Jangan tanya betapa marahnya aku sekarang. Jelas jelas aku sudah melarangnya keluar dari area resort tanpa seizinku, tapi Freya justru keluyuran di luar saat tengah malam begini di nightclub.
"Maaf, tapi aku ada urusan dan terpaksa ke sini." ucapnya sambil meringis menatapku.
"Bawa dia kemari!" teriakku menunjuk wanita yang tadinya duduk satu meja dengan Enda dan sekarang mau berusaha kabur.
Anak buah Wira menyeret wanita yang tadi memasukkan sesuatu di gelas minuman Enda itu mendekat. Freya tampak bingung saat melihat wanita itu menangis ketakutan.
"Apa yang tadi kamu masukkan ke dalam gelas itu? Jangan harap bisa keluar dari sini dengan selamat kalau sampai berani berbohong!" bentakku keras.
"Obat perangsang," jawabnya gagap.
"Wanita sialan! Bawa dia naik, jangan lepas kecuali atas perintahku!"
Aku menoleh dan menatap tajam Freya yang tampak kaget dengan wajah memucat. Sial! Bagaimana ini?!
"Ayo pulang! Jangan membuat kekacauan di sini!" Ajakku dengan menarik tangannya, tapi dia malah tidak bergeming di tempatnya. Matanya menatap bingung Enda yang masih duduk menelungkup di depannya.
"Tapi Enda ..."
"Kalau begitu kamu urus saja dia, aku tidak peduli!" Hilang sudah kesabaranku, tanpa menoleh lagi aku beranjak pergi dari sana. Bodoh! Dalam keadaan seperti ini dia masih sempat memikirkan orang lain.
"Tunggu, jangan marah!"
Langkahku terhenti saat Freya mencekal lenganku dengan wajah memohon. Tanpa mengatakan apapun lagi aku segera merangkulnya keluar dari Mirror. Secepatnya aku harus membawa dia pulang, sebelum obat itu mulai bereaksi dan mengacaukan segalanya.
Freya yang duduk diam di kursi penumpang tersentak kaget dan berusaha meronta, ketika aku mengikat kedua tangannya menggunakan dasiku.
"Kenapa tanganku diikat?" pekiknya protes.
"Kalau tidak ingin kita mati konyol, sebaiknya kamu diam dan duduk yang benar Frey. Aku akan melepas ikatannya setelah kita sampai rumah nanti."
Aku melepas jaket yang kukenakan, lalu menutup pahanya yang terbuka. Sialan! Kenapa juga dia keluar mengenakan rok ketat sependek ini.
Wira datang mengetuk kaca mobilku. Dia tertawa cengengesan begitu aku menurunkan kacanya dan melihat Freya yang merengut kesal dengan tangan terikat.
"Aku baru tahu kamu ternyata penggemarnya Christian Grey. Tapi dia Freya, Boss. Bukan Anna steele yang suka diikat ikat seperti di film yang kamu tonton itu." Tawanya meledak melihatku mendengus keras sambil mendorong wajahnya menjauh.
"Aku tidak punya waktu meladenimu sekarang. Kamu urus bocah dan wanita itu, jangan lepas tanpa izinku!"
Aku segera menyetir mobilku meninggalkan halaman Mirror. Sesekali aku melirik ke arah Freya yang membungkam diam. Duduknya mulai tidak tenang, wajahnya juga merona merah.
"Panas, ACnya kurang dingin!" keluhnya.
Aku menurunkan suhu AC mobil, meski tahu itu tidak akan bisa mengurangi panas yang Freya rasakan sekarang.
Tanganku mencengkram roda kemudi semakin kuat ketika melihat Freya mulai gusar. Suara deru nafasnya terdengar jelas, tangannya mengepal mencengkram erat jaketku yang menutupi pahanya. Sialan! Obat itu mulai bekerja.
"Sabar dulu Frey, kita sudah hampir sampai villa."
"Panas," bentaknya kesal.
"Mau minum?" tanyaku, mungkin itu akan membuatnya sedikit lebih baik.
Freya menggeleng, aku mendecak keras mendapati sepasang mata sayunya menatapku dengan pandangan yang tidak seperti biasanya.
"Jangan menatapku seperti itu! Mamamu akan membunuhku kalau sampai anaknya pulang sudah tidak perawan." ucapku dengan tersenyum geli.
"Bersyukurlah karena tanganku sekarang sedang terikat, kalau tidak aku benar benar akan menjambakmu!"
Aku tertawa terbahak melihat Freya yang masih bisa marah marah, meski sedang mati matian menahan reaksi obat itu.
"Siapa yang mengantarmu tadi?" tanyaku.
"Naik taksi," jawabnya singkat sebelum kemudian menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan. Butiran keringat mulai mengalir dari keningnya.
"Enda yang memintamu datang?"
"Tidak, aku sendiri yang mencarinya."
"Kenapa kamu tidak bilang kalau mau keluar? Apa yang kamu pikirkan sampai datang ke nightclub sendirian?!" ucapku jengkel.
"Kalau aku bilang memangnya boleh? Paling juga malah kena omel!" sahutnya sengit. Bagaimana aku mau marah kalau melihatnya yang sekarang imut begitu.
Sengaja aku terus mengajaknya bicara untuk mengalihkan perhatiannya, tapi sepertinya sia sia saja. Tubuhnya mulai menggigil seperti orang kedinginan. Berkali kali dia mendongak dan membenturkan kepalanya ke sandaran belakangnya.
Sekarang aku malah ikutan pusing memikirkan bagaimana nanti aku harus menenangkan Freya yang mulai kelimpungan di bawah pengaruh obat sialan itu. Begitu mobil berhenti di halaman villa, aku segera turun dan membopong tubuh Freya yang sudah seperti cacing kepanasan masuk ke kamarnya.
"Tunggu sebentar, aku ambilkan minum untukmu!"
Setelah melepas ikatan di tangannya aku bergegas ke dapur, membiarkan Freya meringkuk di atas tempat tidurnya. Melihatnya tersiksa seperti itu membuatku benar benar marah. Apa jadinya seandainya aku tidak di sana.
Dengan membawa segelas s**u hangat dan sebotol air dingin, aku kembali ke kamar. Namun apa yang kulihat hampir saja membuat jantungku berhenti berdetak. Freya sudah menanggalkan bajunya, mempertontonkan tubuhnya yang sekarang hanya terbalut rok pendek dan bra warna hitamnya.
"Apa apaan kamu?! Pakai lagi bajumu!"
Aku meletakkan minuman di atas meja dan bergegas menghampiri Freya yang duduk tidak tenang di tepi tempat tidur. Hampir saja dia menarik turun rok yang dikenakannya.
"Jangan seperti ini Frey! Ayo pakai lagi bajumu!" Aku mencekal lengannya dan berusaha meraih kaos yang sudah tergeletak tak jauh dari kakinya.
"Panas, aku mau ke kolam renang." rengeknya sambil terus meronta dan mendorongku menjauh.
"Jangan gila! Kamu bisa mati kedinginan kalau berendam di kolam tengah malam begini!"
Dia menepis tanganku yang berusaha memakaikan kembali bajunya yang baru saja aku pungut dari lantai. Nafasnya terengah, wajahnya yang terlihat frustasi membuatku tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk menolongnya.
Aku menariknya berdiri, Freya baru berhenti meronta saat aku memeluk tubuhnya erat.
"Bang Ibra ..." panggilnya dengan suara merajuk.
"Tenang dulu Frey, aku tidak akan meninggalkan kamu sendirian dalam keadaan seperti ini."
Dia mendongak, aku menggeram marah melihat air matanya yang mulai mengalir.
"Jangan menangis, semua akan baik baik saja." ucapku pelan. Rasanya benar benar tidak tega melihatnya seperti ini.
"Maaf," sahutnya lirih.
Aku mengusap air matanya yang tidak berhenti mengalir dan merapikan rambutnya yang berantakan. Sepasang mata sembabnya yang terus menatap lekat itu seperti memasungku hingga tidak bisa lagi berpaling.
Tanpa sadar tanganku terulur membelai kelopak matanya, menyusur turun ke hidung dan berhenti bibir merahnya. Darahku berdesir semakin kencang melihat Freya memejamkan matanya seolah begitu menikmati sentuhanku.
Apakah Freya akan marah kalau menciumnya sekarang? Sanggupkah aku bertahan di sampingnya sepanjang malam tanpa menyentuhnya?
"Frey ..."
"Hm ..."
"Kamu percaya padaku?" tanyaku sambil terus menatap wajah cantiknya yang hanya beberapa centi di hadapanku.
Freya membuka matanya dan mengangguk pelan. Mati matian aku menahan diri untuk tidak mengalihkan pandanganku ke bawah sana. Yang benar saja! Aku juga laki laki normal, apalagi wanita tak berpakaian di hadapanku ini adalah Freya.
"Apa kamu juga percaya kalau aku bilang cinta sama kamu?"
Dia terkejut, aku semakin menarik tubuhnya merapat saat Freya berusaha mendorongku menjauh.
"Bang Ibra jangan bercanda! Ini sama sekali tidak lucu!" protesnya kesal, matanya terus menatapku awas.
"Mau bukti?" tantangku.
"Apa?"
Aku kembali merengkuhnya dalam pelukanku, wangi parfum di tubuhnya yang mulai memudar dan bercampur keringat, justru semakin memacu pikiran gila di kepalaku. Semakin aku menghirup wangi di ceruk lehernya, semakin membuatku jauh tersesat.
"Izinkan aku menolongmu, tanpa merusakmu." bisikku di telinganya.
Tubuh Freya menegang, tangannya mencengkram kemejaku kuat saat bibirku menyapu dan mengecup sepanjang leher jenjangnya. Namun aku memilih berhenti ketika kami sama sama telah terengah terbakar gairah.
"Aku menginginkanmu Frey, sangat. Tapi nanti, setelah aku menepati janjiku pada mamamu." ucapku sambil menyelam di sayu matanya.
"Bang Ibra punya janji apa pada mamaku?" tanyanya bingung.
"Membawa orang tuaku menemui mamamu."
Freya tercengang, matanya mengernyit seakan mencoba mencerna apa yang baru saja aku katakan.
"Kita bahkan tidak sedekat itu untuk sekedar berpacaran, apalagi menikah."
"Bukankah sekarang kita sudah sedekat ini?! Kamu ingin kita sedekat apalagi supaya cukup untukmu menerima pinanganku? Begini kah?!"
Aku menarik pinggangnya semakin merapat, memberinya sentuhan di sepanjang punggungnya yang polos. Pandanganku tak bisa beralih dari wajah cantiknya yang tersipu.
"Awal aku jatuh cinta karena mata sendu ini," lalu aku mengecup sepasang matanya yang masih terpejam. Wajahnya semakin merona, apalagi saat aku mulai mengecup kening dan hidungnya.
"Dan aku hampir gila karena begitu ingin menciummu di sini," aku mengecup lembut bibirnya. Perlahan matanya terbuka, tapi dia hanya diam membalas tatapanku. Tidak tahu siapa yang lebih dulu mendekat dan memulai, tapi kemudian kami benar benar berciuman.