Berdua

3007 Kata
*** Cemara Clinic Laboratory, Medan, Indonesia., Ruang Laboratorium Penelitian., Pagi hari.,             Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Saat ini Naswa tengah melakukan pembiakan bakteri yang sudah menjadi tanggung jawabnya selama beberapa bulan terakhir sebagai bahan uji cobanya.             Walaupun fokusnya tengah disibukkan dengan berbagai hal dalam dunia kerja, namun sedikit pikiran Naswa masih bertitik pada masalah keluarganya. Dan itu sangat mengganggu waktu bekerja Naswa. Kekacauan seperti ini sering terjadi saat Naswa gagal mengontrol emosinya sendiri. Dia tidak ingin memikirkannya masalah ini terlalu jauh. Namun, entah kenapa masalah itu terus muncul di kepalanya. Hingga terkadang membuatnya pusing.             Dengan pikirannya yang bercampur aduk, dia tetap melakukan pembiakan bakteri itu pada sebuah cawan petri yang sudah diisi oleh media tertentu sebagai penunjang. Dengan sangat teliti dia mengambil bentuk bakteri yang diinginkan, tanpa menyentuh bakteri yang lain.             Setelah apa yang dia dapat telah menempel pada ose cincin, lalu dia tanam kembali ke dalam cawan petri lain yang juga sudah diberi media tertentu. Dengan rapi dia menanamkannya pada posisi zig zag.             Kemudian, dia memperhatikan media itu dengan baik. Tidak ada kesalahan yang terjadi. Dia lalu mengontrol media itu dan meletakkannya ke dalam inkubator khusus.             Dia menutup inkubatornya, dan mengatur suhu sesuai dengan masa inkubasi yang akan dia lakukan. Setelah pekerjaannya selesai, dia kembali membereskan meja kerjanya. … Beberapa menit kemudian.,             Naswa belum membuka jas laboratoriumnya. Dia masih enggan beranjak dari sana, dan terus melamun tak terarah.             Pikirannya saat ini tertuju pada sang Mama yang berada di rumah. Dia tidak habis pikir, bagaimana mungkin sang Mama masih mau mempertahankan pernikahan mereka.             Padahal, dia sudah mengatakan jika dirinya bisa menghidupi mereka bertiga seandainya sang Mama, Endang mau bercerai dengan Ayah mereka. Namun, sang Mama tetap bersih keras ingin mempertahankan rumah tangganya.             Alasan tidak logis yang selalu dipercaya oleh sang Mama. Jika Ayah mereka sudah berubah dan sudah bertaubat.             Kini, Naswa menertawai ucapan sang Mama. Karena apa yang terjadi hari ini, benar-benar membuat Naswa tidak memahami lagi apa itu arti kesetiaan dalam sebuah hubungan.             Lamunan Naswa sejak tadi memang sudah menjadi pemandangan tak terduga bagi rekan kerjanya yang sudah berada disana. Hingga salah satu dari mereka mulai menyadarkan lamunannya. “Naswa? Melamun aja nih? Ayam tetangga ntar pada mati lo!” sapa wanita berusia 69 tahun mengibaskan tangan kanannya ke arah tepat di hadapan Naswa, hingga dia tersadar. “Hahh?” Naswa mengamati ruangan laboratorium penelitiannya. Dia langsung menghela panjang nafasnya. Ternyata, mereka sudah berada di ruangan ini. “Sudah lama disini, Dok?” tanya Naswa melirik ke arah wanita yang menyapanya tadi, yang berprofesi sebagai seorang Dokter Spesialis.             dr. Rikha, dia tersenyum melihat Naswa. “Sudah dari sehari yang lalu,” jawabnya sembari membuat hari mereka menyenangkan.             Naswa membalasnya dengan wajah sedikit cemberut.             Pria berusia 71 tahun yang berprofesi sebagai seorang Professor. Dia berjalan mendekati Naswa yang masih duduk disana. “Mikirin apa? Apa ada masalah lagi?” tanya pria lansia itu, Prof. Ben menatapnya.             