Bab.13 Buas

1964 Kata
"Bagaimana dengan pemotretannya? Lancar kan?" Freya hanya mengangkat bahunya, tanpa mau repot repot menatapku. Kamera baru di tangannya itu telah menarik seluruh perhatiannya, bahkan makan siang di piringnya pun sama sekali belum tersentuh. "Makan Frey! Letakkan dulu kameramu!" ucapku kesal. Dengan setengah hati dia akhirnya meletakkan kamera di tangannya dan mulai menyantap makanannya. Satu hal tentang Freya yang kadang membuatku geleng kepala, dia seakan hanyut dalam dunianya sendiri setiap kali mulai memegang kamera. "Kalau kamu butuh apa apa bilang saja ke Dian. Dia yang akan membantumu selama seminggu ini." "Ok," sahutnya singkat dengan kepalanya yang mengangguk. "Frey ..." "Ya," kali ini dia mendongak menatapku. "Setelah ini aku ada urusan di luar, kamu tidak apa apa kan nanti sendirian di villa? Atau aku minta Dian tinggal untuk menemanimu dulu?" "Tidak usah, biasanya aku juga tinggal sendirian di Seven." "Tapi di sini kalau malam sepi. Resort ini belum buka, jadi para karyawannya juga cuma bekerja sampai pukul lima sore." jelasku. Wanita keras kepala ini tetap saja menggeleng. Dia punya sifat yang sama dengan Cello, tidak menyukai dekat dengan orang yg belum begitu dikenalnya. Sebenarnya aku tidak tega meninggalkannya sendirian di villa, tapi permasalahan di Mirror harus secepatnya aku selesaikan. "Bang Ibra nanti pulang jam berapa?" tanya Freya. "Aku juga tidak tahu. Ada sedikit masalah di Mirror, Wira memintaku untuk datang mengurusnya." "Kalau minum jangan nyetir sendiri pulangnya, bahaya!" ucapnya dengan tatapan seriusnya. Aku tertawa geli, lama lama dia bawelnya melebihi mamaku. Benar kata Johan, Freya tidak sedingin seperti yang terlihat di luarnya. Biarpun judes, tapi dia punya kepribadian yang hangat dan menyenangkan. "Iya, ngerti. Nanti tidak usah masak, aku akan minta orang hotel menyiapkan makan malam untukmu." "Tidak perlu, aku lebih suka masak sendiri." tolaknya. Tadi pagi dia juga menyiapkan sendiri sarapan kami. Padahal kalau mau, tinggal telepon saja dan pihak hotel akan mengantar ke villa. Hotel ini memang belum mulai beroperasi, tapi semua kebutuhanku selalu mereka yang mempersiapkan setiap kali aku datang ke sini. "Kalau ada apa apa segera hubungi aku!" "Iya," sahutnya. Freya makan dengan pelan, sesekali matanya melirik ke arah kameranya. Sepertinya dia sudah tidak sabar ingin segera memulai lagi pekerjaannya. Tiba tiba dia mendongak, mungkin merasa sedari tadi terus aku perhatikan. "Kenapa melihatku terus? Aku mengganggu kerja Bang Ibra ya?" tanya Freya. "Tentu saja tidak, kan aku yang mau kamu temani makan siang!" Terus terang aku mulai penasaran akan sosok ayah kandung Freya. Kalau anaknya bisa secantik ini, pasti ayahnya juga tidak biasa biasa saja. Freya tidak mirip mamanya, berarti kemungkinan besar dia lebih menuruni wajah dari ayahnya. Setelah menyelesaikan makannya, Freya membereskan piring kotor di atas meja dan membawanya ke luar. Dia kembali sebentar kemudian, lalu meraih tas punggung serta kameranya. "Aku pergi dulu ya Bang, sudah ditunggu Dian di luar." pamitnya dengan setengah buru buru. "Hati hati!" Baru saja hendak menarik gagang pintu, Freya kembali membalikkan badan menatapku. "Ingat pesanku! Kalau nanti Bang Ibra minum di Mirror pulangnya jangan nyetir sendiri!" ucapnya mengulang kata katanya yang tadi. "Iya Yang, iya!" jawabku sambil tersenyum menggodanya. Mendengar panggilan sayangku Freya mendengus sebelum melangkah pergi aku. Begitu pintu tertutup rapat aku segera meraih ponselku. Sudah sejak tadi Wira terus menelponku, tapi mana mungkin aku mengangkatnya sedang Freya masih ada di sini. "Bagaimana?" todongku langsung ingin tahu. "Sorry Ib, aku belum berhasil membuatnya buka mulut. Sepertinya dia benar benar takut pada Hans." "Ck, kenapa masalah begini saja harus aku sendiri yang turun tangan?!" ucapku kesal. "Kalau diteruskan nyawanya bisa melayang, Bro." sahut Wira. "Aku kesana sekarang." Aku bergegas keluar dari ruang kerjaku dan turun menuju area parkir. Kalau ingin masalah ini cepat selesai, satu satunya cara adalah membuat anak buah Hans buka mulut. Pembangunan resort ini sudah memasuki tahap rampung, semakin banyak hal yang harus aku selesaikan. Saat aku kesulitan membagi waktu karena harus mengurus semuanya sendiri, bocah sialan itu justru menghilang dan tidak bisa dihubungi lagi. Bagaimana bisa aku tenang mempercayakan hotel yang di Jakarta padanya, kalau sifatnya saja masih semaunya sendiri begitu. Butuh waktu hampir setengah jam untuk sampai di tempat ini. Letaknya yang dekat dengan pantai dan sedikit terpencil dari pemukiman nelayan, membuatnya aman juga tidak mudah dicurigai. Kebanyakan orang pasti mengira tempat ini hanyalah villa yang memang jarang ditempati pemiliknya. Begitu turun dari mobil, aku bergegas menuju ke gudang tersembunyi di bagian belakang rumah bertingkat dua ini. Wira dan anak buahnya yang melihat kedatanganku langsung berdiri menghampiriku. "Kamu lihat sendiri kan, sudah bonyok seperti itu dia tetap saja tidak mau buka mulut." ucap Wira. Pria yang duduk terikat di kursi itu keadaannya memang sudah mengenaskan. Wajahnya babak belur dengan darah yang mengalir dari hidung dan sudut bibirnya yang robek. Aku melepas jas dan dasi yang aku kenakan, lalu melemparnya ke atas meja. Wira tampak terkejut saat aku mengeluarkan pisau kecil dari dalam sakuku. "Jangan gila kamu, Ib! Hans tidak akan tinggal diam kalau kamu benar benar membunuhnya," ucapnya panik. "Memang itu yang aku tunggu. Biar dia tahu, dengan siapa dia sedang bermain main." Aku menyeret satu kursi, lalu duduk di depan pria itu. Sepasang matanya menatapku nyalang menantang. "Dengar! Aku tidak punya banyak waktu menemanimu bermain main. Cukup katakan dimana gudang juga markas Hans berada!" "Cih, kalau aku tidak mau mengatakannya kamu mau apa?!" Dia mendecih keras, tidak tampak sedikitpun takut di wajah. Bagus! Kita lihat sejauh mana dia akan mampu bertahan bungkam. "Aku mau ini!" Suara jerit kesakitanya menggelegar memenuhi seisi ruangan saat pisau di tanganku menancap di paha kirinya. Darah mulai merembes keluar membasahi celana jeans yang dia kenakan, begitu aku menekan pisau di tanganku semakin dalam. "Jangan pikir aku tidak berani membunuhmu! Manusia perusak hidup orang sepertimu sangat pantas untuk mati!" ucapku di depan wajah piasnya. Tubuhnya gemetar hebat menahan rasa sakit, matanya terpejam dengan gigi bergemeletuk keras. Sesaat kemudian suara jeritnya kembali terdengar keras. Dadanya membusung dengan wajah mendongak saat aku mencabut pisau itu dari pahanya. Wira dan dua anak buahnya yang berdiri di samping pria ini tampak meringis melihat darah yang menetes di lantai. "Kamu masih ingin bungkam? Tidak apa apa, aku akan dengan senang hati melanjutkan lagi permainan ini." "Kalian lepas ikatannya! Sekarang aku menginginkan tangan kanannya!" perintahku ke dua orang di samping Wira. Mereka mendekat, lalu melepas ikatan tali di tangannya. Pria ini mulai meronta ketakutan, tapi matanya masih menatapku garang. "Kalau kamu tidak keberatan jadi manusia pincang, bagaimana kalau sekalian tangan kananmu yang aku buat tidak berguna?!" "Sialan! Jangan coba coba menggertakku! Aku sama sekali tidak takut," teriaknya dengan suara bergetar. Aku tertawa terbahak. Dia bilang tidak takut, tapi seluruh tubuhnya gemetar dengan keringat dingin membanjiri wajahnya. "Kalau begitu ayo kita buktikan!" Dia semakin kuat meronta saat tangan kanannya diletakkan di atas meja. Apalagi ketika melihatku mulai mendekat dengan menghunus pisau yang masih berlumuran darah. "Aku hitung sampai tiga. Kalau kamu masih bungkam, ucapkan selamat tinggal pada tangan kananmu." "Satu ... dua ..." Aku mengangkat pisau di tanganku tinggi tinggi, dia semakin meronta dan berteriak memakiku. Aku penasaran sampai dimana kesetiannya pada Hans, yang bahkan sampai sekarang sama sekali tidak berusaha mencari keberadaannya itu. "Tiga!" "Tunggu!" Dia berteriak keras bertepatan dengan pisauku yang menghujam turun ke arah pergelangan tangannya. Aku tertawa geli melihatnya yang sekarang menangis keras. Padahal pisau itu hanya menancap di atas meja, hanya satu centi dari pergelangan tangannya. Kasihan sekali! "Waktu itu kamu juga kan yang tertangkap tangan menjual barang haram di tempatku. Sudah kami peringatkan dan kamu malah sengaja mengulanginya lagi. Sudah bosan hidup kamu rupanya!" bentakku geram. "Maaf, aku bersumpah tidak akan mengulanginya lagi." ucapnya menghiba. Wira mengumpat kaget saat tubuh anak buah Hans terjengkang ke belakang menghantam lantai setelah aku menendang kursi yang didudukinya. Tidak ada yang berani mendekat untuk menolong meski dia mengerangan kesakitan. "Sekali lagi aku tanya, dimana gudang dan markas Hans berada?" tanyaku untuk kesekian kalinya. "Hans akan membunuhku kalau sampai aku buka mulut," jawabnya dengan wajah meringis kesakitan. "Kalau kamu masih bungkam, sekarang juga aku yang akan membunuhmu. Kamu pikir Hans peduli dengan nasibmu? Jangan mimpi!" Aku berjalan ke sudut ruangan dan mengambil tongkat yang tergeletak di sana. Pria itu merangkak ketakutan begitu melihatku melangkah mendekat dengan menyeret tongkat di tanganku. "Tunggu! Tolong, aku belum mau mati!" teriaknya miris. Tidak ada istilah kejam di dunia hitam. Belas kasihan hanya akan membuat suatu saat kita ditikam dari belakang. Bahkan bukan tidak mungkin oleh orang terdekat kita sendiri. Aku berdiri tepat di hadapannya, dia hanya bisa terduduk di lantai yang telah basah oleh cairan merah itu. Bau anyir terasa menyengat dan menjijikkan. Dia kembali menjerit kesakitan ketika tongkat di tanganku menekan keras luka di paha kirinya. Tubuhnya berguling di lantai putih yang sekarang berubah merah. "Ini kesempatan terakhirmu untuk bicara. Aku akan dengan senang hati menjadikan kepalamu bola kasti, jika kamu tetap memilih bungkam!" Sekarang dia meringkuk ketakutan, apalagi setelah melihatku perlahan semakin mendekat ke samping tubuhnya yang terkapar. "Satu ..." Aku mulai menghitung, tongkatku sudah berada tepat di depan wajahnya yang menempel di lantai kotor. "Dua …" Dia mulai menangis meraung dan berusaha bangun, tapi gagal karena aku lebih dulu menginjak pahanya yang terluka. "Tiga ..." Dia berteriak menyerah setelah melihat tongkat di tanganku terangkat dan siap mengayun menghantamnya. "Ampun Bang! Aku akan bicara, tolong jangan bunuh aku!" "Dimana gudang Hans berada?" tanyaku. "Tidak jauh dari pelabuhan, di gudang belakang pabrik pengolahan ikan." ucapnya. "Markas Hans ada dimana?" Dia menggeleng keras menjawab pertanyaan dariku. "Tidak tahu, biasanya kami bertemu dan berkumpul di tempat singgah dekat gudang." Aku melempar tongkat di tanganku setelah yakin dia memang tidak berbohong lagi. Wira hanya meringis melihatku melangkah menuju pintu keluar. "Suruh mereka berdua mengurusnya! Panggil dokter yang biasanya untuk mengobati lukanya!" perintahku ke Wira yang mengikuti di belakangku. "Ok." Aku bergegas keluar setelah mengambil jas dan dasiku. Sedang Wira hanya diam mengikuti langkahku keluar dari sana. "Aku pikir kamu benar benar akan membunuhnya. Melihat darah berceceran dimana mana dan bau anyir membuatku ingin muntah," ucap Wira yang mulai menggerutu. Kami masuk ke bangunan rumah bertingkat dua ini lewat pintu belakang. Sepatuku yang kotor aku biarkan tergeletak begitu saja di luar. "Bisa apa kamu selain meniduri wanita wanitamu itu?! Cuma membuatnya buka mulut saja kalian tidak becus!" sungutku kesal. Wira tampak menatapku sengit, wajahnya tampak jijik melihat kemeja putihku yang kotor dengan bercak merah. Lihat saja! Dia sengaja duduk menjauh dari sofaku. "Cih, kamu mana tahu apa itu surga dunia? Umur tiga puluh masih perjaka, malu dengan wajah bengismu yang seperti psikopat saat menghajar orang seperti tadi itu Ib." cibir pria kurang ajar ini. "Aku bukan kamu yang otaknya hanya bisa untuk memikirkan hal menjijikkan macam itu," sahutku. "Ck, lihat saja nanti kalau kamu sudah tahu rasanya, bisa bisa Freya akan beranak setiap tahun." sindir Wira yang membuatku tersenyum geli. "Masalah buatmu?!" "Tidaaaaak." Tawaku menyembur mendengar suaranya yang menjijikkan. Sial sekali nasibku punya teman tidak ada satupun yang otaknya waras. "Wira …" "Ya," sahurnya. "Kamu bawa orang secukupnya ke gudang Hans. Lumpuhkan anak buahnya, lalu hubungi dia untuk datang menemuiku di Mirror malam ini juga!" perintahku. "Kalau dia menolak?" tanya pria sableng ini. "Suruh Hans sendiri yang memilih, mau gudangnya dibakar atau kita panggil polisi untuk menggerebeknya. Pasti menyenangkan melihatnya jadi buron." Wira mengangguk paham. Dia bergegas berdiri dari duduknya dan melangkah menuju pintu depan, tapi kemudian berbalik lagi. "Aku lupa memberitahumu, kapan hari sepertinya aku melihat Bontot." "Dimana?" aku mendongak menatapnya penasaran. "Aku tidak begitu yakin sih, soalnya hanya sekilas saat menunggu lampu merah tidak jauh dari Mirror. Aku melihatnya di parkiran cafe bersama temannya." jelas Wira. "Teman?!" Aku mendelik curiga melihat senyum aneh di wajah Wira. "Yang seperti ini." Dua tangannya meliuk membuat pola biola, setelah itu dia pergi begitu saja dengan tawa puasnya. Bocah sialan! Pantas saja dia menghilang dan tidak bisa dihubungi, ternyata keluyuran di Bali. Aku beranjak ke mobil mengambil beberapa berkas dan laptop yang sempat aku bawa tadi, lalu naik ke lantai atas dimana kamarku berada. Aku butuh mandi juga ganti baju, bau anyir ini benar benar membuatku mual.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN