
"Terima kasih, kau mengantarkan putriku."
Rysh hanya membungkuk, ia tidak menjawab apalagi saat White berlalu pergi, membawa tubuh Luzia masuk ke dalam mansion utama keluarga Snake.
"Kenapa dia menangis?" Lauye tiba-tiba muncul, ia sama saja seperti hantu, tetapi itu tidak membuat Rysh kaget. Pria itu masih menjaga sopan santun sebagai seorang bawahan.
"Maaf, Tuan Muda. Tadi, saya membawa Nona Luzia keluar dan melihat pesta kembang api di sekitar menara Eiffel. Saat itu, Nona Luzia meminta keluar dan sangat memaksa. Saya hanya Mengawasinya dan dia bertemu seorang pria." Rysh menarik napas tenang, "Pria itu, saingan bisnis Tuan Cancri, ada banyak orang yang mengawasi mereka dan menyebar di sekitar. Saya memaksa Nona Luzia untuk kembali, dan itu membuatnya marah."
"Bagaimana dengan luka yang tertutup perban di tangan anakku?" Chaeri menghampiri Rysh, ia khawatir dengan luka yang ada di tangan anak gadisnya. Mata bionik Chaeri mendata beberapa hal dan itu membuatnya ingin tertawa, "Lauye, sebaiknya kau masuk. Mommy ingin bicara kepadanya."
Rysh menatap tak percaya, bagaimana Chaeri tertarik bicara dengannya. Ada sedikit rasa tak suka jika terus bicara, tapi, mau tidak mau ia harus menurut.
Lauye dengan terpaksa pergi, pria itu menghilang di balik pilar-pilar besar mansion. Setelah kepergian putra keduanya, Chaeri berjalan di depan Rysh.
"Kau salah satu orang yang melindungi Felica?"
Rysh hanya diam, ia tahu wanita di depannya bukan orang biasa dan orang yang pantas diremehkan. Bahkan, wanita itu lebih berbahaya dari siapapun. Mata Rysh mengawasi gerak-gerik Chaeri, ia melihat jika wanita itu terlihat sangat tenang dan berbeda dari informasi yang ia dapatkan.
"Kau juga seseorang yang sama seperti Luzia. Bolehkan, aku tahu bagaimana pendapatmu tentang putri kecilku?" Chaeri berhenti, ia menatap luasnya hutan di sekitar.
"Dia gadis bodoh, merepotkan, berisik dan seseorang yang harus kuhindari."
Jawaban Rysh membuat Chaeri tersenyum, ia juga harap maklum dengan penilaian pria itu.
"Terima kasih," Chaeri membalik tubuhnya, ia menatap Rysh, dengan mata tajam dan senyum yang sulit diartikan.
"Anak muda," ujar Chaeri.
Rysh menatap Chaeri, ia kebingungan saat wanita di depannya menghilang, pria itu menunggu dan menatap ke segala arah. Tetapi, ia tidak menemukan Kim Chaeri Snake.
Rysh memutuskan untuk kembali, ia berjalan pelan ke arah mobil, matanya menatap pada jendela besar di tingkat dua. Di sana, ia melihat seorang gadis sedang mengintip di jendela besar kamarnya, gadis itu adalah Luzia dan ia terlihat terus menatap ke bawah.
Rysh mengabaikannya, ia masuk ke dalam mobil dan menemukan kertas dan ada pesan tulisan di sana. Ia terpaku, pesan singkat itu membuatnya menelan ludahnya kasar. Dia benar-benar menjebak dirinya saat ini.