Naswa tersenyum geli dan menggelengkan pelan kepalanya saja. “Gak ada, Prof. Professor ini apa-apaan. Seperti mau menginterogasi pasien saja,” ujarnya seraya mengalihkan pembicaraan seriusnya. Yah, Naswa pikir begitu.             Sedangkan dr. Rikha, dia bisa membaca ekspresi Naswa yang tampak enggan mengatakan masalah pribadinya. Dia tahu jika Naswa pasti tengah memikirkan masalah keluarganya.             Jika dia sudah enggan menjawabnya, lebih baik bagi mereka untuk menutup pembicaraaan ini. Namun, saat dirinya ingin membuka topik pembicaraan lain. Dia melihat ponsel Naswa yang terletak di atas meja kerja utama sedikit berdering. Dddrrrttt… “Nas, itu ponsel kamu berdering? Ada yang nelpon apa cemana?” tanya dr. Rikha mendekati meja itu dan melihat siapa yang menghubungi Naswa di jam kerja begini. Bg Rangga is calling…             Naswa melirik ke arah dr. Rikha, begitu juga dengan Prof. Ben yang sudah beranjak dari posisi duduknya dan berjalan menuju meja penelitian yang lain.             Naswa, dia segera melangkahkan kakinya menuju meja kerja utama. Jantungnya sudah berdegup kencang saat mengetahui Rangga menghubunginya saat ini.             Ini kejadian sangat langka, dimana Rangga menghubunginya di jam kerja. Biasanya, pria itu hanya mengirimkan pesan saja padanya.             Dia membuka jas laboratoriumnya, dan membuang sarung tangan serta masker mulut yang baru saja dia pakai tadi. Setelah dia merasa sudah cukup, dia segera menjangkau ponselnya dimana Rangga menghubunginya untuk kedua kalinya.             Sembari menggeser warna hijau pada layar ponselnya, Naswa lalu keluar dari ruangan laboratorium penelitiannya. “Prof … Dok … aku keluar sebentar,” ujarnya seraya meminta izin.             Mereka berdua yang ada disana mengangguk paham, lalu saling melirik satu sama lain. Bukan mereka ingin ikut campur dalam masalah keluarga yang tengah dihadapi oleh Naswa. Tapi mereka hanya ingin jika Naswa tidak memendamnya seorang diri. Mereka hanya takut jika saja Naswa tidak sanggup mengatasinya, lalu menjadi depresi. … Koridor.,             Ruangan ini jarang dijadikan lalu lalang orang-orang. Dia memilih untuk berjalan ke arah sini agar bisa bicara denga naman. “Hallo, Assalamu’alaikum. Ada apa, Bang?” “Wa’alaikumsalam. Sayang, siang ini Abang sampai Medan ya.”             Naswa mengenyitkan keningnya. “Bah? Katanya 3 minggu lagi balik kesini?” ujarnya seraya mengingatkan pesan yang pernah Rangga kirim padanya.             Namun, pertanyaannya justru dibalas tawa kecil oleh Rangga yang masih setia di seberang telepon. “Iya, Sayang. Tapi tiba-tiba saja keluarga menyuruh Abang untuk hadir di acara keluarga minggu depan. Jadi, Abang pikir mungkin lebih baik pulang cepat saja.”             Naswa mengangguk kecil. “Oh, gitu. Ya sudah. Jadi, ini Abang di Senayan?” jawabnya singkat. “Iya, Sayang. Ini sudah di bandara. Mungkin sekitar jam 1 atau 1.30 siang, Abang sampai di Kualanamu.” “Oh, yauda. Nanti kabari Naswa kalau uda di bandara. Abang mau Naswa jemput?” “Boleh. Jemput Abang di stasiun kereta api saja ya?”             Kening Naswa kembali berkernyit. “Kenapa gitu?” “Iya, nanti sekalian antar Abang balik ke rumah sebentar saja. Abang mau ambil pakaian.” “Abang mau nginap di Hotel lagi?” “Iya, Sayang. Hotel dekat rumah Sayang.” “Jadi, Abang cuma bawa badan saja nih ceritanya?” “Iya, Sayang.”             Terdengar suara tawa dari seorang Rangga, hingga membuat Naswa menggelengkan kepalanya saja. “Ya sudah. Nanti Naswa jemput. Tapi Abang yakin mau ngajak Naswa ke rumah Abang?” “Iya, kenapa rupanya? Sayang keberatan?” “Bukan. Maksud Naswa, nanti sepupu Abang tiba-tiba datang ke rumah lagi?” Naswa sedikit tertawa miris ketika mengingat kejadian waktu lalu. Saat dimana dia berkunjung ke rumah Rangga. Lalu salah satu dari sepupu perempuan Rangga enggan untuk menyapanya walau hanya sekedar berbasa-basi. “Tidak, Sayang. Terserah mau bagaimana sikap mereka. Itu bukan urusan kita.” “Ya udahlah. Nanti Abang kabari Naswa aja.” “Iya. Tapi, Sayang pulang jam berapa? Bisa pulang cepat hari ini?” “Bisa. Baru aja selesai tadi.” “Oh, begitu. Ya sudah, Sayang.” “Iya, Bang.” “Abang tutup yah. Assalamu’alaikum …” “Iya, Bang. Waa’alaikumsalam …” Tutt… Tutt… Tutt…             Naswa memutuskan sambungan telepon mereka. Dia menghela panjang nafasnya dan mengedarkan pandangannya ke arah lain.             Tampak sunyi, sebab yang lainnya mungkin masih di dalam ruangan masing-masing, pikirnya. Dia kembali melangkahkan kakinya menuju laboratorium penelitian.             Sesaat dia memikirkan satu hal. Dia harus bertanya sekali lagi mengenai hubungan mereka.             Naswa ingin melanjutkannya dan mengizinkan Rangga untuk datang berkunjung ke rumahnya. Tapi, Naswa ingin jujur pada Rangga jika hatinya sangat berat untuk melangkah lebih jauh lagi.             Dia pikir, kedewasaan Rangga akan memberinya jawaban pasti mengenai ketidak bebasan hatinya sejak awal menjalin hubungan dengan Rangga. Sepertinya, ini adalah saat yang tepat untuknya mengutarakan semua isi hatinya pada Rangga mengenai hubungan mereka. ..**..             Naswa segera menyelesaikan pekerjaannya yang tersisa. Meski hatinya belum benar-benar pulih untuk berjumpa dengan Rangga siang ini. Tapi sebisa mungkin dia mengalihkan pikirannya dari masalah keluarga agar tidak mengacaukan harinya bersama dengan Rangga.             Dia memahami satu hal pasti mengenai apapun yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu, bahkan tanpa kita mengundangnya sekalipun. Itu sebabnya dia sudah siap untuk jawaban yang akan Rangga berikan padanya nanti.             Tidak ada hal yang pasti di dunia ini. Tidak semua doa yang kita panjatkan pada Tuhan adalah yang terbaik untuk kita.             Karena rencana paling indah hanya ada di tangan Tuhan. Hanya Tuhan yang paling mengetahui segala hal terbaik untuknya di dunia ini.             Naswa menyadari jika dia hanyalah manusia yang melangkah sesuai arus dan waktu. Dia tidak akan bisa berdiri tegak tanpa pengalaman yang membantingnya selama ini.             Meski dia sangat menolak pengalaman hidup yang membuat hatinya sangat hancur, tapi dia tidak bisa menyalahkan Tuhan. Sekuat tenaga, dia mencoba berpikir keras jika Tuhan sangat menyayanginya, Mamanya, juga Adiknya. Sehingga mereka ditempah dengan masalah seberat ini.             Masalah ini sangat menghantui perjalanan hubungannya dengan Rangga. Dia hampir berpikir jika semua pria adalah sama.             Tapi di sisi lain, dia juga tidak bisa menghukum Rangga atas perbuatan Ayahnya selama ini. Rangga tidak berhak menerima akibat dari semua masalah keluarganya.             Bagaimanapun juga, Rangga masih bersikap baik dan sangat menjaganya selama ini. Pria itu sama sekali tidak pernah menyakiti hatinya ataupun membuatnya sedih. Meski peraturannya selama ini hampir membuat Naswa berpikir jika Rangga mungkin saja sudah memiliki kekasih selain dirinya. Atau mungkin dia adalah wanita kedua yang Rangga sembunyikan dari kekasih sebenarnya.             Sebelum Naswa balik dari tempat kerjanya, dia pamit kepada mereka untuk pulang lebih awal. Dia hanya mengatakan jika dirinya tidak bisa pulang terlalu sore hari ini.             Bersyukurnya, beberapa teman Naswa memahami alasannya. Yah, mereka yang tahu apa masalah Naswa, tentu saja mereka mendukung Naswa dan selalu memakluminya jika saja Naswa pulang lebih awal.             Selama di perjalanan menuju stasiun kereta api terbesar di Medan, Naswa berulang kali menarik nafasnya dalam-dalam. Selain karena dia akan berjumpa dengan pria yang jarang bertemu dengannya, dia juga menyiapkan hati seandainya saja jawaban Rangga tidak sesuai dengan ekspektasinya. Atau mungkin Naswa harus berjaga-jaga agar dirinya bisa bersikap tegar, jika saja apa yang tidak dia harapkan atau yang dia takutkan justru terjadi. Waspada diri Naswa terlalu sempurna, hingga dia memikirkan segalanya dari segi positif dan negatif. … Di dalam perjalanan.,             Rangga melirik ke kiri. Dia terus mengulum senyuman tipis di wajahnya. Sesekali mengecup tangan kanan Naswa yang digenggam erat. “Kenapa diam aja, Sayang?” tanya Rangga yang sejak tadi merasa heran dengan ekspresi Naswa yang tidak bahagia dengan kedatangannya.             Naswa meliriknya sekilas dengan gelengan kepala. “Gak ada, Bang. Oh iya … Abang belum makan, kan?” “Kita singgah saja dulu. Makan, habis itu baru ke rumah Abang, ambil pakaian. Bagaimana?” tanya Naswa seraya memberi saran.             Rangga menggelengkan kepalanya. “Tidak, Sayang. Abang tidak lapar. Kita ke rumah aja dulu. Karena kalau terlalu sore, nanti anak-anak Pak Bagas keburu pulang ke rumah. Abang malas menghadapi mereka,” sahut Rangga.             Naswa sedikit mengernyitkan keningnya, dia melirik Rangga. “Memangnya kenapa sih, Bang kalau anak-anak Pak Bagas di rumah?” “Lagian, Pak Bagas rumahnya di belakang rumah induk kan? Apa mereka mau masuk ke rumah Abang?” tanya Naswa menyelidiki, meski dia tahu alasannya apa.             Rangga mengulum tipis senyumannya. “Abang cuma gak mau jumpa mereka, Sayang. Kalau bertemu Abang, mereka seperti mencari perhatian dan selalu tanya apa yang Abang mau. Abang jadi risih,” jawabnya kembali memberikan jawaban yang sama.             Naswa merespon kalimat Rangga dengan senyuman dan gelengan kepala yang tak berarti. “Harusnya mereka bisa jaga harga diri kan. Setidaknya, ya mereka sedikit segan lah. Masa iya harus melulu ada di rumah Abang. Sedangkan mereka sendiri sudah dibuatkan rumah di halaman belakang. Ya harus tahu diri lah,” ujarnya sinis membuang wajahnya ke arah lain.             Rangga hanya mengulum senyumannya saja. Ini yang dia suka jika sudah membahas dua anak Pak Bagas.             Kecemburuan Naswa tidak bisa disembunyikan. Tapi jika dia menanyakan kecemburuannya itu, Naswa pasti akan menampiknya dengan segera. “Kita ke rumah dulu ya. Tadi Pak Bagas lagi keluar sama istrinya mau beli keperluan bulanan rumah. Abang bawa kunci cadangan pagar dan rumah,” jelasnya.             Naswa sedikit menganggukkan kepalanya. Namun, tidak lama dia mencerna kalimat Rangga. Dia kembali membuka suaranya. “Bang, keluarga Abang sudah hampir 3 tahun tinggal di Senayan kan. Untuk apa lagi beli keperluan rumah kalau gak ada yang nempati? Rumah sebesar itu?” tanya Naswa meliriknya.             Rangga masih tetap fokus pada stiurnya. Meski sesekali dia harus melepas genggamannya dari tangan Naswa. “Sayang … walaupun rumah kosong, tapi kan harus terus dirawat, dijaga. Mungkin mereka beli peralatan untuk membersihkan rumah. Cuma kulkas saja yang dikosongkan mereka,” jelasnya lagi seraya menjawab pertanyaan Naswa.             Naswa melirik Rangga dengan ekspresi pahamnya. “Iya sih. Tapi … keluarga Abang masih biayai pendidikan mereka?” tanya Naswa sedikit penasaran.             Rangga kembali mengulum senyumannya. Tangan kirinya membelai lembut wajah Naswa yang bisa dia jangkau dengan mudah. “Masih, Sayang. Abang yang biayai mereka,” jawab Rangga, dan Naswa langsung meliriknya.             Naswa masih diam melihat Rangga. Entah apa yang di hatinya saat mendengar jawaban Rangga barusan. “Kenapa, Sayang?” tanya Rangga pura-pura tidak tahu.             Dia hanya menggelengkan pelan kepalanya saja. Wajahnya kembali berpaling ke arah yang lain.             Rangga tersenyum dan kembali melanjutkan kalimatnya. “Dulu, memang Papa dan Mama yang biayai mereka. Tapi, karena Abang yang lebih sering balik ke Medan. Yah, akhirnya Abang yang memberi uang bulanan sekaligus biaya pendidikan mereka.”             Naswa masih mendengarnya, meski wajahnya menatap ke arah lain. “Lagi pula, sama saja. Papa dan Abang, atau Kakak yang beri mereka uang bulanan. Sayang kan tahu sendiri, dulu saat Papa dan Mama sering keluar kota, mereka yang mengurus kami. Bahkan mereka mengurus Abang sejak usia Abang 6 tahun,” jelasnya sekali lagi. Padahal, ini sudah dia jelaskan sebelumnya pada Naswa.             Naswa melirik ke arah Rangga. “Iya, Abang uda pernah cerita ke Naswa. Kenapa harus dijelasin lagi. Abang ini terlalu berlebihan,” ujarnya mengalihkan perasaan cemburu di hatinya.             Rangga hanya bisa tertawa geli, saat melihat ekspresi Naswa masih belum bersahabat. Dia melajukan cepat mobil milik Naswa saat jalanan sedikit lengah.             Saat mereka saling diam satu sama lain, ponsel Naswa berdering. Dddrrrttt…             Naswa langsung melihat ponsel yang dia simpan di dalam tasnya. Bg Pai is calling…             Kening Naswa langsung berkerut.             Sedangkan Rangga, dia melirik ekspresi Naswa. “Siapa, Sayang?”             Naswa langsung menggeser warna merah yang ada disana. Menolak panggilan itu. ‘Abang pun! Ganggu aja! Gak tahu waktu banget!’ bathin Naswa ingin mengumpat. “Teman, Bang. Tapi ini Naswa kirim pesan aja sama dia,” ujarnya memberitahu sembari mengetik pesan di ponselnya.             Rangga berulang kali melirik ke arah Naswa Dia pikir, apakah itu Pai. Pria yang sangat dekat dengan kekasihnya sejak SMA. Pria yang sekarang sudah sangat mapan dan bekerja di perusahaan Internasional, di Jakarta. “Diangkat aja, Sayang. Kenapa haru ditolak?” ujar Rangga lagi.             Naswa menggeleng kepalanya. “Gak, Bang. Ini Naswa kirim pesan aja ke dia. Dia pasti paham,” balasnya lagi. “Pai ya, Sayang?” tanya Rangga penasaran. Deg!             Naswa melirik Rangga sekilas. Dia bingung harus menjawab apa. “Memangnya kalau seandainya ini Bang Pai, Abang mau apa?” tanyanya dengan ekspresi menuntut.             Rangga tertawa geli mendengarnya. Kenapa dia justru tersudutkan, seharusnya Naswa menjawab pertanyaannya saja. “Ya Abang mau bicara sama dia, dan mau bilang terima kasih. Karena selama ini, dia selalu ada kalau Abang susah dihubungi.” Rangga melirik Naswa. Deg!             Naswa tertegun mendengarnya. Bagaimana mungkin Rangga bisa menebak seperti itu, pikirnya. “Bang Pai ke Medan kalau dia liburan saja, Bang.” Naswa menyahutnya lagi, lalu beralih menatap layar ponselnya untuk membaca ulang pesan yang akan dia kirim pada Pai.             Rangga tersenyum dan membelai wajah Naswa lagi. “Iya kalau dia liburan ke Medan. Sayang harus sisihkan waktu. Supaya tidak ada penyesalan di kemudian hari,” ujarnya asal bicara.             Naswa mengernyitkan keningnya, melirik Rangga. “Abang ada-ada aja. Berlebihan kalau bilang penyesalan, yang seharusnya menyesal itu Abang! Karena Abang tega, jarang hubungi Naswa! Syukur-syukur kita ketemu dua minggu sekali!” ketusnya melirik sinis Rangga yang lagi-lagi hanya mengulum senyumannya saja.             Naswa segera mengirim pesan singkat itu pada Pai. Bg, aku lagi dijalan. Lagi sibuk. Nanti aku telpon kalau da sampai rumah ya?             Setelah dia mengirimkan pesan singkat itu, dia kembali menyimpan ponselnya di dalam tas.             Rangga pikir, dia harus segera sampai di rumah untuk mengambil beberapa potong pakaiannya. Agar mereka bisa bebas jalan berdua sampai Naswa sendiri yang mengatakan lelah dan meminta pulang untuk beristirahat. *** Perumahan Royal Mansion, Medan, Indonesia., Siang hari.,             Mereka sudah sampai di rumah Rangga. Mobil terparkir di halaman belakang rumah. Sebab kini mereka masuk melalui pintu bagian belakang.             Siang ini adalah kali ketiga baginya mendatangi rumah Rangga yang menurutnya sebesar istana. Rumah mewah dengan nuansa serba putih dengan keramik yang sedikit berlapis warna emas.             Dia mengikuti langkah tegap Rangga menuju kamarnya di lantai atas. “Abang mau bawa baju pakai koper atau ransel?” tanya Naswa sembari mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan yang tampak kosong karena tak berpenghuni. Dia sendiri saja sangat seram melihatnya.             Rangga melupakan Naswa yang masih berada pada undakan tangga paling bawah. “Pakai ransel saja. Nanti Abang cari di lemari …” “Sayang mau ikut masuk ke dalam kamar ?” tanya Rangga masih berdiri di atas sana, sembari menunggu Naswa sampai padanya.             Naswa melirik ke atas, dan mengangguk iya. “Iya. Masa Abang tega ninggalin Naswa sendirian disini. Haduhh … gak kebayang!” gumamnya sedikit melangkah lebar.             Rangga tertawa geli melihat ekspresi lucu Naswa. Baginya biasa saja, meski dia tinggal seorang diri di rumah sebesar ini. Karena dia tidak takut terhadap apapun kecuali kehilangan Naswa.             Dia menggenggam erat jemari kanan Naswa, lalu menuntunnya berjalan menuju kamar pribadinya yang terletak paling sudut.             Saat Rangga hendak membuka pintu kamarnya, dia melirik ke arah ruang tamu yang ada disana dengan kening berkerut. Penglihatannya tidak salah melihat sosok putih dengan rambut sepanjang kaki berada diantara dua lemari hias yang ada di sudut sana. “Bang, Naswa kok merinding yah. Apa AC-nya terlalu dingin?” tanya Naswa mendongakkan kepalanya, melihat Rangga yang menatap ke lain arah. Dia sedikit mengusap kedua lengannya. “Bang?” tanya Naswa lagi dan hendak melihat ke arah yang sama.             Namun, belum sempat Naswa melihatnya, pintu kamar Rangga sudah terbuka. “Ayo, Sayang. Bantu Abang pilih pakaian,” ujarnya sembari menutupi ke arah yang hendak dilihat oleh Naswa.             Naswa merasa aneh dengan sikap Rangga. “Abang kenapa sih? Aneh!” ketusnya bernada sebal, menyikut perut Rangga.             Rangga hanya mengulum senyumannya saja dan segera menutup pintu kamarnya. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN