Sudah menjelang sore saat mobil Freya memasuki halaman Seven. Dengan gontai dia melangkah masuk ke studionya yang sudah mulai sepi. Tadi siang begitu pemotretan selesai Freya langsung pergi menemui Dhani, orang yang sudah dicari carinya dari kemarin.
Permintaan Ibra benar benar membuat Freya kelimpungan. Masalahnya dia belum pernah melakukan pemotretan hotel, apalagi nantinya akan dipasang di situs web untuk promosi resort baru itu.
Foto foto itu nantinya akan berperan penting memberikan gambaran awal, sekaligus menarik perhatian wisatawan dan calon pengunjung resort. Apalagi lokasinya yang di Bali dan mayoritas pengunjungnya adalah para wisatawan dari luar. Freya benar benar tidak habis pikir, kenapa Ibra justru bersikeras melimpahkan pekerjaan penting ini untuknya, yang jelas jelas belum berpengalaman.
Jadi begitulah, kemarin dia langsung menghubungi Dhani, rekan fotografernya yang sudah profesional di bidang ini. Freya terpaksa belajar kilat dengan bertanya banyak hal tentang point point penting apa saja yang harus diperhatikan, supaya bisa mendapat hasil sebagus mungkin.
"Mbak Frey, Tante Aida sudah menunggu dari tadi di atas."
Freya yang baru saja masuk hanya mengangguk ke arah Mitha, salah satu pegawainya. Buru buru dia naik ke lantai tiga untuk menemui mamanya.
"Ma," panggil Freya begitu membuka pintu di ruang atas.
"Lho, kok sudah pulang? Mitha bilang kamu ada urusan ke luar."
Freya menghampiri mamanya yang sedang menonton tivi. Dia mencium pipinya, lalu duduk lemas di samping wanita setengah baya itu.
"Tumben mau ke sini nggak bilang dulu. Kalau tahu Mama mau datang, aku bisa suruh Mas Dhani saja yang kesini tadi."
"Tadi kebetulan Mama ada urusan di dekat sini, jadi sekalian mampir. Kamu kenapa lesu begitu?" tanya Aida setelah melihat anaknya yang lesu.
"Bang Ibra minta aku handle pemotretan hotel barunya yang di Bali, Ma." ucap Freya malas.
"Ibra? Yang temennya Johan kan? Yang anaknya nggak doyan ngomong itu?" cecar Aida untuk memastikan kalau dia tidak salah orang.
Freya mengangguk, kepalanya tambah pusing saat ingat lagi tentang permintaan Ibra. Dia ingin sekali menolaknya, tapi sepertinya laki laki itu tidak akan semudah itu menyerah. Sekarang Freya baru tahu, selain pendiam Ibra juga dominan. Apapun maunya selalu harus terpenuhi dan itu benar benar menyebalkan bagi Freya.
"Lalu masalahnya apa?" tanya Aida.
"Itu bukan keahlianku, Ma. Selama ini aku kan cuma pegang untuk fashion."
"Tapi nyatanya yang prewedding dan maternitynya Via dan Sasha, bisa kok kamu kerjakan dengan sangat baik. Apa salahnya kalau sekarang kamu juga mencoba tantangan yang lain ?" bujuk Aida.
"Beda urusannya, Ma. Kalau fotonya saja jelek,mana mungkin calon pengunjung akan tertarik untuk datang. Foto foto itu kan untuk promosi di situs web hotel mereka nantinya."
Aida tersenyum melihat anak semata wayangnya yang terus saja menggerutu. Dia paham kenapa Freya enggan menerima permintaan Ibra, karena dia takut akan berdampak pada hasil branding hotel itu nantinya.
"Waktu itu kamu juga sempat menolak saat Via memintamu menghandle foto preweddingnya. Coba dulu Frey! Kalau memang hasilnya nanti tidak seperti yang diharapkan, ya tinggal minta saja Ibra buat cari fotografer lain." saran Aida ke Freya.
"Ck, padahal kalau Bang Ibra mau, aku bisa rekomendasikan Mas Dhani untuk pemotretannya. Tapi belum belum sudah ditolak duluan," ucap Freya.
"Kalau begitu terima saja, anggap ini sebagai kesempatan untuk mengasah kemampuan kamu."
Aida melangkah menuju dapur dan meletakkan gelas bekas minumnya di wastafel. Dia tersenyum lega saat memperhatikan keadaan tempat tinggal putrinya yang rapi dan bersih.
Sejak kecil Freya terbiasa hidup mandiri, itulah kenapa dia tidak terlalu khawatir membiarkan anaknya itu tinggal sendiri di sini.
"Freya …"
"Ya …"
"Kapan hari Mama ketemu dengan Ega di depan supermarket dekat restoran kita."
"Lalu?"
Freya hanya menanggapinya asal asalan. Sungguh, apapun itu mengenai keluarga Mahesa dan Aditama, dia sudah tidak ingin mendengarnya lagi.
"Kami sempat mengobrol sebentar, Ega juga minta maaf sama Mama."
"Kenapa dia minta maaf? Kan aku yang memilih mengakhiri hubungan kami," sahut Freya.
Aida menghela nafas, rasa bersalah kembali menyeruak di hatinya. Dia bukannya tidak tahu, sejak dulu Freya sering dipandang sebelah mata karena statusnya yang lahir tanpa ayah.
"Maafkan Mama, Frey. Gara gara kesalahan Mama, kamu selalu mendapat cibiran dan perlakuan tidak menyenangkan dari mereka."
Freya menoleh, Mamanya yang sudah duduk lagi di sampingnya itu sedang menatapnya dengan mata berkaca kaca.
"Mama kenapa sih? Kita makan tidak minta mereka, kenapa juga harus peduli dengan omongan orang lain."
"Tapi Freya ..."
"Aku tidak pernah menyalahkan Mama, jadi tolong jangan berpikir yang aneh aneh. Dunia luas Ma, tidak semua orang punya pikiran sepicik mereka. Hidupnya sendiri saja tidak karuan, tapi sibuk mencela orang lain."
Aida mengangguk mendengar ucapan bijak anaknya. Inilah salah satu kelebihan Freya, selalu bisa bersikap dewasa dan tidak ceroboh mengambil keputusan.
Aida tahu Ega laki laki yang baik dan sangat mencintai anaknya, bahkan sejak dulu saat masih SMA. Tapi pada akhirnya Freya lebih memilih mundur setelah setahun lebih bersama. Tanpa bertanya pun Aida tahu pasti sebab dari berakhirnya hubungan mereka.
"Apa Ega juga bilang ke Mama kalau dia akan bertunangan dengan Hana?"
"Hana? Maksudmu Hana yang …" Freya lebih dulu mengangguk sebelum mamanya selesai bicara.
"Om Yoga sendiri yang menawarkan pada keluarga Mahesa untuk menjodohkan Hana dengan Ega," jelas Freya.
Aida menggeleng pelan, senyum getir tampak jelas di bibirnya. Satu lagi kesalahannya yang kemudian membuat hidup anaknya ini semakin menderita, yaitu menikah dengan Yoga Aditama.
Pernikahan yang hanya bertahan tiga tahun dan berakhir dengan perceraian. Bukan itu yang membuat Aida begitu menyesal, tapi luka yang harus ditanggung Freya karena ulah mantan suami dan anak anak tirinya dulu.
"Jadi sampai sekarang Hana masih mencintai Ega? Apa yang dia harapkan dari pernikahan tanpa cinta seperti itu?" ucap Aida heran.
"Aku juga tidak tahu dan tidak pernah ingin tahu. Selama mereka tidak mengusik kita, aku tidak peduli lagi hal apapun tentang keluarga Mahesa dan Aditama."
"Maaf, Mama benar benar tidak menyangka kalau mereka sampai bisa sejahat itu padamu. Kalau saja Mama tidak menerima pinangan laki laki itu, kamu juga tidak akan sesakit itu.
"Sudah lama berlalu, aku juga sudah tidak mengingatnya lagi Ma."
Freya berbaring dan meletakkan kepalanya di paha mamanya. Matanya terpejam saat tangan wanita yang telah melahirkannya itu membelai rambutnya penuh sayang. Bagaimana mungkin Aida bisa menyingkirkan rasa bersalahnya, sedangkan semua kemalangan hidup anaknya adalah akibat dari kesalahannya.
"Kamu benar benar tidak ingin tahu tentang papa kandungmu? Kalau kamu berubah pikiran, Mama akan memberitahu semua tentang papamu."
Lagi lagi Aida hanya menghela nafas panjang karena anaknya tetap saja menggeleng. Dia tidak pernah menutupi tentang papa kandung Freya, tapi justru anaknya sendiri lah yang menolak untuk tahu.
"Yang penting aku sudah tahu, papaku bukan laki laki b******k yang tidak bertanggung jawab. Dia juga begitu mencintai Mama dan calon anaknya, itu sudah lebih dari cukup bagiku."
"Kamu bisa mencari dan menemuinya, Frey."
"Untuk apa? Kita sudah punya hidup masing masing Ma. Aku tidak ingin kehadiranku justru akan merusak keluarganya yang sekarang. Tanpa papa pun hidup kita juga baik baik saja bukan?"
"Setidaknya kamu tidak akan dihina dan direndahkan lagi oleh mereka. Sudah cukup Mama melihatmu yang hanya bisa diam diperlakukan semena mena."
"Aku tidak butuh siapa siapa lagi, karena aku sudah punya Ibu sehebat dan sebaik Mama. Terima kasih untuk perjuangan juga pengorbanan Mama selama dua puluh enam tahun merawat dan membesarkan aku seorang diri," ucap Freya dengan suara paraunya.
"Semoga Tuhan akan memberikan laki laki terbaik untukmu, Frey. Laki laki yang bisa membahagiakan hidupmu dan menerimamu apa adanya. Hanya itu satu satunya harapan Mama sekarang."
Freya mengangguk, lalu memeluk pinggang mamanya erat. Air matanya mengalir saat wajahnya terbenam di perut orang tercintanya ini.
Terkadang dia juga merasa lelah dan sakit hati, tapi apa dia pantas? Sedangkan mamanya yang selama ini mati matian berjuang membesarkannya saja tidak pernah sekalipun mengeluh.
Aida mengusap kepala Freya, beberapa butir air matanya menetes begitu saja. Semua salahnya, andai dulu dia tidak salah langkah, anaknya juga tidak akan bernasib menyedihkan seperti ini.
"Mama menginap di sini kan?"
"Tidak, nanti dijemput sama Manda. Kalau Mama nginap di sini, bisa bisa dia juga tidak mau pulang ke rumah."
Mereka tertawa pelan. Manda itu adalah sepupu Freya, anak dari saudara kembar laki laki Aida. Sejak umur sepuluh tahun setelah kehilangan bundanya, Manda tinggal bersama Aida. Jadi jangan heran kalau hubungan mereka sudah seperti ibu dan anak, bahkan Manda juga memanggilnya mama.
"Kamu mandi dulu sana! Mama masak sebentar buat makan malam kamu nanti. Sebentar lagi Manda sudah mau sampai sini," titah Aida pada anaknya.
"Tidak usah repot repot Ma, nanti aku beli saja."
"Tadi Mama mampir belanja dulu sebelum ke sini. Sudah sana cepetan mandi!"
Freya melangkah masuk ke kamarnya, sedangkan mamanya bergegas ke dapur dan mulai memasak. Meski tidak pernah pilih pilih makanan, tapi anaknya menyukai seafood. Sebenarnya bukan tanpa alasan, karena ayah kandung Freya juga punya kesukaan yang sama.
"Ma!"
"Mama di dapur," sahut Aida saat mendengar teriakan keponakannya.
Seorang gadis muda yang baru saja muncul dari balik pintu itu segera bergegas menuju dapur menghampiri Aida.
"Kak Frey mana? Sudah pulang kan? Aku lihat mobilnya ada di bawah," tanya gadis itu sambil celingukan mencari sosok Freya.
"Lagi mandi. Katanya mau makan malam dulu sama teman temanmu, kok tidak jadi?"
Belum sempat gadis menjawab pertanyaan Aida, dia lebih dulu mengaduh pura pura kesakitan. Wajahnya merengut menatap Freya yang baru memukul tangannya karena mencomot sepotong daging ayam di atas meja.
"Jorok! Kalau mau makan ambil mangkok dan sendok sana!" omel Freya galak.
"Siapa yang mau makan, aku cuma mau nyicipi. Dasar pelit!"
"Kebiasaan!" dengus Freya sambil menonyor pelan kepala adik sepupunya.
Manda tersenyum geli sambil merangkul lengan Freya. Dulu saat Aida memutuskan menikah, Manda kembali tinggal bersama ayah dan kakak laki lakinya. Baru dua tahun yang lalu setelah Freya pindah ke Seven, dia kembali menemani tantenya yang tinggal sendiri di rumahnya.
"Nanti mampir ke rumah ayah dulu ya Ma, Bang Dika tadi telpon katanya ayah lagi tidak enak badan." ucap Manda.
"Pasti asam lambungnya kambuh lagi, iya kan?" tebak Aida.
"Iya."
Aida menggeleng, adik kembarnya itu pecandu kopi. Meski tahu punya penyakit asam lambung, tapi masih saja tidak bisa menjauhi minuman itu.
"Kalau begitu ayo pulang sekarang, Mama sudah selesai kok masaknya!"
"Lho, kok tidak makan dulu? Mama masak banyak begini, mana bisa aku habiskan sendiri."
Freya protes begitu mamanya memutuskan untuk langsung pulang, padahal sudah masak begitu banyak.
"Kalau tidak habis taruh saja di kulkas, besok kalau mau makan tingal dipanasi."
"Kak Frey cuma cari alasan biar kita mau temani dia makan, Ma."
Freya melirik Manda yang justru cekikikan di sampingnya. Tapi memang iya, dia ingin makan bareng mereka.
"Kami mau menjenguk Om kamu dulu, Frey. Kalau memang parah, nanti langsung mau bawa dia ke dokter."
"Tidak apa apa Ma, besok atau lusa akan aku usahakan pulang."
Aida memeluk anaknya sebentar, sebelum bergegas pulang bersama Manda. Freya yang mengantar sampai halaman, terus menatap mobil mamanya sampai menghilang di tikungan jalan.
Untung saja Manda mau kembali tinggal di rumah mereka, kalau tidak pasti mamanya akan kesepian tinggal di sana seorang diri. Bukan hanya itu, Manda juga yang membantu mengurus restoran dan katering mamanya sekarang.