Bab.2 Sweet

1711 Kata
Freya sebenarnya bukan orang baru dalam hidupku. Sekian lama berteman dengan Johan, aku sudah biasa melihatnya berseliweran di kediaman keluarga Wijaya. Bahkan bukan hal yang aneh lagi kalau kadang Johan mengajaknya kemanapun dia pergi. Sedekat itu hubungan mereka. Lalu kenapa kami seperti orang asing yang tidak pernah bertemu sebelumnya? Mungkin karena sifat kami yang sama sama pendiam dan tidak suka berbasa basi, sehingga rasanya canggung untuk sekedar saling menyapa. Selama ini selain Sasha dan Lovia, aku memang tidak pernah dekat dengan wanita manapun. Kebanyakan dari mereka punya sifat sama, merepotkan. Dini tentu saja pengecualian, kelakuannya yang sudah seperti preman itu bahkan kadang membuatku lupa kalau dia juga seorang perempuan. Lalu bagaimana dengan Freya? Dulu aku tidak pernah mempedulikan keberadaannya. Tapi entah sejak kapan, kemudian aku mulai tertarik memperhatikan setiap gerak geriknya. Wajahnya yang selalu tenang dan tidak banyak bicara, justru membuatku semakin merasa penasaran. Sialnya lagi justru Bian yang memergokiku diam diam selalu memperhatikan Freya. Tidak, hari ini ditambah lagi dengan Sasha. Aku tidak bodoh, Sasha jelas sengaja membuatku terjebak dalam suasana canggung dengan Freya di mobil ini. Kami masih saja saling diam. Sejak meninggalkan rumah Bang Abi sampai sekarang, belum ada dari kami yang bicara sepatah katapun. "Freya," panggilku dengan sedikit ragu. "Ya ..." Dia menoleh, sepasang mata sendunya itu lagi lagi membuatku merasa penasaran, sedalam apa sebenarnya luka di hatinya. "Kamu benar tidak apa apa kan ikut aku ke Mirror? Kalau kamu keberatan masuk ke dalam, aku akan menyuruh mereka menungguku di luar," tanyaku sekedar untuk memastikan. "Tidak masalah, aku bukan ABG yang belum pernah masuk nightclub." Wajahnya yang merengut membuatku diam diam mengulum senyum. Lihatlah, dia bahkan tidak kalah imut dengan keponakanku Cello kalau sedang merajuk begitu. "Jadi kamu juga sering ke nightclub?" "Tidak juga. Hanya beberapa kali diajak teman," jawabnya sambil menggeleng. "Club mana yang biasanya kalian datangi?" "Sky dan Mirror." Aku menoleh, jadi dia pernah juga datang ke tempatku. "Jangan menatapku seolah setiap malam aku selalu keluyuran ke sana! Sudah kubilang, aku hanya beberapa kali pergi." Kali ini aku tidak lagi berusaha menyembunyikan senyumku. Aku bahkan hanya menatapnya sebentar, bagaimana bisa dia membuat asumsi sendiri begitu. "Iya aku percaya." "Ya memang harus percaya, aku benar benar baru beberapa kali main ke nightclub," sahutnya kesal. "Aku pikir kamu sulit diajak ngobrol, ternyata tidak juga." "Seharusnya aku yang ngomong begitu," sungutnya galak. "Aku?!" tanyaku mengernyit bingung. Freya mengangguk, tapi seingatku aku tidak pernah mengacuhkan orang lain yang mengajakku bicara. "Memangnya aku kenapa?" "Bang Ibra selalu irit ngomong, jarang senyum dan selalu terlihat tak peduli. Satu lagi, wajah Bang Ibra terlalu sangar." "Kenapa kamu mendeskripsikan aku seperti seorang mafia begitu?" "Memangnya bukan?!" sahutnya cepat. Aku tertawa terbahak, bahkan Freya sampai menoleh melihatku. "Ternyata bisa tertawa juga, aku pikir Bang Ibra hanya bisa tertawa kalau sedang bersama mereka saja." "Berkacalah dulu sebelum mengejekku. Kamu sendiri juga tidak pernah ramah pada orang lain," balasku. Dia melengos dengan wajah kesal, bibirnya mencebik lucu sambil terus mengamati rintik air hujan di luar sana. "Bang Ibra dulu kok bisa berteman sama Bang Jo?" "Kenal waktu ambil S2 di Aussie, sama Bian dan Raka juga. Kenapa?" tanyaku. "Bang Jo kan orangnya kalem, tipe anak mama. Kalian kok bisa cocok?" Aku kembali menoleh saat mobilku berhenti di lampu merah. Wajar kalau dia bertanya seperti itu. Diantara kami berempat, Johan lah yang paling lembut, lurus dan tidak pernah neko neko. "Memangnya kenapa dengan kami bertiga?" "Bang Bian itu orangnya usil dan suka nyinyir, Bang Raka genit, ..." Freya tidak meneruskan kata katanya. Aku mengernyit melihatnya meringis ke arahku, mencoba menebak kalimat lucu apalagi yang akan keluar dari bibirnya. "Terus?" "Bang Ibra serem." Aku tertawa pelan. Di luar dugaanku, mengajaknya mengobrol ternyata tidak sesulit yang aku bayangkan. Anehnya, secepat itu aku tidak lagi merasa canggung padanya. "Aku tidak semenyeramkan itu, Frey." *** Hujan bukannya berhenti tapi malah semakin deras. Aku meraih payung di belakang jok begitu sampai di depan Mirror. "Tunggu sebentar!" Aku segera keluar dari mobil setelah membuka payung di tanganku, melangkah memutar ke pintu penumpang dan menunggu hingga Freya turun. Dengan langkah lebar kami segera menuju pintu masuk Mirror, dua orang penjaga langsung menyapa dan membukakan pintu begitu melihat kedatanganku. "Ruanganku di lantai tiga." Mirror adalah nightclub pertama yang aku rintis sejak tiga tahun yang lalu. Ada satu cabang lagi di Bali, tapi tidak sebesar yang di sini. Sedangkan untuk pengoperasiannya dipegang oleh Naresh, aku hanya sesekali datang ke sini. Suasana di dalam masih sepi karena baru akan mulai buka pukul sembilan. Freya masih mengikuti langkahku menaiki anak tangga. "Ayo masuk!" Aku membuka pintu dan menyuruhnya masuk. Begitu pintu kembali tertutup rapat, tiga orang yang sedang duduk di sofa menatap kami aneh. "Pantas saja langsung turun hujan, Boss kita datang bawa gandengan." Tidak ada yang menanggapi celetukkan Leon, Naresh dan Dini masih diam memperhatikan setiap gerak gerik kami. "Aku ambilkan handuk dulu, bajumu kena hujan," ucapku setelah membawanya duduk di sofa. "Yon," panggilku ke Leon. "Ya ..." "Naikkan suhu ACnya! Baju Freya agak basah, nanti dia bisa masuk angin." "Tidak perlu, aku tidak apa apa kok," sela Freya yang tersenyum kikuk karena terus ditatap aneh oleh mereka bertiga. Aku bergegas ke belakang mengambil handuk bersih untuk Freya. "Naikkan suhu ACnya Yon, kamu dengar kan?!" seruku keras. "Telingaku belum tuli, Boss." balasnya berteriak dengan kurang ajarnya. Begitu mendapatkan handuk yang aku cari, pikiranku kembali tertuju pada sosok Freya. Belum satu jam bersamanya, aku seperti melihat banyak hal beda darinya. Terlepas sifatnya yang memang judes, Freya nyatanya tidak seangkuh kelihatannya. Saat keluar aku melihat Leon meletakkan cangkir di atas meja depan Freya. "Minuman apa itu?" tanyaku sambil mendekat untuk memastikannya sendiri. "Kopi sianida." "Sudah bosan hidup kamu!" bentakku. Leon tertawa cekikikan, dia duduk di lengan sofa samping Dini dengan mata yang terus mengamati kami tanpa berkedip. Freya meraih cangkir di depannya, aku buru buru mengambil kopi itu sebelum dia sempat meminumnya. "Jangan diminum!" "Pelecehan! Aku bukan Jesica, Abang!" Naresh dan Dini yang sejak tadi diam tampak tertawa terbahak mendengar suara Leon yang menjijikkan. Freya menghela nafas, tanpa mengatakan apapun dia meraih handuk di tanganku. "Sudah malam jangan minum kopi, nanti tidak bisa tidur." jelasku sebelum dia salah paham menganggapku kasar. Aku beranjak ke sudut ruangan, meraih satu gelas kosong dan menyeduh air hangat yang sudah aku campur madu. Harusnya tadi aku mengantarnya pulang dulu. Mengajaknya mampir ke sini justru membuat mereka berpikiran yang tidak tidak. "Minum dulu!" Freya menerima uluran gelas dariku dan meminumnya beberapa teguk. Baju hitam tanpa lengan yang dia kenakan sedikit basah, ditambah lagi suhu ruangan yang dingin membuatnya mulai sedikit menggigil. Tanpa mengacuhkan tatapan mereka yang mengejek, aku melepas jaket kulit yang aku kenakan dan memberikannya pada Freya. "Pakai!" "Tidak usah," tolaknya. "Aku bilang pakai!" Meski dengan wajah masam, wanita keras kepala ini mengambil jaket di tanganku, lalu memakainya. "Habiskan minummu, nanti keburu dingin!" Tanpa sadar aku tersenyum geli melihatnya menghabiskan sisa minumnya dengan sepasang mata yang mendelik sengit menatapku. "Ternyata Babang Ibra sweet juga ya? Tahu begini sudah aku pepet dari dulu," ejek Dini. "Aku masih normal Din," sahutku yang langsung membuatnya mendengus tidak terima. "Lah, aku kan cewek juga!" Aku memperhatikan Dini dari atas ke bawah. Rambutnya selalu dipotong cepak dengan wajah polos tanpa make up. Selama bertahun tahun bekerja untukku, belum pernah sekalipun aku melihatnya memakai rok. Jangan lupa, sifat dan kelakuannya yang pecicilan seperti preman pasar itu. Aku bingung, bagian mana dari Dini yang bisa menunjukkan dia seorang wanita. "Kalau kamu bisa berjalan dengan memakai sepatu berhak tinggi, baru aku percaya kamu perempuan." Tawa mereka meledak, Freya yang duduk di sampingku membuang muka menyembunyikan senyum di bibirnya. "Dia mending nyeker daripada disuruh pakai sepatu yang seperti itu Boss," cibir Leon. "Penghinaan! Kalau mau dandan aku juga cantik kok." "Tolong jangan, Din! Bisa disangka bencong sama pengunjung di sini." Leon menjerit kesakitan, Dini menjambak rambutnya yang gondrong sebahu itu dengan kuatnya. "Ampun Din! Lepas, sakit tahu! Pantas saja tidak laku laku, galak begini siapa yang mau sama kamu." Leon menjerit lebih keras lagi, aku hanya menggeleng melihat mereka yang tidak pernah akur. Freya menyikut lenganku pelan, dagunya mengedik ke arah Dini yang masih enggan melepaskan jambakannya. "Lepas Din!" Dini melepaskan jambakannya, matanya menatap Leon tajam seakan ingin menelannya hidup hidup. "Resh …" "Apa?" "Pastikan masalah yang di Bali benar benar selesai. Bilang sama Wira, jangan sampai kecolongan lagi!" ucapku ke Naresh. "Paham. Laporan yang kamu minta sudah siap, ada di atas mejamu." "Aku bawa pulang saja, setelah ini aku masih ada urusan lain." Laki laki sinting itu menatapku dengan satu alisnya yang terangkat tinggi. Senyum tipis di ujung bibirnya itu seperti sengaja mengejekku. "Ternyata kamu masih punya hati juga." "Kamu pikir aku batu," sahutku. "Bukan, siapa tahu saja kamu ikut ikutan belok. Makanya aku kadang takut berdekatan denganmu." "Sialan!" Mereka tertawa tergelak. Jelas saja Naresh berani kurang ajar padaku, karena kami sudah berteman sejak sma, bahkan kuliah juga di tempat yang sama. Bukan hanya teman sekolah, tapi juga teman menjelajah dunia liar saat masa muda dulu. Naresh pernah hampir mati karena tawuran saat sma dan berkali kali terkapar di rumah sakit karena balapan liar. Siapa sangka pertemanan kami masih terus berlanjut sampai sekarang. Dia jelas sudah tidak asing lagi dengan kehidupan malam, juga tahu seluk beluk dunia hitam. Itulah kenapa aku mempercayakan Mirror padanya. Jangan salah, dibalik kelakuannya yang berandalan, Naresh termasuk lulusan IT terbaik. Dia adalah salah satu pemegang peran penting di ladang bisnisku. Aku menoleh saat melihat Freya yang tampak gelisah dengan ponsel di tangannya. Benda pipih itu terus bergetar karena panggilan masuk yang selalu di reject olehnya. "Ada yang sedang menunggumu? Kalau kamu sibuk aku akan mengantarmu pulang sekarang." "Tidak ada, Bang Ibra selesaikan saja dulu urusannya. Tidak masalah aku pulang agak nanti," jawabnya. "Tante Aida tidak marah kan kamu pulang malam?" "Aku tinggal sendiri di studio Seven." Tante Aida, mama Freya adalah sahabatnya Tante Ana. Jadi tidak mengherankan kalau hubungan Freya dengan Johan dan Lovia sudah seperti saudara, karena mereka sudah sejak kecil selalu bersama. Sedikit banyak aku sudah tahu tentang kehidupannya, mungkin karena itulah dia menjadi pribadi yang begitu tertutup dan sulit didekati. Ponsel di tangannya kembali bergetar, dia menghela nafas kasar dan segera beranjak dari duduknya. "Aku angkat telpon dulu." Dia melangkah menjauh, berdiri membelakangi kami di dinding kaca besar depan sana. Siapapun orang yang sedang bicara dengannya di ponsel itu, Freya jelas sedang menghindar darinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN