Bab.14 Mirror

1508 Kata
Pukul sepuluh malam Ibra sudah berada di Mirror, nightclub kedua yang dirintisnya sejak dua tahun lalu. Dari tempatnya berdiri di lantai dua sekarang, dia bisa dengan jelas menonton hingar bingar di bawah sana. Belum juga setengah jam buka tempat ini sudah mulai dipadati pengunjung. Baru saja dia berniat masuk ke ruangan Wira, sepasang matanya menangkap sosok tak asing yang kemarin dilihatnya di bandara bersama Freya. Enda, anak bungsu keluarga Aditama. Begitu masuk dia langsung duduk bergabung dengan beberapa orang temannya yang sudah lebih dulu datang menempati area VIP. Di atas meja mereka juga sudah tersuguh minuman yang tidak tanggung tanggung harganya. Tapi bukan itu yang membuat Ibra masih berdiri mengamati bocah itu sekarang. Ada hal lain yang harus dia pastikan menyangkut Bontot kurang ajar yang sedang dicarinya itu "Apa yang membuatmu begitu tertarik mengamati bawah sana? Apakah ada wanita cantik yang ingin kamu bawa pulang malam ini?" Ibra mendengus dan menepis tangan Wira yang merangkul bahunya, tapi temannya yang somplak itu justru tertawa cengengesan. "Ah … aku hampir saja lupa! Babang Ibra kan maunya cuma sama yang masih polos seperti Freya. Tapi masalahnya sekarang, apakah Freya mau sama situ?" ledek Wira. Ibra menyandarkan punggungnya ke tembok sampingnya, lalu membalas tatapan mengejek teman kurang ajarnya itu. "Mau bertaruh denganku?" ucapnya. "Bertaruh apa?" sahut Wira. "Kalau aku menikah dengan Freya nanti, kamu akan datang ke pestaku memakai rok. Kalau aku yang kalah, kamu bebas memilih satu dari mobil yang aku punya. Berani?" Ibra tersenyum puas melihat Wira yang melotot tanpa berani menyanggupi tantangannya. Tidak masalah Ibra kehilangan satu dari mobilnya, tapi lain ceritanya bagi Wira yang harus datang ke pesta pernikahan dengan memakai rok. Dia bisa mati duluan karena tidak kuat menanggung malu. "Kenapa? Kamu takut?" ledek Ibra. "Kenapa aku harus takut?! Lagi pula Freya mana mungkin mau sama kulkas sepertimu," cibir Wira. Ibra tersenyum lebar sambil merangkul bahu Wira. Apa yang kemudian dia katakan berhasil membuat temannya itu melongo. "Sebelum berangkat ke Bali, aku sudah datang dan meminta Freya pada mamanya. Tinggal menunggu Freya mengangguk, aku siap meminta orang tuaku untuk melamarnya." Wira menelan ludah gugup, tidak disangka ternyata Ibra seserius itu menginginkan seorang Freya. Dia tentu saja senang kalau mereka jadi menikah, tapi bagaimana dengan taruhannya barusan. Ibra tertawa terbahak melihat Wira yang biasanya celometan tiba tiba kicep. Jangan tanya bagaimana pusingnya dia kalau Wira dan Bian sedang berkumpul. Mulut mereka yang tidak bisa berhenti nyinyir benar benar membuatnya naik pitam. "Kamu lihat meja VIP nomor dua itu?" tanya Ibra menunjuk ke meja Enda. "Kenapa?" tanya Wira saat menemukan apa yang dimaksud Ibra. "Suruh anak buahmu mengawasi gerak gerik mereka, terutama yang pakai jaket hitam itu!" pinta Ibra. "Kamu kenal?" "Dia mantan adik tirinya Freya. Kemarin kami tidak sengaja bertemu di bandara." "Hanya mantan adik tiri, kenapa kamu melihatnya seolah olah sebagai saingan?" cibir Wira. "Bukan begitu, tapi aku pernah melihatnya bersama Bontot di Aussie. Awasi saja terus mereka, siapa tahu bocah kurang ajar itu nanti juga akan muncul di sini." terang Ibra. "Ok, aku akan minta orang untuk mengawasinya." Mereka kemudian masuk ke ruang kerja Wira. Dinding kaca besar di sini, membuat Ibra bisa leluasa mengawasi ratusan orang yang sedang berpesta di bawah sana. Sebenarnya dia ingin menghubungi Freya, tapi takut justru akan mengganggu tidur wanita itu. Tadi Ibra sudah menelponnya, memastikan keadaan Freya dan menanyakan tentang makan malamnya. "Kenapa Hans belum datang juga?" gumam Ibra mulai tidak sabaran. "Kamu bahkan belum ada satu jam di sini, Boss. Freya sudah tidur pulas, apalagi yang kamu khawatirkan?" dengus Wira kesal. "Di sana sepi kalau malam, Wir." "Tidak usah lebay, resortmu bukan berada di daerah terpencil. Lagi pula meski belum buka, tetap saja aman karena dijaga ketat. Ayolah! Tidak sembarangan orang bisa masuk ke sana tanpa izin penjaganya," protes Wira. Ibra tentu saja juga tahu itu, tapi tetap saja dia tidak tenang meninggalkan Freya seorang diri di villa. Perdebatan mereka terhenti oleh suara ketukan pintu, seorang laki laki kemudian masuk dengan wajah masamnya. Sedang di depan pintu tampak beberapa orang berpakaian hitam berdiri menunggu. Ibra menatapnya datar, sedang pria itu tampak duduk tidak tenang di sofa seberang Ibra dan Wira. "Aku pikir kamu masih betah di Batam. Sepertinya memang harus membawa minyak dan korek api dulu ke gudangmu, supaya kamu tidak lagi pura pura tuli." sindir Ibra telak. Hans terlihat kikuk karena sudah ketahuan berbohong. Dia sama sekali tidak menduga akan berhadapan langsung dengan Ibra. Apalagi dia juga dipaksa datang dengan cara yang begitu memalukan. "Aku minta maaf atas kesalahan anak buahku, tapi aku benar benar tidak tahu dia melakukan transaksi di sini." ucapnya mencoba membuat pembelaan. "Lebih tepatnya pura pura tidak tahu, iya kan? Kalau tidak kenapa kamu menghindar bertemu Wira? Kurang ajarnya lagi, kalian masih berani mengulanginya!" Bentak Ibra geram. Hans mulai terlihat gugup, dia jelas tahu siapa Ibra dan sialnya hari ini nasibnya hampir saja berakhir di tangan laki laki ini. "Jangan coba coba menyentuh wilayahku, Hans! Aku tidak pernah merecoki urusanmu, jadi kamu juga jangan pernah berani lagi mengotori tempatku dengan barang haram itu!" Ucap Ibra penuh peringatan. "Aku benar benar minta maaf dan akan pastikan kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi." sahut Hans. "Sejak awal kamu tahu kan tempat ini adalah milikku?! Wira mungkin bisa lebih bersabar, tapi tidak denganku. Kalau aku bisa dengan mudah menemukan dan merebut gudangmu, bagiku juga tidak sulit untuk menemukan tempat persembunyianmu." Ibra benar benar geram. Pekerjaannya saja sudah membuatnya pusing, masih harus ditambah masalah yang dibuat anak buah Hans di Mirror. Lebih memuakkan lagi melihat sikap Hans yang seakan cuci tangan dan melemparkan semua kesalahan pada anak buahnya. "Coba saja kalian masuk lagi ke wilayahku kalau berani! Aku sendiri yang akan memastikan kamu berangkat ke neraka. Camkan itu!" Bentak Ibra dengan tatapan gelapnya dan tangan menuding ke Hans. Hans hanya mengangguk mengerti. Wajahnya sudah pucat pasi melihat kemarahan Ibra. Dia tidak menduga pemilik Mirror itu benar benar akan datang ke Bali untuk menyelesaikan sendiri masalah Ini. Apalagi Ibra juga dengan mudah Ibra bisa menemukan dan menguasai gudang penyimpanannya. "Terima kasih sudah memberiku kesempatan, aku anggap berhutang pada kalian. Lain kali kalau ada kesempatan, aku pasti akan membayarnya." ucap Hans. "Cukup pastikan anak buahmu tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi. Aku sudah memberimu dua kali kesempatan, lain kali kamu tidak akan semudah itu bisa melangkah keluar dari sini!" Ancam Ibra tidak main main. "Aku paham, terima kasih. Kalau begitu aku pamit dulu." Ibra hanya mengangguk, Hans langsung pergi dari Mirror begitu urusannya dengan Ibra sudah selesai. Sebenarnya bisa saja Ibra langsung membakar gudang milik pria itu atau melaporkannya ke polisi, tapi apa untungnya buat dia. Yang ada justru akan semakin memperkeruh keadaan. Kecuali jika setelah ini Hans dan anak buahnya masih berani membuat masalah dengannya. Ibra tidak akan segan lagi menghancurkan mereka tanpa sisa. "Mau minum?" tawar Wira yang sedang menuang minuman ke gelas di depannya. Ibra yang sudah kembali berdiri di depan dinding kaca itu hanya menggeleng. Freya melarangnya menyetir sendiri kalau sampai menyentuh minuman. Tatapannya masih terus tertuju ke bawah sana. Semakin malam pengunjung semakin berjubel dan ramai "Aku mau langsung pulang saja," pamit Ibra yang langsung membuat Wira mendecak protes. "Ck, itulah kenapa aku tidak ingin jatuh cinta. Belum juga pacaran, apalagi menikah, tapi kamu sudah berubah bucin. Menyebalkan!" Ibra tersenyum, diam diam dia mulai memikirkan perkataan Wira barusan. Apa benar dia sebucin itu pada Freya? Enda terlihat sudah mulai mabuk, bocah itu duduk dengan kepala diletakkan di atas meja. Ibra mengernyit saat melihat seorang gadis sengaja memasukan sesuatu ke dalam gelas minuman di depan Enda. Dia ingin sekali pulang sekarang, tapi hatinya mulai tidak tenang. Bagaimana kalau bocah bodoh itu meminum minuman itu? Berbagai pikiran buruk mulai memenuhi kepalanya. Dia paling tidak suka ikut campur urusan orang lain. Tapi kalau yang di posisi Enda adalah adiknya, apa dia tega membiarkannya begitu saja. Baru saja dia hendak meminta Wira mengurusnya, seorang wanita tampak datang dan duduk di samping Enda. Bocah itu terpaksa duduk setelah dipaksa bangun. Mereka terlihat bicara, Ibra mendengus saat melihat Enda yang tiba tiba memeluk wanita di hadapannya itu. Bukan, tapi Ibra merasa ada yang aneh dengan wanita bertopi yang sekarang duduk bersama Enda di sana. Dia seperti pernah melihatnya, wanita itu tampak tidak asing lagi di matanya. "Apa yang kamu lihat sebenarnya? Kenapa wajahmu terlihat begitu serius?" "Wira ..." "Apa?" sahut Wira. "Lihat wanita yang memakai topi putih di sana itu!" ucap Ibra sambil menunjuk ke meja yang ditempati Enda. Wira mendekat dan melihat ke meja VIP no dua. Matanya menatap awas wanita bertopi putih yang dimaksud oleh Ibra. "Memangnya apa yang aneh?" Wira malah bertanya dengan dahi berkerut tajam. "Aku seperti pernah melihatnya," gumam Ibra tak yakin. Wira semakin mengernyit bingung. Matanya semakin teliti memperhatikan wanita yang sekarang sedang meraih gelas minuman di depannya itu, lalu meminumnya. "Freya ..." Ibra menggeram marah saat yakin wanita di sana itu adalah Freya. Tidak salah lagi, dia pernah melihatnya mengenakan baju dan topi yang sama di rumah Johan. "Sialan! Dia meminumnya!" Teriak Ibra panik. Wira sampai melongo kaget, tiba tiba saja Ibra berlari ke luar dengan wajah yang begitu tegang dan menyeramkan. Kalaupun benar itu Freya, kenapa Ibra sampai semarah itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN