Hasrat yang Terpancing

2487 Kata
… Kamar Rangga.,             Naswa masih melipat beberapa pakaian Rangga untuk disusun ke dalam ransel bermerk itu. Dia sama sekali tidak merasa aneh di kamar seluas ini sebab ada Rangga bersamanya. “Abang di kamar seluas ini apa gak ada ngeri-ngerinya, Bang?” tanya Naswa asal bicara.             Rangga yang tengah mengambil beberapa pakaian yang dia butuhkan, dia menjawabnya dengan santai. “Ngeri gimana sih, Sayang?” Rangga justru berbalik tanya.             Naswa merasa sudah selesai dengan pekerjaannya, dia berjalan mendekati Rangga yang tampak bingung memilih pakaian formalnya. “Ya ngeri lah. Kamar Naswa aja sudah bisa dikatakan luas. Kadang suka ngeri sendiri kalau pas mati listrik,” ujarnya sembari tertawa pelan.             Rangga yang masih bersidekap d**a, dia meliriknya sekilas. Memperhatikan wajah cantik Naswa dengan perangainya yang sangat dia kagumi. “Masa di rumah sendiri harus takut. Disini juga tidak ada siapa-siapa,” balas Rangga santai tanpa memberitahu apa yang terjadi tadi. Dia memang tipe pria pemberani. Meski tadi dia sempat melihat sosok putih melayang diantara dua lemari hias yang ada di ujung ruang tamu. Dia tahu itu siapa, tapi dia bersikap biasa saja agar tidak membuat Naswa takut.             Naswa turut membalas tatapannya. Tatapan itu membuatnya aneh. Dia segera mengalihkan apa yang ada di pikirannya saat ini, dan kembali menatap lemari 5 pintu miliknya. “Abang bingung mau bawa kemeja yang mana,” gumamnya pelan.             Naswa mulai memilih kemeja yang tergantung rapi disana. “Untuk kerja, kan? Sama untuk seminar?” tanya Naswa lagi. “Iya, Sayang.” Rangga hanya menjawab singkat.             Naswa memilih beberapa kemeja polos dengan warna hitam, abu, dan biru dongker favorit Rangga. Dan juga beberapa kemeja batik untuk acara resmi yang mungkin saja akan mengundangnya nanti.             Rangga mengambil beberapa pakaian yang sudah dipilih oleh Naswa. Ini yang dia kagumi dari sosok Naswa.             Dia sangat teliti dan cepat memahami apa yang dia suka dan tidak suka. Tidak hanya gesit, dia juga sangat cerdas memahami karakternya sebagai seorang pria dewasa.             Setelah selesai memilih beberapa pasang pakaian lengkap dengan celana panjang yang cocok, kini Naswa kembali menyurunnya rapi di ransel.             Rangga hanya diam melihat Naswa yang begitu tulus padanya. “Setelah ini, kita mau kemana, Sayang?” tanya Rangga sembari berjalan menuju lemari parfum miliknya dan hendak memilih parfum mana yang akan dia bawa. “Terserah Abang aja,” balasnya dengan nada malas.             Naswa melihat apa yang tengah dilakukan oleh Rangga saat ini. Dia pikir, kalau urusan parfum, itu terserah Rangga saja.             Dia melangkahkan kakinya menuju jendela luas bertirai panjang. Terdapat balkon diluar sana.             Namun, dia memilih untuk melihat ke arah luar dengan jendela setengah badan. “Halaman rumah Abang luas sekali memang. Rumah Pak Bagas juga terbilang besar sih, Bang.” Naswa berkata jujur sembari melihat halaman belakang rumah Rangga.             Rangga mengambil beberapa botol parfum dari sana. Dia menyimpannya di dalam ransel. “Iya, Sayang. Papa yang buatkan untuk mereka sebagai ucapan terima kasih karena sudah mau mengurus rumah ini,” balasnya lalu berjalan ke arah Naswa.             Rangga tersenyum melihat bagaimana sikap Naswa saat ini sangat tenang. Dia berdiri tepat di sisi kiri Naswa, dan melihat ke arah yang sama.             Naswa menoleh ke arahnya. “Abang gak rindu sama keluarga Abang?” “Abang selalu keluar Negeri, bahkan bisa sampai berbulan gak jumpa sama keluarga.” Naswa melirik Rangga sekilas.             Rangga tersenyum tipis dan melirik Naswa. “Abang sudah biasa sendirian, Sayang. Sudah biasa mandiri dari kecil,” jawabnya jujur.             Naswa mengangguk paham. Dan seketika, dia mengingat perihal yang ingin dia tanyakan pada Rangga. “Bang?” Dia menghadap Rangga yang mulai meliriknya. “Naswa mau tanya sesuatu sama Abang. Tapi Abang harus jawab jujur,” ujarnya menatap lekat manik mata tegas itu.             Rangga tertegun. Dia diam melihat ekspresi serius Naswa. Dia lantas mengangguk kecil. “Iya, Sayang. Mau tanya apa?”             Naswa sempat diam selama beberapa detik, sebelum akhirnya dia kembali melanjutkan kalimatnya. “Bang … apa Abang memang serius sama Naswa?” tanyanya dengan ekspresi tak biasa bagi Rangga. Deg!             Kedua matanya mengerjap perlahan. Dia masih mencerna apa yang sebenarnya ingin ditanyakan oleh kekasihnya ini. “Iya, Abang sangat serius. Tapi kenapa Sayang tanya begitu? Sayang ragu?” Rangga berbalik tanya.             Naswa menarik nafasnya dalam-dalam. “Bang, Naswa—”             Dia berusaha meyakinkan dirinya untuk jujur, agar apa yang menjadi batu ganjal di hatinya dapat terpecahkan. “Entah kenapa—” Dia mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela. “Naswa merasa Abang menyembunyikan sesuatu. Tapi Naswa gak tahu apa.” Deg! “Selama kita menjalin hubungan, Abang melarang beberapa hal sama Naswa termasuk tidak menghubungi Abang sewaktu-waktu. Bahkan mengirim pesan ke Abang pun tidak boleh. Dan kita berkomunikasi hanya jika Abang menghubungi Naswa aja. Dan itu pun—”             Dia beralih menatap Rangga yang masih menatapnya lekat. “Abang hubungi Naswa, saat Abang butuh Naswa aja. Satu bulan, paling banyak hanya 3 kali Abang hubungi Naswa. Abang menyuruh Naswa untuk gak berpikiran yang aneh-aneh. Tapi apa menurut Abang bukan hal yang wajar? Kalau seandainya Naswa berpikir yang macam-macam?” tanyanya menohok tanpa basa-basi. Deg!             Rangga masih memperhatikan ekspresi Naswa saat ini. Tidak ada yang bisa dia katakan pada Naswa.             Tapi dia tahu, wanita ini tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan jawabannya. “Kalau Abang menyembunyikan sesuatu dari Naswa, Abang bisa katakan sekarang. Supaya Naswa tahu, apakah kita harus melanjutkan hubungan kita ini atau tidak. Supaya gak tergantung lama begini,” ujarnya lagi.             Saat Naswa mulai diam, Rangga beralih membuka suaranya. “Jadi, Sayang belum siap untuk mengajak Abang berkunjung ke rumah karena merasa ragu?”             Naswa mengangguk tanpa ragu. Sebab, memang itu yang menjadi keganjalan di hatinya sejak dulu.             Rangga tersenyum tipis. Dia menarik lembut lengan kanan Naswa, dan mengajaknya untuk duduk di sofa panjang yang ada disana.             Naswa masih terus diam sampai Rangga memberinya jawaban pasti.             Rangga duduk sedikit miring, menghadap Naswa. “Sayang …” Dia tersenyum menatap Naswa, tanpa berniat menggenggam tangannya. “Kalau saja Abang berniat jahat, sudah Abang lakukan sejak awal. Tolong jangan berpikiran apapun sama Abang. Abang tidak berniat menyakiti hati kamu,” ujarnya sedikit mengulas senyum di wajahnya. “Soal waktu, Abang mengakui jarang memegang ponsel. Dan Sayang paham sendiri, Abang lebih sering berada di ruangan operasi sampai belasan jam. Abang hanya tidak mau kalau kamu menunggu balasan pesan dari Abang, dan berpikir yang macam-macam.” Dia masih membalas kalimat Naswa dengan tatapan lekat begitu berarti.             Naswa, dia menghela panjang nafasnya. Antara merasa lega atau tidak. Tapi Naswa merasa ada yang kurang dari jawaban Rangga yang menurutnya terlalu singkat.             Dia mengedarkan pandangannya ke arah kamar yang sangat sunyi. Rumah ini benar-benar kedap dari kegiatan orang-orang.             Meski sunyi, rumah ini memang sangat menenangkan. Apalagi jika berada di halaman yang terdapat banyak pepohonan rindang di bawah sana.             Rangga, dia begitu detail melihat setiap gerak-gerik Naswa. Hingga saat Naswa hendak beranjak dari duduknya, dia menahan lengan kirinya.             Naswa melirik Rangga. “Ada apa, Bang?” tanya Naswa merasa heran.             Rangga tersenyum. Entah keberanian dari mana, dia mencondongkan tubuhnya ke depan lalu mengecup lama kening Naswa. Deg!             Naswa terdiam, tubuhnya membeku. Tubuhnya mulai meremang, padahal Rangga hanya mencium keningnya saja. Detik itu juga, Naswa sangat sudah menegukkan salivanya sendiri.             Tidak berlama-lama, Rangga kembali melepas kecupannya disana. Dia segera beranjak dari posisi duduknya dan mengalihkan pikirannya ke arah yang lain. “Oh iya. Sayang gak mau ambil parfum? Mumpung kita disini. Ambil saja parfum Abang. Masih banyak disana,” ujarnya sembari melangkahkan kakinya berjalan menuju lemari parfum miliknya. Dia tahu jika Naswa tidak terbiasa dengan hal begitu. Rangga masih membiarkan Naswa terdiam disana, sampai dia menyadarkan dirinya sendiri.             Sedangkan Naswa, dia memang terdiam selama beberapa detik. Namun, dia masih bisa fokus melihat gerakan Rangga yang sudah berjalan ke arah sana.             Dia lantas beranjak dari duduknya, dan menyusul langkah kaki Rangga. “Memangnya ada yang bisa Naswa pakai? Abang pengoleksi parfum laki-laki. Lagian, parfum Naswa masih ada banyak di rumah,” sahutnya meski sedikit lambat.             Rangga kembali membuka lemari koleksi parfumnya. Dan membiarkan Naswa memilih aroma yang dia sukai.             Mereka sibuk memilih parfum yang Naswa inginkan. Sampai Rangga mengajarkan padanya cara meracik parfum dengan aroma favoritnya.             Dia mencampurkan beberapa ml parfum dengan aroma berbeda, dan menambahkan cairan tertentu untuk menunjang aromanya.             Naswa memperhatikan bagaimana cara Rangga begitu teliti membuatnya. “Abang terbiasa buat sendiri?” tanya Naswa dengan fokus matanya masih pada botol parfum yang ada disana. Glek!             Rangga menganggukkan kepalanya. Kesialannya siang ini adalah berdua dengan Naswa.             Pesona Naswa sebagai wanita mandiri dan cantik memang tidak bisa teralihkan dari pikirannya saat ini. Bagaimana mungkin dia betah di rumah ini, sementara hasratnya tidak padam sejak tadi, dan dia terus saja menahannya.             Naswa mendongakkan kepalanya, membalas tatapan Rangga yang terlihat aneh. “Ada apa, Bang?” tanya Naswa sedikit bergidik ngeri.             Rangga tersenyum dan kembali merapikan lemari parfumnya. Dia mengambil dua botol parfum racikan favoritnya untuk dibawa oleh Naswa. “Ini, Sayang simpan di tas.” Rangga menyuruh Naswa dengan senyuman tipis.             Naswa menjangkaunya dan mendekati tas miliknya yang terletak di ranjang Rangga. Dia melirik Rangga yang duduk pada bibir ranjang sedikit pendek. “Kita pergi sekarang, Bang? Abang pasti sudah lapar, kan?” tanya Naswa sembari mengunci tas miliknya.             Rangga melihat Naswa yang saat ini sangat menggoda di matanya. Dia tidak ingin kehilangan kendali dirinya, dan langsung menyetujui pertanyaan Naswa. “Iya, Sayang. Kita pergi sekarang saja,” balasnya.             Saat Rangga sudah beranjak dari posisi duduknya, ponselnya berdering. Dia segera mengambil ponselnya dari balik saku celana panjangnya. Pak Bagas is calling…             Dia segera menjawab panggilan yang masuk. “Hallo, assalamu’alaikum. Ada apa, Pak?” “…” “Iya, Pak. Saya sudah di rumah ini. Ada apa, Pak?” “…” “Oh begitu ya?” “…”             Naswa masih berdiri di hadapan Rangga sembari menunggu dia selesai bertelepon. “Ya sudah saya akan tunggu disini.” “…” “Iya, tidak apa-apa, Pak. Saya juga masih di rumah.” “…” “Sama-sama, Pak. Setelah itu, nanti saya langsung pergi ya, Pak?” “…” “Oke. Terima kasih, Pak.” “…” “Iya, Pak. Assalamu’alaikum …” “…” Tutt… Tutt… Tutt…             Naswa menatap Rangga. “Siapa, Bang?” “Pak Bagas, Sayang. Dia bilang nanti ada paket dari Kisaran datang. Mereka lagi belanja di swalayan, masih lama disana. Jadi … dia minta Abang nunggu disini sebentar saja,” ujarnya sembari membelai lembut wajah Naswa.             Naswa mengangguk dan tersenyum. “Ya sudah, kita tunggu saja. Kasihan kalau Pak Bagas harus kembali ke rumah hanya untuk menunggu paketan barang,” ujarnya seraya mengerti.             Rangga tersenyum dan terus membelai wajah cantik Naswa. Pipinya tampak kemerahan. Benar-benar wanita murni, pikirnya. “Kenapa Abang ngeliatin Naswa begitu?” tanya Naswa sedikit mendorong tubuh Rangga.             Dia tersenyum dan merangkul pinggang Naswa yang menurutnya sangat kecil. Yah, sebab tubuh Naswa juga mungil. “Tidak ada. Terima kasih sudah mau bertahan sama Abang.” Dia tersenyum.             Naswa juga membalas senyumannya. Dia ingin membalas pelukan ini, tapi dia masih ragu-ragu. “Kalau sudah siap, katakan. Abang siap melamar kamu,” ujarnya lagi lalu merundukkan tubuhnya, dia mengecup lama kening Naswa. Deg!             Lagi-lagi, Naswa tidak berkutik. Dia tidak tahu harus bersikap apa sekarang.             Kesunyian di rumah ini membuat Naswa ingin memunculkan keberaniannya, memeluk Rangga. Namun, dia masih memikirkan hal itu seandainya Rangga menganggapnya w************n.             Rangga menatapnya lekat. Hingga saat dia merundukkan tubuhnya, dan mengikis jarak diantara mata mereka.             Naswa tak berkedip, tak merespon apapun. Hingga Rangga sedikit memberi isyarat menggerakkan kepalanya, bertanya apakah dirinya boleh mengecup bibirnya.             Tanpa menjawabnya, Naswa mulai memejamkan kedua matanya. Isyaratnya tak dibuang oleh Rangga begitu saja. “Hmmphhtt …”             Rangga menyatukan bibir mereka. Mengambil ciuman pertama milik Naswa. Aliran darahnya terasa panas.             Dia semakin merapatkan tubuh mereka. Tangan kanannya terangkat, menahan tengkuk Naswa yang sedikit bergerak hendak menjauh darinya.             Naswa terlena. Meski dirinya telah memutuskan memberikan ciuman pertamanya untuk Rangga, namun dia cukup pintar belajar membalas ciuman itu hanya hitungan beberapa detik saja.             Dia mengikuti setiap gerakan bibir Rangga saat tengah menghisapnya lembut. Suara cecapan mereka terdengar di telinga Naswa.             Rangga sedikit mengendurkan pangutan mereka, memberi ruang untuk Naswa bisa bernafas lega. Sebab dia ingin memberikan pengalaman ciuman terbaik untuknya.             Nafas Naswa masih tercium segar di indera penciuman Rangga, hingga dirinya tidak tahan dan menyatukan kembali bibir mereka.             Naswa menikmatinya lagi dan terus menerus meremas kemeja Rangga hingga tampak kusut. Oh, dia sungguh tidak menyangka jika ciuman sangat senikmat ini. Dia mengikuti gerakan Rangga dan turut menghisap bibir seksi Rangga yang selalu menjadi perhatiannya sejak dulu.             Rangga berjalan mundur perlahan, membuat keseimbangan agar pangutan mereka tidak terlepas tiba-tiba. Walaupun Naswa belum lihai, tapi pangutan ini benar-benar memabukkan baginya.             Naswa sendiri juga sangat menikmatinya. Entah kenapa, dia merasa nyaman dan masalahnya hilang begitu saja.             Dia berjalan mundur seiring dengan langkah kaki Rangga yang menuntutnya lebih. “Hmpphhtt …”             Naswa merasa aneh pada miliknya. Dia merasa apakah dirinya tengah datang bulan. Cairan terasa keluar dari bawah sana. Tetapi, kenapa dia merasa bahwa alirannya membuat tubuhnya meremang hebat.             Rangga terus berjalan mundur, hingga kaki Naswa terjebak di sofa. Lalu Rangga perlahan duduk tepat di sebelah Naswa.             Dia terus membelai wajahnya, dan melepas pangutan mereka. Dia melihat wajah Naswa memerah saat ini. Namun, Naswa tidak berani memandangnya. “Maaf, Abang sudah ambil ciuman pertama Sayang.” Rangga bergumam pelan sembari menyatukan kening mereka. Dia menyandarkan tubuhnya disana, lalu menuntun Naswa untuk duduk diatasnya.             Awalnya Naswa menolak dengan gelengan kepala. Tapi Rangga meyakinkannya dengan penyatuan bibir mereka lagi. “Hhmmphhtt …”             Kegiatan mereka benar-benar panas. Apalagi di rumah sebesar ini, mereka hanya berdua saja.             Tidak ada seorangpun yang bisa menganggu aktivitas mereka, sebab rumah sudah terkunci rapat. Pagar rumah juga sudah aman.             Rangga menginginkan sesuatu yang lebih dari Naswa. Namun, dia begitu takut jika saja Naswa akan menamparnya nanti.             Saat dirinya semakin menahan tengkuknya, Naswa justru merasa lebih nyaman lagi dan mengalungkan kedua tangannya di lehernya.             Kedua mata Naswa masih terpejam. Bibirnya tidak berhenti menari diatas bibir Rangga. Bahkan kini, Naswa yang mengendalikan pangutan mereka.             Rangga memilih untuk menjadi pasif dan membiarkan Naswa menguasai permainan mereka. Kini kedua tangan Rangga mulai menjalar, mengusap lembut punggung Naswa.             Syahwatnya sebagai seorang pria tidak bisa terbendung, apalagi jika keadaan sangat mendukung. Pikiran Rangga benar-benar sudah gelap. Namun, dia berjanji akan tetap menikahi Naswa apapun yang terjadi.             Tubuh Naswa sedikit menggeliat, saat Rangga menaikkan tubuhnya seraya menekannya pada milik Naswa. Erangan tipis Naswa di sela pangutan mereka membuat Rangga benar-benar tak tahan diri. Dia menarik ke atas kemeja abu bercorak kotak-kotak yang dipakai Naswa hingga menyentuh kulit lembut tubuh Naswa. “Aahh …” Desahan tipis Rangga mulai keluar dari bibirnya. Dia menyingkap kemeja Naswa, dan mengusap lembut punggung Naswa yang begitu mulus.             Naswa merasa tubuhnya sangat tidak nyaman. Seperti ada yang kurang saat ini, tapi dia tidak tahu apa.             Dia terus menghisap bibir Rangga. Tubuhnya terus menggeliat dan terasa sangat geli saat usapan disana membuat tubunya semakin terasa panas.             Saat dimana Naswa tidak tahan, dia merasakan tangan Rangga menyentuh titik sensitifnya. “Sshhh … A-bang …” Kening Naswa berkerut menahan rasa sakit. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN