Sayap Peri yang patah

1353 Kata
Cantik sekali. Ia memuji dirinya sendiri didepan cermin sambil tersenyum lebar, tangan kiri memegang telinganya yang terpasang anting motif bunga melati serta hiasan kecil untuk pinggir telinganya, hadiah ulang tahun dari kak Erika saat tahu dirinya memiliki lubang tindik karna kecintaannya akan anting saat SMP.  Ia seperti melihat dirinya 4 tahun lalu, tersenyum riang dengan rambut panjangnya yang diikat ala ponytail saat menatap dirinya di cermin dengan anting baru, lalu berlari keluar kamar sambil memamerkannya pada orang rumah dengan senyum lebar, menikmati pujian betapa cantik dirinya mengenakan itu, merasa diatas angin saat beberapa cewek seusianya memandang lama kearah dirinya dengan sorot mata iri, bahagia tak terkira setiap berjalan di tengah lapangan menjadi pusat perhatian karna penampilannya. Karnanya, dia merasa hal itu paling indah dalam hidupnya.  Dia kangen masa itu. Ia memperhatikan potongan rambut pendeknya sambil bersinandung. "Gue kepang di satu sisi sampai pelipis, terus gue selipin akhir kepangnya biar terlihat unik." Ia mencoba dan hampir memekik kegirangan karna sesuai dengan imajinasinya.   Cantik. "Gue bersama lo selama 6 bulan ini bukan karna cinta, apalagi tergila - gila. Melainkan pertama, karna lo cantik, kedua adalah lo adiknya Erika, cewek inceran gue yang sebenernya, salah satu kelemahan Bian, serta gue bertekad ingin menang taruhan. Tanpa 4 poin itu, mustahil gue bersama lo, Tata. Lo itu useless dan manja. " "b******k!"  Cowok itu tanpa belas kasihan mencekiknya yang terikat mati di atas meja seperti persembahan suatu tumbal, bahkan sorot mata yang biasanya ramah itu kini terlihat sangat mengerikan hingga ia spontan berpejam." Kecantikan yang lo banggakan selama ini, sebenarnya adalah  tropy impian yang suatu hari pasti berdebu dan berakhir di bak sampah bagi kami." "Lista, Lo udah dicari Bi - ASTAGA! ELISTA!" Erika langsung berlari dan berlutut disamping  adiknya yang meneteskan darah cukup banyak pada daun telinga kirinya, mengikuti arah tatapan Lista yang mematung,  menemukan anting pemberiannya rupanya terlempar hingga ke ujung ruangan. Ia tak menyadari betapa bergetar suara serta tangan kanannya saat menyentuh pundak Lista yang membatu. Tak ada teriakan kesakitan semakin memperburuk keadaan. "Elista.." Ia langsung beringsut menjauh saat berpaling, melihat dirinya  bersisian dengan kak Erika di cermin.  Wajar saja cowok itu tergila - gila dengan kak Erika ketimbang dirinya yang seujung kuku pun sudah kalah total.   Bodoh sekali dirinya saat itu berpikir bahwa cowok itu menyukainya. "Gue gak papa, kak." Erika beranjak dan mencari kotak obat yang memang tersedia di setiap kamar, mengucap syukur saat melihat isinya sesuai yang ia butuhkan, dan mendekati Lista yang terlihat kosong.  berharap Bian tak menyusulnya kesini. "Kenapa, dek?" Ia meringis saat kak Erika menyentuh lukanya dengan kapas yang dibaluri oleh Alkohol.  "Dia pernah bilang kalau gue itu useless dibandingkan lo yang sempurna, karna itu dia tergila - gila sama lo dan macarin gue biar gak terlihat sia - sia." Ucapan itu terputar bak alat pemutar kaset pita yang rusak. "Dia juga bilang bahwa gue adalah piala berjalan yang bisa dipamerkan kemana saja, karna sifat gue emang suka pamer diri sendiri, namun pasti berakhir dalam bak sampah kalau sudah bosan, juga ..." "Cukup, Elista." Begini rupanya perasaan Bian setiap mendengar nama Jahannam itu disebut, karna kini ia merasakan perasaan ingin membunuh sangat kuat, minimal menghancurkan wajahnya dengan air keras.  "Jangan biarkan ucapan sejahat itu bikin lo down, karna artinya dia benar." Ia memperhatikan luka di telinga kiri Lista yang cukup dalam, bingung  bagaimana menceritakan situasi ini  tanpa membuat Bian kesetanan. "Gimana kalau kita kerumah sakit untuk obatin daun telinga lo lebih lanjut?" "Sekolah?" "Kak Bian yang antarin surat sakit lo, sayang." Ia mencium kening Lista, menahan diri untuk tidak menangis melihat kesakitan dari sorot mata unik itu. "Lista, lo adalah Ratu Peri dalam hidup kami , sesuai dengan arti nama yang Bian berikan.  lebih berkilau daripada Berlian termahal, lebih berharga dari apapun yang ada di Dunia ini. Jadi, jangan pernah biarkan dia merusak lo, Lista." "Gue udah rusak kayak barang bekas yang dilempar ke TPS, Kak, dan gak ada cowok manapun yang sudi sama gue." "Buktinya lo punya Ando." Lista menyeringai perih saat teringat cowok bersorot mata hitam kelam itu. "Dia pasti kabur dan jijik luar biasa kalau tau, Kak. Believe me."  *** "Udah pulang sekolah?"  Ando tersentak mendengar suara lembut yang dikenal baik menegur dari balik punggung, ketika berdiri di pintu UGD. "Udah kak Erika. Lista sendiri gimana kabarnya?" "Baik kok, cuman lagi proses penutupan luka di daun telinga dengan dijahit. Tapi sisanya gak papa." Erika menunjuk kursi di samping ruang UGD, tersenyum saat Ando mengerti maksudnya. "Lista hubungin lo, yah?" Ando menggeleng, itu juga menjadi misteri. "Ketemu kak Bian di sekolah saat dia mengantar surat sakit Lista."  Erika mengangguk. Butuh waktu 20 menit untuk memaksa Bian saat itu yang tak ingin meninggalkan Lista barang sedetik pun, membuatnya seperti membujuk Balita untuk tenang saat suntik Imunisasi. "Dia gak bertingkah aneh, kan?" "Gak kok." Biarlah tingkah aneh kak Bian yang menatap satu sekolah seolah musuh bebuyutan, bahkan mengajaknya sparring saat itu juga, menjadi rahasia Illahi. "Lista kenapa?" Erika bersandar di dinding sambil mendongkak menatap cicak di langit - langit Rumah Sakit. Otaknya terlalu kusut untuk menjawab pertanyaan simpel itu. "Telinganya luka karna salah pake anting." Melihat Ando diam saja, ia melanjutkan, " Gue  gak ngerti apa yang ada dalam pikiran Lista. Maksudnya, 6 tahun yang lalu dia sangat menyukai perhiasan, khususnya anting, sehingga nekat memasang lubang tindik di sekitar daun telinga karnanya. Tapi karna kejadian itu," Mengingat inisial namanya saja sudah membuatnya ingin mencekik j*****m itu. "Lista berubah drastis. Semua perhiasan serta dress kesukaannya saat itu diberikan sukarela ke Panti Asuhan, memotong rambut menjadi sekarang, benci menjadi pusat perhatian - padahal dulu sangat menyukainya. Tapi hari ini, gue merasa dia ingin kembali menjadi Tata yang kami kenal." Ia bersyukur selalu membawa saputangan kecil kemana - mana di saku belakang celananya, karna berguna untuk menyeka air mata kak Erika. "Apa yang membuatnya berubah?" Erika memulintir ujung saputangan yang diberikan Ando dengan senyum kecil. "Gue mau masuk dulu, mungkin operasi kecilnya sudah selesai. Gak papa lo nunggu disini sebentar?" Senyum terpaksa itulah alarm peringatan bahwa  pembicaraan satu pihak tadi dianggap tak pernah ada. "Silahkan, Kak. Gue akan menunggu." *** "Waw.." Lista tak sanggup berkata apa - apa saat turun dari mobil Ando, matanya langsung dimanjakan oleh keindahan pantai, disertai semilir angin seperti menggodanya untuk menikmati semua yang tersedia disini. "Hebat banget pantai sebagus ini malah sepi." "Karna ini milik keluarga gue."  Lista lebih dari terpukau hingga tanpa sadar melepas sepatu sekolahnya, kemudian setengah berlari menuruni tangga batu sambil berteriak kegirangan. Lupa bahwa sebenarnya ia setengah terpaksa mengikuti Ando setelah pulang dari Rumah Sakit. "Lo tau, ini tempat yang paling suka di Muka Bumi." Ia bahkan mengambil sejumput pasir saat Ando menyusul sambilmenjinjing sepatunya di tangan kanan dengan senyum lebar. "Bahkan pasirnya selembut ini." "Gue senang lo suka, Lista."  Ia duduk berselonjor sambil mengubur kakinya dengan pasir sambil tertawa kecil. "Kenapa lo ajak gue kesini?" Lista terlihat seperti anak kecil yang kesenangan, dan ia menikmatinya. "Biar lo gak sedih lagi." "Sejelas itukah?" Ando mengangguk sambil duduk disamping Lista sambil melipat kedua lututnya. "Gue cuma menebak saja." Ia memperhatikan gaya kepang rambut Lista, lebih dari terpesona  hingga mati - matian menahan diri untuk tidak memuji karna peringatan kak Erika.  Apa yang membuatnya berubah? Ia berpaling untuk memperhatikan ombak kecil yang  membasahi ujung kaki Lista, "Saat kak Rafa meninggal dan gue  keluar dari RS setelah gagal bunuh diri,  gue sempat tinggal disana," Ia menunjuk Villa  yang menghadap pantai di sisi kiri pantai. "Selama 1 bulan lebih. Yang gue lakuin selama itu cuma merenung dan berpikir  apa yang harus gue lakuin setelahnya, karna sesakit apapun yang gue rasakan saat itu, gak bikin Dunia berhenti." "Lo kuat banget." Jarinya menari di hamparan pasir, menggeleng pelan saat membayangkan bagaimana rasanya di posisi Ando saat itu. "Gue gak bisa kayak lo." Gue mungkin belum bisa percaya akan keajaiban Tuhan karna berbagai alasan, tapi gue percaya bahwa manusia itu memiliki kekuatan untuk masalahnya masing - masing." "Begitu?" "Itu yang gue yakini." Ando tersenyum sambil menggandeng tangan kiri Lista, "Gue harap, tempat ini juga bisa meredakan sakit di hati lo, Lista. Apapun itu." Sudah berapa kali ia merasa aman dan baik - baik saja, hanya karna genggaman tangan Ando? "Gue gak yakin." "Just trust me, Elista."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN