Bab.15 Ketahuan

1317 Kata
Tadinya aku memang terpaksa menerima permintaan Bang Ibra untuk pemotretan hotel resortnya di Bali. Bukan karena tidak mau, tapi karena merasa tidak mampu. Namun tidak seperti kekhawatiranku sebelumnya, ternyata aku justru menikmati tantangan kerjaku kali ini. Hotel resort yang berdiri megah di atas tebing pantai ini benar benar membuatku terkagum kagum. Buktinya hanya dengan mengikuti insting dan rasa tertarik akan keindahan tempat ini, aku berhasil mendapatkan hasil jepretan yang cukup memuaskan. Mas Dhani sendiri memberikan nilai bagus setelah melihat kiriman foto dariku. Setidaknya itu sudah bisa membuatku bernafas sedikit lega, karena peluang keberhasilanku dalam pemotretan kali ini semakin besar. Lagi lagi aku menguap, terlalu sibuk dengan foto foto di laptop membuatku tidak sadar malam sudah selarut ini. Baru saja mau mematikan lampu kamar, ponselku berdering pelan. Aku pikir Bang Ibra yang yang menelpon, tapi ternyata satu nomor asing yang tidak kukenal. "Hallo ..." "Kak Frey ...." "Enda?" Sahutku setengah tidak yakin. Suara musik yang terdengar keras membuatku tidak begitu jelas mendengar suaranya. "Bisakah Kak Frey ke sini menemuiku sekarang?" "Kamu mabuk? Dimana kamu sekarang?" Mendengar suara beratnya dan musik yang begitu keras, aku sudah bisa menebak dimana Enda sedang berada. "Aku tidak mabuk!" "Pulang Enda! Kalau kamu mabuk di luar nanti siapa yang akan mengurusmu?" "Sudah aku bilang jangan sok peduli padaku!" "Enda ..." "Aku tidak pernah ikut ikutan mereka menyakiti Kak Frey, tapi kenapa aku juga Kakak benci dan jauhi?" "Aku tidak pernah membencimu, tapi ..." Suaraku seperti tercekat di tenggorokan, mataku memanas karena rasa sakit yang tiba tiba menjalar di dadaku. Selama tiga tahun menjadi bagian dari keluarga Aditama, Enda adalah orang yang paling dekat denganku. Bahkan bocah itu lebih akrab denganku daripada dengan kedua kakak kandungnya sendiri. "Kamu pulang dulu, aku janji akan menemuimu nanti setelah pekerjaanku di sini selesai." ucapku berusaha untuk membujuknya. "Bohong! Dulu Kak Frey dulu juga janji tidak akan pergi, tapi nyatanya apa?!" "Enda ...." "Kenapa sampai sekarang Kakak tetap diam saja dijahati oleh mereka? Pantas saja Kakak muak melihatku, karena aku juga bagian dari keluarga mereka." "Bukan begitu Enda. Dengar! Kita bicara …" Sambungan terputus begitu saja. Sumpah demi apa, aku benar benar sudah tidak ingin peduli lagi pada bocah itu sekarang. Tapi kenapa aku tetap saja merasa khawatir? Bagaimana kalau sampai terjadi apa apa dengan Enda? Persetan! Aku segera mematikan lampu dan naik ke tempat tidur. Apapun yang menyangkut tentang keluarga Aditama bukan lah urusanku, termasuk Enda. Aku dan Enda beda umur dua tahun. Dulu dia juga sempat tidak menyukai kehadiranku di rumahnya. Tapi ternyata dibalik sikapnya yang urakan dan susah diatur, Enda adalah sosok yang hangat. Lambat laun hubungan kami semakin dekat, sampai kemudian dia benar benar menganggapku sebagai kakaknya. Sial! Bagaimana aku bisa tidur kalau kepalaku dipenuhi kekhawatiran tentang bocah itu. Enda memang anak bungsu keluarga Aditama, tapi dia tulus menerima kehadiranku. Tidak pernah sekalipun dia menyinggung statusku yang lahir tanpa ayah untuk merendahkan apalagi menghinaku, seperti yang biasa kakaknya lakukan padaku. Kalau aku menyusulnya sekarang, lalu bagaimana dengan Bang Ibra? Dia pasti akan marah kalau tahu aku pergi dari resort selarut ini, apalagi untuk menemui adik Reza. Aku segera bangun meraih ponselku, lalu menghubungi Enda. Diangkat, tapi hanya dentuman keras suara musik yang terdengar di telingaku. "Kamu sekarang dimana?" tanyaku. "Bukan urusanmu!" jawabnya ketus. "Jangan keras kepala! Dimana kamu sekarang? Aku akan menyusulmu ke sana." "Mirror, tidak jauh dari resort Kak Frey berada sekarang." "Bagaimana kamu bisa tahu tempatku?" tanyaku bingung sekaligus penasaran. Tapi bukannya menjawab pertanyaanku, Enda malah kembali memutuskan telponku begitu saja. Dasar bocah kurang ajar! Hampir jam sebelas, Bang Ibra benar benar akan marah kalau tahu aku keluar tanpa sepengetahuannya. Tapi daripada aku tidak bisa tidur karena kepikiran Enda, lebih baik aku pergi memastikan keadaannya sebentar. Setelah berganti baju dan meraih tasku, aku menghubungi penjaga pintu utama untuk minta tolong dipanggilkan taksi. Beruntung tidak perlu menunggu lama taksi yang aku butuhkan akhirnya datang. Buru buru aku pergi dari villa, semoga saja Bang Ibra tidak kembali sebelum aku pulang nanti. "Nightclub Mirror," ucapku setelah masuk ke ke dalam taksi. Selama hampir setengah jam perjalanan jantungku terus berdetak kencang. Aku merasa seperti abg yang takut ketahuan setelah melompat dari jendela untuk pergi ke nightclub. "Kita sudah sampai di Mirror, Nona." Aku mengulurkan sejumlah uang, lalu turun dari taksi. Bali seperti halnya Jakarta yang hampir tak pernah sepi. Sudah jam setengah dua belas, tapi suasana masih begitu ramai di sini. Tapi saat hendak melangkah masuk, aku merasa seperti ada sesuatu yang ganjil di sini. Jelas ada yang salah, tapi apa aku juga bingung?! Mataku menatap sekitar, mencoba mengingat sesuatu yang sepertinya terlupakan olehku. Tunggu! Ini Mirror. Sialan! Dari begitu banyak nightclub yang bertebaran di Bali, kenapa Enda harus masuk ke tempat ini. Meski dengan perasaan takut akan bertemu Bang Ibra di dalam sana, aku tetap nekad masuk setelah memakai topiku. Dentum keras suara musik dan gemerlap warna warni lampu langsung menyambutku begitu sampai di dalam. Bau alkohol dan asap rokok yang menyengat, juga mereka yang sedang meliuk mengikuti hentakan musik, mengantarkan sensasi tersendiri di otakku. Enda ada di sana, duduk dengan kepala menelungkup di atas meja. Melihat keadaannya yang teler seperti itu, aku yakin dia sudah menghabiskan banyak minuman. Hanya ada dua orang gadis dengan pakaian kurang bahan yang berada di meja VIP ini. Mungkin hanya perasaanku saja, tapi mereka sepertinya terlihat gusar dan terus menatapku tak suka begitu aku menyusul duduk di samping Enda. "Enda .... Enda ...." Aku menepuk pelan bahunya. Karena dia tidak bangun juga, aku mulai menggoyang tubuhnya sambil terus memanggilnya. Beberapa saat kemudian dia mulai membuka matanya dan menatapku lekat. Mungkin ingin memastikan aku yang sekarang dilihatnya nyata atau tidak. "Kak Frey," panggilnya lagi dengan mata yang mengerjap erjap lucu. "Apa?!" sahutku kesal. "Beneran Kak Frey kan?" tanya Enda lagi sambil tersenyum lebar. "Kamu menginap dimana? Ayo aku antar pulang sekarang! Aku tidak bisa berlama lama di sini." Sejak masuk ke sini aku terus celingukan. Sangat tidak lucu kalau tiba tiba Bang Ibra muncul di depanku. Tapi kenapa pikiranku semakin tidak enak begini? Seperti ada yang sedang memperhatikanku sejak tadi. "Kalau begitu kenapa kesini? Pergi saja sana! Aku bisa pulang sendiri!" sahut bocah tengil ini ketus. Enda merengut kesal begitu aku menoyor kepalanya. Kalau saja dia tahu, untuk datang kesini mencarinya aku harus sembunyi sembunyi seperti maling yang takut ketahuan. "Bagaimana kabarmu?" tanyaku kemudian. "Buruk, karena itulah aku berada di tempat ini." jawabnya asal asalan. "Bukankah seharusnya kamu masih di Aussie? Kenapa malah keluyuran di sini?" Dia hanya mengangkat bahunya, enggan menjawab pertanyaanku. "Maaf, mereka menyakiti Kak Frey lagi." "Tidak apa apa, mungkin Ega memang bukan jodohku." Enda menoleh menatapku, senyum getir di bibirnya itu membuat hatiku berdenyut nyeri. Sejak dulu dia selalu sengaja membuat ulah hanya untuk mendapat perhatian dari ayah dan kakaknya. Namun sayangnya mereka tidak pernah mau tahu. "Aku tidak akan ke sini mencarimu kalau aku membencimu, Enda." Tiba tiba saja Enda memelukku dengan bahu bergetar. Iya, memang tidak seharusnya aku membuatnya ikut menanggung akibat dari kesalahan keluarganya. "Ayo aku antar pulang, jangan membuatku khawatir lagi!" Enda melepaskan pelukannya, lalu duduk sambil menyangga sebelah wajahnya menghadapku. Kalau saja tidak dalam pengaruh alkohol, aku yakin dia tidak mungkin berani bertindak seperti tadi. "Tapi aku masih ingin minum," ucapnya hendak meraih gelas minuman di depannya. Aku menyambarnya lebih dulu, lalu meminumnya hingga tandas. Sensasi rasa pahit dan panas dari minuman ini langsung terasa di mulut juga tenggorokanku. "Minumanmu sudah habis, jadi ayo sekarang aku antar kamu pulang!" ajakku kembali ditolaknya mentah mentah. Masih dengan keras kepalanya dia tetap tidak ingin pergi dari tempat ini. "Tidak perlu, temanku sebentar lagi ke sini menjemputku." ucapnya dengan setengah menggumam. "Siapa?" tanyaku. "Teman ..." Enda tidak kuat lagi menyangga wajahnya, sekarang kepalanya kembali menelungkup di atas meja. Seberapa banyak minuman yang sudah dia habiskan sampai bisa semabuk itu. Sial! Kalau begini bagaimana aku akan mengantarnya pulang. "Apa yang kamu lakukan di sini?!" Suara itu! Dengan jantung berdebar kencang aku mendongak, Bang Ibra sudah berdiri di hadapanku dengan wajah marahnya yang membuat ciut nyaliku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN