Aku membunyikan klakson saat melihat Freya yang sudah membuka pintu hendak masuk ke studionya. Akhirnya ketemu juga setelah dari siang dia tidak mengangkat teleponku. Freya melangkah mendekat, matanya mengernyit bingung melihatku keluar dari mobil.
"Kok tumben ke sini?"
"Karena kamu tidak mau mengangkat telponku," sahutku.
"Tadi siang aku buru buru keluar, ponselku ketinggalan di rumah. Memangnya ada apa Bang Ibra mencariku?"
"Ck, jangan pura pura lupa!"
Freya mendecih, aku yakin sekarang dia pasti ingin menjambakku. Tapi lucunya aku justru senang melihat wajah kesalnya itu.
"Ayo masuk!" ajaknya.
Aku mengikuti langkahnya masuk ke Seven. Suasana tampak lengang, lampu utama sudah dimatikan dan hanya menyisakan penerangan di tangga saja.
"Kok sepi? Kalian buka sampai jam berapa?" tanyaku.
"Jam lima sore."
Sesampainya di lantai tiga Freya membawaku duduk di ruang tamunya. Tempat ini meski tidak terlalu besar, tapi tampak rapi dan nyaman.
Ada banyak foto Freya saat masih jadi model yang tergantung di tembok. Sampai kemudian mataku terhenti di satu pigura berisi fotonya yang tersenyum lebar sambil merangkul Johan.
Aku bilang juga apa, mereka berdua memang sedekat itu. Orang lain akan lebih percaya kalau mereka adalah sepasang kekasih daripada hanya sahabat.
"Bang Ibra mau minum apa?"
"Kopi, jangan dikasih gula."
Freya beranjak ke dapur, aku masih mengamati setiap sudut rumah ini. Di pojok ruangan dekat balkon ada tempat khusus fitnes dengan beberapa peralatan olahraga. Pantas saja tubuhnya terlihat segar dan terbentuk sempurna, rupanya dia memang menyukai olah raga.
"Kamu tinggal sendirian di sini?" tanyaku saat Freya datang dengan secangkir kopi di tangannya.
"Iya, kenapa?"
"Kamu tidak takut?" tanyaku lagi.
Wanita ini hanya tertawa kecil sambil meletakkan kopi itu di atas meja depanku, lalu duduk di sofa seberangku.
"Takut apa? Dua tahun tinggal sendirian di sini aku baik baik saja kok," jawabnya santai.
"Halaman depan dan lantai bawah ada CCTV nya kan?"
"Ada."
"Tempat ini kalau malam sepi, Frey. Terlalu bahaya wanita sepertimu tinggal sendirian di sini. Apa kamu sama sekali tidak berpikir, pencuri atau perampok bisa saja masuk ke sini."
"Tapi nyatanya sampai sekarang aman kok."
Aku meraih cangkir berisi kopi itu dan meminumnya beberapa teguk. Sepertinya aku lupa sedang berhadapan dengan siapa, Freya adalah wanita keras kepala yang pantang terlihat lemah. Tidak, tapi dia memang sosok yang dipaksa kuat oleh keadaan hidupnya.
"Jadi kapan kamu bisa berangkat denganku ke Bali?"
"Ck, aku kan belum mengiyakan permintaan Bang Ibra."
Aku mengulum senyum melihatnya mendecak keras dengan muka cemberut. Kalaupun dia menolak, aku masih punya seribu cara untuk membuatnya menyanggupi permintaanku.
"Aku tidak menerima penolakan, Frey."
Masih dengan wajah kesalnya, Freya bersedekap dan menatapku ragu.
"Bagaimana kalau nanti hasilnya jelek, Bang? Dulu aku memang pernah ikut seniorku untuk belajar, tapi hanya sekilas saja karena merasa tempatku tetap di fashion."
"Kalau begitu anggap saja aku sedang memberimu kesempatan untuk mencoba hal yang baru."
"Aku tidak butuh!" sahutnya sengit.
Tawaku menyembur begitu saja saat melihatnya mendelik dengan galaknya. Alih alih menyeramkan, dia justru terlihat imut dengan ekspresi sewotnya itu.
"Bang!"
"Apa?" sahutku masih dengan sisa tawaku.
"Jangan tertawa! Aku mikirnya sampai pusing," ucapnya ketus.
"Apa salahnya mencoba, Frey. Aku meminta bantuanmu karena yakin kamu bisa."
Freya hanya diam dan menatapku lama, dia sepertinya sedang mempertimbangkan banyak hal. Kalau saja dia tahu maksudku yang sebenarnya memaksanya mengambil pekerjaan ini, pasti Freya benar benar akan menendangku.
"Aku akan terima permintaan Bang Ibra, tapi ada syaratnya."
"Ck, kamu kenapa ribet banget? Aku hanya mengajakmu bekerja, bukan mengajakmu menikah Frey."
"Aku serius!"
"Syarat apa?" tanyaku. Padahal apapun permintaannya, asal dia mau pergi pasti akan aku turuti.
"Kalau ternyata hasilnya tidak layak pakai, Bang Ibra cari saja fotografer lain untuk pengambilan fotonya. Aku bisa merekomendasikan rekanku yang sudah profesional di bidang ini kalau Abang mau."
Aku tersenyum puas saat Freya menyanggupi permintaanku. Urusan foto tentu saja penting buatku, karena akan berpengaruh besar pada brand hotel baruku. Namun Freya juga menjadi prioritasku sekarang. Entah kenapa aku semakin yakin, dia adalah orang yang tepat untuk dijadikan teman hidup.
"Deal, kita lihat dulu hasil kerjamu. Kalau memang kurang bagus, kamu bisa langsung minta temanmu yang handle." Ucapku setuju.
"Ok," dia mengangguk setuju.
"Jadi kapan kamu bisa berangkat ke Bali?" tanyaku.
"Besok aku cek dulu jadwal pekerjaanku, akan aku usahakan bisa secepatnya berangkat."
Ponselku berdering pelan, nama Sasha muncul di layar dengan panggilan videonya.
"Om Ibra …"
Wajah ganteng Cello muncul dan langsung berteriak riang menyapaku. Di pangkuannya ada kucing abu abu kesayangannya.
"Cello lagi apa? Dedek Zehan mana?"
"Cello lagi main sama Hero, Om. Dedek Zehan lagi ganti pamper di kamar," jawabnya sambil menunjukkan kucing pemberian dari papanya itu.
"Cello sudah makan?"
"Sudah."
"Coba tebak, Om Ibra sekarang lagi sama siapa?"
Lucunya dia malah langsung celingukan mengintip ke layar ponselnya, seolah ingin mencari siapa yang sedang bersamaku.
"Om Bian."
"Bukan."
"Om Raka," tebaknya lagi.
"Salah."
"Berarti Om Johan dong."
"Keliru."
"Memangnya Om Ibra lagi sama siapa?" tanya Cello kesal setelah semua tebakannya salah.
Aku tersenyum geli. Betulkan kataku, Cello dan Freya itu sama imutnya kalau sedang merajuk. Aku melambaikan tangan meminta Freya mendekat. Dia beranjak dari duduknya dan beralih ke sampingku.
"Halo ganteng," sapanya sambil melambaikan tangan ke Cello.
"Tante Freya …"
Bocah itu seketika tersenyum lebar. Aku kadang merasa heran, Freya terkesan angkuh ke orang lain, tapi dia selalu hangat dan murah senyum saat bersama anak kecil.
"Lho, Freya? Kok kamu bisa sama Bang Ibra?" sahut Sasha yang baru muncul dengan menggendong Zehan.
"Lagi membahas soal pekerjaan. Zehan, duh bikin gemes pengen nyium pipinya itu lho!" seru Freya dengan mata berbinar menatap bayi montok di pelukkan Sasha.
"Ya sudah besok kamu ke sini, kebetulan ada yang mau ulang tahun," kata Sasha.
"Siapa yang ulang tahun?"
"Hero," jawab Sasha enteng.
"Jangan mengada ada kamu, Sha! Sejak kapan ulang tahun kucing juga dirayakan? Bilang saja kamu kesepian di rumah," dengus Freya.
Suara derai tawa Sasha terdengar keras. Kami berdua hanya menggeleng, kelakuannya kadang memang suka aneh.
"Ya sudah kalian lanjut lagi bahas soal pekerjaannya, ini Zehan mau tidur."
"Ok, bye bye Cello." Freya tersenyum melambaikan tangannya.
"Bye Tante Freya."
Aku memasukkan kembali ponselku ke saku jasku, lalu menghabiskan sisa kopiku.
"Bang Ibra sudah makan?"
"Belum."
"Kalau begitu makan di sini saja, tadi mama kesini dan sempat masak."
Tanpa menunggu jawabanku Freya bergegas menuju dapur. Aku beranjak menyusul di belakangnya. Rumah yang didominasi warna putih dan coklat tua ini benar benar terlihat nyaman. Meski perabotannya tidak banyak, tapi rapi dan tertata apik.
Benar saja, di atas meja makan memang sudah ada banyak makanan. Aku duduk di salah satu kursinya, memperhatikan Freya yang mulai sibuk menyiapkan peralatan makan.
"Sayurnya sudah agak dingin, tidak apa apa kan? Atau mau aku panasin lagi?" tawar Freya.
"Tidak usah."
"Bang Ibra tidak alergi udang kan?"
"Tidak."
"Coba ini! Masakan mamaku enak lho. Abang doyan pedas?"
"Boleh, asal tidak pedas banget."
Freya menambahkan udang, sayur brokoli dan juga tumis daging ayam cabe kering itu ke piring yang sudah berisi nasi. Setelah menaruh sendok di atasnya, Freya meletakkan piring itu di atas meja depanku. Belum selesai, dia masih menuang segelas air putih dan semangkuk sup sayuran untukku.
Tanpa sadar aku tersenyum, ternyata begini rasanya makan dilayani dan ditemani wanita yang kita sukai. Bahagia ternyata memang sesederhana itu.
"Terima kasih." Freya hanya tersenyum mengangguk, lalu duduk di kursinya.
Kami mulai makan, tidak ada lagi yang bicara. Freya tidak bohong, masakan mamanya memang enak. Pantas saja usaha restoran dan kateringnya bisa semakin besar, rasa masakannya tidak kalah enak dari restoran mewah.
"Masakan mamamu enak, terima kasih untuk makan malamnya." ucapku setelah kami selesai makan.
"Tadi mama masaknya agak kebanyakan, nggak bakal habis aku makan sendirian."
Freya membereskan piring kotor kami dan mencucinya di wastafel. Semakin kesini semakin aku merasa dia memang tak seangkuh seperti yang terlihat. Judes memang iya, tapi justru itu yang membuatku semakin gemas.
"Kamu bisa memasak?"
"Bisa, tapi tidak seenak masakan mama."
"Freya ..."
"Ya …"
Freya meletakkan piring bersihnya di rak dan memutar tubuhnya menghadap ke arahku.
"Kamu tidak ingin cari pembantu?" tanyaku.
"Pembantu?"
Aku mengangguk, tapi dia bukannya menjawab malah tertawa terkekeh.
"Pembantu untuk apa? Bang Ibra lihat sendiri kan, tempat tinggalku saja tidak luas. Lagi pula waktuku lebih banyak aku habiskan di lantai bawah."
"Setidaknya kalau malam kamu ada temannya. Bahaya tinggal sendirian di sini, Frey."
"Aku sudah terbiasa, kadang teman temanku datang dan menginap di sini kok."
Teman yang dia maksud mungkin adalah dua orang yang tadi sempat aku lihat fotonya di dekat tivi.
Aku melangkah keluar menuju balkon. Meskipun di sini daerah padat penduduk, tapi wanita tinggal sendirian tetap saja tidak aman.
Dari atas sini aku melihat sebuah mobil warna hitam berhenti di halaman. Seorang wanita dan seorang lagi laki laki tampak keluar dari dalam mobil itu. Mereka terlihat penasaran dengan keberadaan mobilku yang terparkir di sana. Kalau tidak salah, mereka berdua adalah teman Freya yang tadi aku lihat di foto.
"Frey …"
"Ya ...."
"Aku pulang dulu, ada temanmu di bawah."
"Kok mereka tidak bilang mau ke sini?" gumamnya.
"Hubungi aku secepatnya! Satu lagi, angkat kalau aku telfon! Atau jangan jangan kamu memang sengaja biar aku datang ke sini?!"
"nggak usah kepedean!" cibirnya lucu.
Kami turun ke lantai bawah, kedua orang teman Freya sepertinya memang sengaja menunggu sampai kami keluar.
"Kalian kok tidak bilang kalau mau datang?" sapa Freya sambil melangkah menghampiri mereka.
"Kan kemarin kita sudah bilang, Neng." sahut teman Freya yang wanita.
"O iya, lupa."
"Kamu ada tamu ya?" tanyanya sambil menatapku.
"Kenalkan ini Bang Ibra, temannya Bang Jo." jelas Freya ke kedua temannya.
Aku menyambut uluran tangan mereka dan berusaha mengingat wajah juga namanya. Ok, paling tidak teman Freya sepertinya bukan tipe orang yang menyebalkan. Itulah kesan yang aku tangkap dari keramahan mereka.
"Kalian masuk saja, aku harus pergi sekarang. Lain kali kalau datang ke Mirror, kalian bisa menghubungiku."
"Gratis ya Bang?" sahut laki laki bernama Miko itu.
Aku hanya mengangguk, Freya menarik pelan lenganku dan mengantarku sampai mobil.
"Mereka cuma bercanda, jangan dianggap serius."
"Tapi aku serius kok. Meski tiap malam memberi VIP room secara gratis untuk mereka, aku juga tidak akan bangkrut."
"Aku pulang dulu," pamitku pada Freya.
"Hati hati, jangan ngebut!"
Aku mengacak pelan rambutnya sebelum masuk ke mobil. Dia melambaikan tangan saat perlahan mobilku mulai melaju meninggalkan halaman Seven.
Sekarang aku mulai menyesal, kenapa tidak dari dulu memperhatikan keberadaannya. Terlalu mudah aku tersenyum saat bersamanya, hal sederhana yang sulit aku lakukan dengan orang lain.