"Ini yang kamu minta."
Ibra menerima map yang diberikan oleh Naresh, wajahnya tampak serius saat memeriksa isi di dalamnya.
"Mobil sport biru yang waktu itu kamu lihat di depan studio Freya memang benar milik Reza Aditama. Aku sudah memastikannya dari plat nomor yang kamu berikan," jelas Naresh.
Ibra masih diam, sepasang dahinya semakin mengernyit tajam saat membuka lembar demi lembar isi map di tangannya.
"Terus apalagi yang sudah kamu tahu tentang Reza?" tanya Ibra.
"Dia sekarang menduduki kursi pimpinan Aditama group menggantikan ayahnya Yoga Aditama," jawab Naresh.
"Ck, bukan itu maksudku!"
Naresh justru cengengesan senang melihat Ibra yang mendecak kesal. Dia benar benar penasaran, sejauh mana sahabatnya ini sudah jatuh nyungsep ke pesona seorang Freya.
"Kamu masih ingat foto Risti Pradipta di tempat perjudian itu?" tanya Naresh.
"Tentu saja, tapi apa hubungannya dengan laki laki itu?" ucap Ibra masih terlihat tidak paham.
"Reza adalah pemilik tempat perjudian elite itu. Dari sini kamu pasti sudah bisa menyimpulkan sendiri, dia punya pengaruh yang tidak bisa dianggap remeh di luar sana." jelas Naresh.
Ibra hanya mengangguk, setenang itu tanggapannya tentang Reza yang ternyata juga menjadi bagian bisnis kotor sekaligus kejam itu. Tidak ada sedikitpun kesan terkejut, apalagi gusar di wajahnya.
"Resh."
"Apa?"
"Kalau menurutmu kenapa sampai sekarang Reza masih mengincar Freya? Ayahnya dan Tante Aida bahkan sudah bercerai sejak tujuh tahun lalu," kata Ibra.
"Bukan hanya itu saja Boss, dia juga diam diam membantu usaha restoran dan katering mama Freya. Aneh kan? Padahal pasca perceraian itu keluarga Aditama dan keluarga Freya sama sekali sudah tidak pernah berhubungan lagi," jelas Naresh.
"Mungkin saja Reza merasa bersalah pada Freya dan mamanya," tebak Ibra asal.
Naresh tersenyum sinis, kepalanya menggeleng pelan mendengar ucapan Ibra.
"Ayolah! Orang seperti mereka mana mungkin masih punya hati. Jangan pura pura bodoh! Kamu hanya tidak ingin mengakui jawaban yang sebenarnya sudah bisa kita tebak," ucap Naresh telak.
Ibra mendengus keras dan melemparkan map itu ke atas meja, Naresh tertawa geli melihat sahabatnya yang mulai terlihat kesal.
"Jadi kamu juga berpikir Reza menyukai Freya?"
"Jatuh cinta lebih tepatnya. Hanya itu satu satunya alasan yang logis, kenapa dia sampai bertindak sebegitu jauh."
"Sialan!"umpat Ibra keras.
Naresh menyeringai senang, kapan lagi dia bisa melihat sahabatnya yang biasanya berhati batu ini galau gara gara urusan wanita. Percaya atau tidak, sejak mereka berteman, ini pertama kalinya Naresh melihat Ibra jatuh cinta.
"Aku yakin mama Freya sampai sekarang juga tidak tahu kalau Reza ikut andil banyak atas kemajuan usaha cateringnya. Lihat saja! Pelanggannya banyak yang dari kalangan atas," ucap Naresh.
"Tapi kenapa selama tujuh tahun ini dia tidak pernah mengusik Freya? Kenapa baru sekarang dia kembali mengincarnya?"
Naresh mengangguk setuju dengan pertanyaan Ibra. Kalau memang mau, tidak sulit bagi seorang Reza untuk memaksa Freya bertekuk lutut. Namun nyatanya laki laki hanya menatapnya dari kejauhan dan diam diam membantu usaha mama Freya. Ada apa sebenarnya? Itu yang sekarang menjadi tanda tanya besar bagi Ibra dan Naresh.
"Apapun alasannya, yang jelas jalanmu tidak akan mudah untuk mendapatkan Freya. Lawanmu cukup tangguh kali ini."
"Apa peduliku!" sahut ibra ketus.
Naresh tertawa terbahak. Terlalu menyenangkan menggoda Ibra yang sedang jatuh cinta. Padahal biasanya dia seperti alergi kalau berdekatan dengan perempuan.
"Orang tuamu pasti akan langsung sujud syukur kalau tahu anaknya sedang jatuh cinta, sama perempuan lagi!"
"Sialan! Memangnya aku seperti kamu," lagi lagi Ibra mengumpat.
Naresh mengangkat bahunya sambil tersenyum manis, Ibra mengambil kotak tissue di meja kecil sampingnya dan melemparnya ke sahabatnya itu.
Wajar kalau mamanya Ibra sampai berpikiran yang tidak tidak, karena seumur umur anaknya itu tidak pernah sekalipun mengenalkan kekasihnya. Pergaulannya pun selalu dengan teman temannya yang hampir semua adalah laki laki.
"Lalu bagaimana dengan keluarga Mahesa?" tanya Ibra.
"Sama bobroknya dengan Aditama, buktinya semudah itu mereka bisa membuat Freya menyerah kalah."
Ibra menghela nafas panjang, mencoba menebak perlakuan menyakitkan seperti apa lagi yang sudah Freya dapatkan dari mereka. Kalau tidak, mana mungkin wanita itu lebih memilih untuk mundur.
"Resh ..."
"Mau apa lagi?! Kenapa akhir akhir ini kamu senang sekali merepotkanku?!" sela Naresh sengit.
"Aku mau rumah yang di samping atau depannya Seven. Terserah mau beli atau pun sewa, yang penting bisa secepatnya."
Naresh bahkan sampai dibuat melongo mendengar permintaan Ibra yang tidak masuk akal itu.
"Kamu sudah gila ya?! Sekalinya jatuh cinta membuatmu bertingkah seperti seorang penguntit. Freya justru akan takut kalau sampai tahu kamu senekat itu Ib," protes Naresh yang sudah dibuat gemas dengan kelakuan Ibra
"Reza sudah mulai tahu aku mendekati Freya, dia tidak mungkin akan tinggal diam begitu saja. Terlalu bahaya Freya tinggal sendirian di sana. Tidak ada yang bisa menjamin laki laki itu tidak akan datang dan bertindak macam macam."
"Ckck ternyata sesuka itu kamu sama Freya," ledek Naresh.
"Kenapa? Kamu cemburu ya?" tanya Ibra sambil mengulum senyum.
"Dalam mimpimu!"
Ibra justru tertawa terkekeh melihat Naresh yang menatapnya sinis seakan ingin menendangnya keluar dari sana.
"Mana Ivan? Tumben dia belum datang?" tanya Ibra saat belum juga mendapati sosoknya, padahal biasanya dia selalu datang ke sini menemani Naresh .
"Dia baru saja selesai lembur, aku menyuruhnya istirahat di rumah. Kapan kamu dan Freya berangkat ke Bali?"
"Lusa," jawab Ibra singkat.
"Jangan pulang kalau belum bisa menjadikan Freya sebagai kekasihmu!"
"Ck, kamu pikir semudah itu? Sudah aku bilang, Freya itu lain. Dia terlalu sulit untuk didekati, apalagi diraih."
"Aku tahu, karena itulah kamu semakin tergila gila padanya. Iya kan? Freya cantik, baik dan pendiam. Sosok wanita tahan banting yang cocok mendampingi hidupmu yang keras. Andai bisa, aku juga pasti sudah jatuh cinta padanya."
"Andai bisa?! Sayangnya kamu tidak bisa, iya kan?" ledek Ibra.
"So what? Cinta tidak pernah salah, nyatanya kami bahagia kok."
Ibra mengangguk setuju. Yang penting sahabatnya bahagia, dia tidak pernah sekalipun mempermasalahkan perbedaan diantara mereka.
"Kasihan sekali Freya ya?"
"Kasihan kenapa?" tanya Ibra.
"Bisa bisanya dicintai dua laki laki sakit jiwa seperti kalian," jawab Naresh dengan tatapan menuduhnya ke Ibra.
"Kamu sudah bosan hidup ya?!"
Naresh tersenyum meledek, dia hanya mengatakan apa adanya. Sial sekali nasib Freya sampai bisa jadi rebutan Ibra dan Reza, dua laki laki gila yang sama sama punya kuasa.
"Perjuangkan Freya kalau kamu memang yakin dia orang yang tepat untuk dijadikan teman hidup. Kamu beruntung kalau bisa mendapatkan wanita sebaik dia."
"Pasti, jangan panggil aku Ibra kalau tidak bisa menjadikannya sebagai istriku." ucap Ibra dengan yakinnya.
"Cih, jangan kepedean dulu! Belum tentu juga Freya mau sama kulkas sepertimu. Kamu lihat sendiri kan? Dia bahkan tidak berpikir dua kali untuk pergi dari Si Bungsu Mahesa. Padahal aku yakin, laki laki itu pasti mau mempertaruhkan semua untuk bisa tetap bersama Freya."
"Justru itu keuntungan buatku. Kalau mereka masih bersama, mana mungkin aku punya kesempatan mendekati Freya."
Tiba tiba Naresh diam menatap Ibra penuh rasa penasaran, sudah dari kemarin-kemarin dia ingin bertanya pada sahabatnya ini.
"Sebenarnya sejak kapan kamu menyukai Freya?"
"Aku juga tidak tahu," jawab Ibra sambil mengedikkan bahunya.
"Apa yang kamu sukai dari dia?"
"Ck, kenapa kamu jadi penasaran?"
"Tinggal jawab saja apa susahnya?!"
Namun Ibra tidak langsung menjawab. Dia diam bertopang dagu, tatapannya menerawang seakan tengah membayangkan sosok Freya.
"Matanya yang terlihat sendu itu yang selalu membuatku penasaran. Wajahnya tenang, meski dari sorot matanya dia terlihat sedang kesakitan," ucap Ibra jujur.
"Kamu siap kalau harus berhadapan dengan Reza? Dia jelas tidak sebodoh Arifin Sutarja dan Budiman Anggoro yang bisa kamu singkirkan begitu saja."
"Tidak ada yang perlu ditakutkan. Aku tidak akan menjamah dunia hitam kalau tidak siap dengan segala resikonya," tegas Ibra.
"Bagus, itu baru sahabatku. Seperti waktu kita SMA dulu, kencing saja belum lurus, tapi sudah berani berdarah darah di jalanan. Apalagi sekarang sudah tua bangkotan, iya kan?!"
Mereka berdua tertawa terbahak. Ibra tidak salah memilih teman kan? Inilah kenapa dia dan Naresh bisa bersahabat karib hingga sekarang.
"Ooiya, kebetulan kamu mau ke Bali. Sepertinya masalah Mirror sana harus kamu sendiri yang turun tangan Ib. Wira bilang sampai sekarang dia belum berhasil menemui Hans."
Wajah Ibra seketika berubah kecut. Dia bukannya marah ke Wira yang sampai sekarang belum juga menuntaskan perkara di nightclubnya. Tapi Ibra sudah tidak bisa bersabar lagi membiarkan ada orang yang mengacak acak tempatnya.
"Sudah seminggu lebih, bagaimana bisa Wira masih belum menyelesaikan masalah itu?!" dengus Ibra.
"Anak buah Hans selalu bilang bos nya masih belum kembali di Batam," tutur Naresh.
"Sialan! Mau mencoba coba bermain denganku!"
Kali ini Ibra tidak lagi sedang bercanda seperti tadi, dia terlihat benar benar geram. Ada yang sengaja melanggar aturannya untuk tidak mengotori Mirror dengan obat terlarang. Sedangkan anak buah Hans justru tertangkap basah sedang melakukan transaksi di sana.
"Kamu belum mendapatkan kabar tentang Bontot?" tanya Ibra, tapi dia langsung mendesah kecewa karena dijawab dengan gelengan kepala oleh Naresh.
"Yang pasti dia sudah kembali, tapi otaknya juga tidak bodoh. Dia sangat tahu cara bersembunyi darimu. Buktinya sampai sekarang dia belum menggunakan ATM dan kartu kreditnya, jadi aku jg belum bisa melacak keberadaannya."
"Awas saja kalau sampai ketemu! Aku kelimpungan mengerjakan semua sendirian, tapi dia malah seenaknya menghilang. Terlalu diberi kebebasan malah membuatnya tidak bisa belajar dewasa," gerutu Ibra.
"Paling tidak dia tidak pernah membuat ulah yang memusingkan kalian. Dia masih dalam masanya mencari jati diri, Ib. Terlalu keras justru akan membuatnya berpikir untuk membelot."
"Dia mana berani. Kalaupun tidak takut padaku, nasibnya pasti akan kelar di tangan mama."
Naresh tersenyum menggeleng, bagaimana bisa dia lupa kalau sifat Ibra yang bar bar itu memang menurun dari mamanya