Bab.3 Target

1549 Kata
"Jadi dia orangnya?" Aku menoleh, mengalihkan pandanganku dari Freya yang tampak gusar dan terus bergerak tak nyaman di sana. "Maksudnya?" tanyaku tidak begitu paham. Naresh mengedikkan dagunya ke arah Freya, senyum di sudut bibirnya itu benar benar menyebalkan. "Jangan aneh aneh Resh, Sasha hanya memintaku mengantarnya pulang." "Sejak kapan kamu mengijinkan wanita selain Sasha dan Lovia duduk di mobilmu?" Sekarang dia terang terangan menyindirku. "Ck, tidak seperti yang kamu pikirkan Resh. Dia datang ke rumah Sasha dijemput Jo, tapi karena ada urusan jadi terpaksa ditinggal pulang duluan. " Aku kembali melirik Freya, jaket hitam itu tampak kebesaran melekat di tubuh rampingnya. Entah permasalahan berat apa yang sedang membelitnya, tadi siang aku sempat tak sengaja mendengarnya berteriak marah di toilet rumah Bang Abi. "Kejar kalau kamu memang menginginkannya. Dari caramu menatapnya pun kami tahu kamu menyukainya." "Tidak semudah itu Resh, dia terlalu sulit digapai. Ada banyak hal yang membuatnya selalu menghindar dari orang lain." "Bukankah justru itu yang membuatmu tertarik padanya? Kamu tidak akan menyukainya kalau dia hanya w**************n yang langsung bisa jatuh ke pelukanmu, iya kan?!" Aku hanya mengangkat bahuku. Sejujurnya aku juga masih bingung dengan perasaanku sendiri. Benarkah aku menyukainya atau hanya sekedar rasa penasaran. Freya berbalik dan melangkah mendekat, raut masam tampak jelas di wajahnya cantiknya. Cantik? Iya, Freya memang cantik. Wajah khas orientalnya itu bisa jadi menurun dari ayah kandungnya, karena dia sama sekali tidak punya kemiripan dengan mamanya. "Resh …" "Ya …" "Cari tahu semua tentang Freya! Semua, jangan ada yang terlewatkan." ucapku sebelum Freya datang mendekat. "Ok." Dia datang dan kembali duduk di sampingku. Hanya terdiam dengan tangan yang masih mencengkram erat ponselnya. Siapa sebenarnya yang sudah membuatnya semarah itu? "Kamu lapar? Aku akan menyuruh orang membuatkan makanan untukmu." "Tidak usah, aku tidak lapar." Tinggal kami bertiga di sini, Dini dan Leon sudah turun untuk memeriksa persiapan di bawah sebelum mulai buka. Sesekali Naresh mencuri pandang ke arah Freya, dia seperti sedang menilai wanita yang kini duduk tenang sambil mengotak atik ponselnya itu. Aku melotot saat Naresh tersenyum lebar dengan mengedipkan sebelah matanya padaku. "Aku ke bawah dulu. Berkas yang kamu minta ada di atas meja, ambil saja sendiri!" Sebelum beranjak dia mengangkat jempolnya dan tersenyum samar. Selain Bian, Naresh adalah sahabat yang tahu semua hal tentang aku. Bedanya, dia adalah sosok dewasa yang lebih bisa aku ajak bicara. Mungkin karena itu juga aku lebih bisa terbuka padanya. "Frey …" "Hm …" Aku sedikit menggeser dudukku, dia mendongak mengalihkan pandangannya padaku. "Apapun masalahmu, datanglah padaku kalau kamu memang butuh bantuan. Mungkin kita memang tidak sedekat itu. Tapi bagiku, kamu sama seperti Sasha dan Lovia." Kernyitan di keningnya menghilang dan berganti senyum tipis di bibirnya. Dia mengangguk pelan, melempar tatapannya ke arah dinding kaca besar di depan sana. "Terima kasih, tapi aku baik baik saja." "Kamu bisa membohongi Johan, tapi tidak denganku. Kapanpun, kamu bisa mencariku." "Tidak semua masalah bisa aku bagi dengan orang lain. Bukan kapasitas Bang Ibra untuk terlibat dalam kehidupanku yang rumit," tolaknya halus. Aku mengangguk mengerti. Sudah aku duga, tidak semudah itu untuk mendekatinya. Kita lihat saja, sejauh mana dia bisa terus menghindar dariku. "Kalau begitu boleh aku minta bantuanmu?" "Bantuan apa?" ucapnya setengah ragu. "Pembangunan hotel resortku yang di Bali sudah hampir selesai. Kamu kerjakan pemotretan untuk dipakai di situs webnya." "Tidak bisa, itu bukan bidangku. Aku hanya bekerja untuk fashion. Aku menerima permintaan Lovia dan Sasha untuk pemotretan prewedding juga maternitty, karena bagiku mereka bukan orang lain," dia menolakku. "Jadi maksudnya karena aku adalah orang lain, kamu tidak mau membantuku?" Dia mendecak keras, sepasang matanya menatapku gusar. Aku diam mengamati raut wajahnya yang bimbang, entah alasan apa lagi yang akan dia berikan untuk menolak permintaanku. "Bukan begitu maksudku, Bang. Job yang masuk ke Seven, selain fashion akan dikerjakan oleh rekan fotograferku yang lain. Kalau memang Bang Ibra mau, besok aku akan membicarakan ini dengannya." "Tapi aku maunya kamu yang handle. Prewedding dan maternity juga bukan keahlianmu, tapi nyatanya kamu bisa mengerjakannya dengan sempurna. Masalahnya cuma kamu mau atau tidak menerimanya, iya kan?" desakku. "Nanti hasilnya jelek, itu akan mempengaruhi nilai jualnya." "Bagaimana kamu bisa tahu hasilnya jelek kalau belum mencobanya?" Aku ingin tertawa melihatnya mendengus keras dan menatapku kesal. Benar kata Sasha, kesempatan tidak akan datang dua kali. Aku tidak ingin menyesal jika nantinya benar benar kehilangan kesempatan memilikinya. "Beri aku sedikit waktu, akan aku pikirkan lagi nanti. Mau ditaruh mana mukaku kalau sampai hasilnya tidak memuaskan?" Aku tertawa terkekeh, dia terlihat lucu saat menggerutu dengan wajah yang cemberut begitu. Apa yang aku inginkan, sebisa mungkin harus aku dapatkan. Sekarang aku menginginkan wanita di depanku ini. Seberapapun keras dia berusaha lari dariku, aku akan terus mengejarnya. Sampai dapat. "Berikan nomormu!" Dia menghela nafas panjang sebelum menerima uluran ponsel dariku, lalu mengetikkan sederet nomor dan menyimpannya. "Aku tidak janji ya, hanya akan memikirkannya lagi." "Aku memaksa," sahutku sambil melihat lagi nomor yang baru disimpannya di ponselku. "Mana bisa begitu ?!" protesnya tidak terima. "Jadi kapan kamu akan memberikan kepastiannya?" "Seminggu lagi," jawabnya asal. "Kelamaan, tiga hari lagi aku akan menghubungimu. Hanya ada kata iya, aku tidak menerima penolakan." "Heiii!" Aku tertawa terbahak dan segera beranjak menuju meja kerjaku, sebelum dia mulai menggerutu lagi. Sangat mudah mencari fotografer profesional lain kalau memang aku mau, di Bali juga banyak. Tapi kalau dengan memaksa Freya bisa membuatku mendapat peluang dekat dengannya, kenapa tidak?!" "Ayo aku antar pulang!" Aku menghampirinya setelah mengambil berkas yang aku butuhkan. Masih dengan wajah kesal, dia berdiri dari duduknya dan melangkah mengikutiku keluar. "Dipakai untuk apa ruangan di lantai dua dan tiga ini?" Freya menatap penasaran beberapa ruang besar di lantai dua dan tiga. Sebenarnya lantai tiga hanya untuk ruang kerja, ruang besar sebelahnya adalah tempat biasanya anak buahku berkumpul. "Lantai dua untuk VIP Room dan satu ruang khusus yang biasanya disewa untuk private party. Lantai tiga hanya ruang kerja dan ruang pribadi." Hujan sudah reda saat kami sampai di halaman Mirror. Beberapa pengunjung mulai mengantri di pintu masuk. Freya masih duduk terdiam di sebelahku, pandangannya tertuju ke luar jendela mobil. Benar kata Naresh, hanya Sasha, Lovia dan Freya yang pernah duduk di mobil ini. Mamaku mana mau naik mobil seperti ini, dia bilang terlalu sempit dan berisik. "Frey ...." "Hm .... "Kamu tidak lapar? Kita bisa mampir makan dulu sebelum mengantarmu pulang." "Tidak usah, langsung pulang saja." Padahal aku tahu, tadi di rumah Sasha dia hanya makan sedikit. Freya terlalu sibuk dengan kameranya dan menggendong Zehan kesana kemari. "Kamu suka makan apa?" "Seafood sama nasi goreng." Kebetulan, aku segera menghentikan mobilku di depan sebuah rumah makan. Belum sempat Freya protes, aku segera bergegas turun. "Tunggu sebentar, aku beli makanan dulu!" Begitu masuk dan selesai memesan, aku menengok ke jendela. Dari sini terlihat dia yang sedang duduk menyandar, sepasang matanya terpejam dan wajahnya terlihat lelah. Bolehkah aku berharap bisa menjadi sandarannya? Teman berbagi beban hidupnya yang sepertinya begitu berat untuk dia tanggung sendirian. Sayangnya tidak semudah itu meraih hatinya. Dia seperti sengaja membuat batasan dengan orang di sekitarnya. Atau mungkin itulah caranya supaya tidak terluka lebih dalam lagi. Setelah pesananku selesai, aku segera kembali ke mobil. Senyumku mengembang melihatnya tertidur pulas, sepertinya dia benar benar lelah. Perlahan aku mulai menjalankan mobilku, sesekali melirik wajah cantiknya yang begitu tenang dalam tidurnya. Sebenarnya sejak kapan aku menyukai Freya? Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu. Sesampainya di halaman Seven, aku tidak langsung membangunkan Freya. Keberadaan mobil sport biru yang terparkir di luar pagar itu langsung menarik perhatianku. "Frey, Freya!" panggilku pelan. "Hm ..." Matanya membuka dan mengejap pelan, berusaha mengembalikan kesadarannya. "Maaf, aku tertidur." "Tidak apa apa. Segera masuk dan istirahat, sepertinya kamu benar benar lelah hari ini." Aku segera turun dan membuka bagasi mobilku, mengambil tas yang berisi kamera punya Freya. "Ayo aku antar masuk!" "Tidak usah, Bang Ibra langsung pulang saja. Abang juga capek kan?" "Aku akan pergi setelah mengantarmu masuk. Kamu tinggal sendirian di sini, Frey. Setidaknya aku tahu kamu sudah selamat sampai dalam rumah, jadi aku bisa pulang tanpa harus khawatir." Aku menarik pelan tangannya dan mengantarnya sampai depan pintu. Dia mengernyit saat menerima satu tas lagi yang berisi kotak makanan. "Itu nasi goreng kesukaan Sasha dan Rena waktu sekolah dulu. Enak kok, aku sudah pernah mencobanya." "Jadi tadi Bang Ibra sengaja membelinya untukku?" "Iya, kamu tadi cuma makan sedikit di rumah Sasha." Dia tertawa pelan dan mengangkat plastik berisi nasi goreng itu. "Terima kasih, nanti aku pasti memakannya." "Tapi itu tidak gratis," sahutku yang yang langsung membuatnya melongo. "Haaa ..." "Sebagai gantinya, kamu terima saja penawaranku tentang resort Bali." ucapku dengan bibir berkedut menahan senyum. "Kok gitu?!" Aku tertawa melihat wajah cengonya. Sepertinya setelah bangun tidur, kesadarannya belum benar benar kembali. "Lupakan saja! segera masuk dan makan nasi gorengnya, nanti keburu dingin." "Bang Ibra ..." "Apa?" "Terima kasih sudah mengantarku pulang, juga untuk nasi gorengnya. Nanti akan aku pikirkan lagi tawarannya." "Oke." "Hati hati, jangan ngebut!" "Iya, bawel." Aku tidak bohong, dia semakin cantik saat tertawa seperti itu. Sebelum menutup pintu, Freya masih sempat melambaikan tangannya. Aku menghela nafas, mobil biru itu sudah tidak lagi ada di sana. Siapa sebenarnya dia? Ada urusan apa sampai menunggu Freya di sini? Melihat mobil yang dia pakai, jelas dia bukan dari kalangan biasa. Aku mengendarai mobilku pelan keluar dari halaman Seven. Sepertinya aku harus meminta Naresh memperoleh informasi tentang Freya secepatnya. Aku yakin, kegelisahannya setelah menerima telfon hari ini ada hubungannya dengan pengendara mobil sport biru itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN