Dia berteriak kesakitan tanpa ada yang mendengar selama ini.
Menangis perih hingga darah menggantikan air mata.
"Mau masuk?"
"Gak usah, gue langsung pulang saja." Jawabnya sambil tersenyum, untuk menyembunyikan rasa kebelet tak tertahan yang mati - matian ditahannya sepanjang jalan tadi. Tak menyadari bahwa sedari perjalanan pulang cowok itu diam saja, walau diajak ngomong tak pernah mau menatap langsung. "Gue pulang, yah."
Jawaban Lista membuatnya mendongkak. Sorot mata unik itu semakin indah saat terpantul sinar Matahari, namun tetap saja gagal menyembunyikan gelagat aneh Lista yang siap kabur. "Kok buru - buru? Gue gak ada niat buat menculik kok."
Lista menatap tangan kiri Ando yang menggenggam pergelangan tangannya. Duh, lepas dong! "Gak kok. Cuman kebelet pengen pipis aja."
Bodoh.
Ando tersenyum saat Lista kini menunduk sambil mendumel sendiri dalam bahasa tak dikenalnya, membuka pintu mobil, melepas sabuk pengaman Lista dan merasakan tarikan napas tepat di telinga kirinya saat melakukan itu, lalu mengambil kunci mobil Lista. "Ayo masuk."
"Kembaliin!"
Ando tertawa melihat wajah panik Lista. Sorot mata unik yang membuatnya terbius tak pernah gagal membuatnya lupa untuk tidak terpesona. "Gue gak mau lo semakin tersiksa sepanjang jalan nanti. Kakak lo juga nitip Martabak kan?"
"Gak! Gak Mau! Eh, maksudnya gak usah. Gue langsung saja." Saking paniknya, suaranya gemetar tak terkendali. Lebih baik dia berakhir mengompol di jalan ketimbang berduaan dengan Ando di Rumah. Entah kenapa, berada di teritori cowok itu membuatnya ketakutan sendiri.
Keningnya berkerut sambil mengelus pergelangan Lista yang gemetar agar tenang. "Gue gak sendiri dirumah kalau itu yang lo khawatirkan. Ada Bibi."
"Ortu lo sendiri?"
"Jadi, mau masuk? Gue gak ada kekuatan serta niat untuk lakuin macam - macam sama lo dengan kondisi begini. Believe me, okay?"
Lista melirik kunci mobil kak Bian yang berada di tangan Ando. Ia bisa saja melengos dan pulang kerumah dengan jalan kaki, membiarkan kak Bian duel sekali lagi dengan Ando kalau perlu. Tapi, kantong kemihnya terlalu penuh, serta tatapan hitam kelam itu membuatnya percaya, sehingga ia mengangguk sambil mengikuti Ando dari belakang.
***
"Wah..." Lista terpukau saat memasuki Ruang Tamu yang 2 kali lebih mewah dibandingkan rumah siapapun yang pernah ia datangi. d******i warna ungu dan putih membuatnya terlihat elegan, belum lagi pandangan langsung ke arah taman dengan kaca sebagai pengganti tembok, membuat ruangan ini terasa sangat damai, menenangkan,
dan seharusnya hangat, kan?
Ia berjalan mendekati meja kecil yang berisi beberapa figura foto kecil, tersenyum sendiri saat mengenali Ando dalam versi lebih kecil sedang tertawa sambil dipeluk oleh seorang anak lelaki yang terlihat menjulang sedang tersenyum sambil mengacak rambut Ando. Ekspresi wajah anak lelaki itu terlihat sangat menenangkan, seolah ia dilahirkan untuk mendamaikan seisi dunia hanya melihat wajahnya.
Pandangannya kemudian beralih ke arah foto kedua orang tuanya, mengetahui bahwa warisan sepasang bola mata sehitam arang itu dari ayah Ando, sedangkan untuk wajah dingin terkesan angkuh disertai lirikan tajam berasal dari mama Ando berkebangsaan asing, terlihat sangat cantik dan mempesona bersama rambut pirang kecoklatan dikepang samping kanan, diapit oleh Ando kecil dengan tuksedo berwarna hitam serta cowok berwajah menenangkan itu sambil tersenyum bahagia.
Keluarga bahagia.
"Sudah selesai?"
Ia tersentak dan hampir menjatuhkan pigura kecil foto keluarga yang dipegangnya karna kehadiran Ando. Tersenyum, ia meletakkan Pigura tersebut saat merasakan Ando disampingnya. "Mama lo cantik."
Tak ada jawaban, Lista angkat bahu sambil menunjuk salah satu foto. "Dia ini kakak lo?"
"Iya. Kak Rafael Hayman."
Nada suara Ando terdengar cukup aneh untuknya. "Sekarang kakak lo kerja dimana?"
"Good - bye, Ando."
Ia membalas genggaman tangan kakaknya yang perlahan mendingin, serta sorot mata yang selalu memandangnya penuh damai, disertai senyum yang seolah berkata 'semua akan baik - baik saja.' terlihat abadi dalam keheningan yang menyakitkan. "Kak, Lo jangan pergi. Gue sama siapa kalo lo gaada disini?"
Tak ada jawaban.
Ia mendongkak sambil meremas tangan kakaknya, matanya luar biasa pedih hingga ia tak sadar telah berteriak - namun tak ada suara sama sekali karna tenggorokannya seolah berubah menjadi duri, paru - parunya seolah tertekan oleh sesuatu yang sangat berat hingga ia tak bisa bernapas, serta kakinya langsung lemas dan ia terjatuh dalam posisi duduk. "Lo janji gak akan ninggalin gue, kak. Lo selalu bilang akan disamping gue sampai tua."
"Tuhan, Kakak gak ngabulin keinginan sederhana gue, begitupun juga Kau. Siapa lagi yang harus gue percayai setelah ini? Semuanya pembohong."
Ando tak berani menatap Lista, jadi ia memilih menatap foto yang lain sambil mengetuk jari ke atas meja. "Sudah meninggal 3 tahun yang lalu."
"Oh, Sorry.." Lista menggigit bibir sambil mengelus pundak Ando yang menegang. "Gue gak tau."
"Gak masalah."
"Ortu lo sendiri sekarang sedang kerja, kan?"
Ando baru berani menatap Lista, saat tangan sepasang tangan lembut dan hangat itu mengepal tangannya. Seolah memberinya kekuatan untuk sesuatu yang ia sendiri tak tahu. "Ortu gue berpisah, karna gue lahir."
Ia menggigit ujung lidah untuk tetap tenang, tak tahu lagi tangan siapa yang mendingin sekarang. "Kenapa lo berpikiran begitu?"
Ia mencoba tersenyum, namun bibirnya terlalu kaku. "Bukan sesuatu yang bagus untuk diceritakan disaat gue baru saja dihajar habis - habisan oleh kakak lo, Lista."
"Gue akan mendengarkan sekacau apapun cerita lo, bahkan tak beraturan sekalipun, kalau itu buat lo tenang."
"Kenapa lo bilang begitu?"
Cara Ando menatapnya saja sudah ingin membuatnya menangis. Dengan tangan gemetar ia memberanikan diri menyentuh wajah Ando, dan tersenyum, YaTuhan, sakit sekali sorot matanya itu. "Just believe me, Ando."
***
"Kata orang, kedua orang tua gue adalah pasangan paling sempurna dan bahagia di Dunia. Mama menikah disaat Papah sedang merintis usaha sebagai Pengusaha Importir Barang Antik dan Travel, kemudian kakak lahir 1 tahun sesudahnya. Tak ada yang bisa mengusik mereka, mereka saling mencintai dalam kesederhanaan." Ando memperhatikan kakinya dalam kolam renang, tak berani menatap Lista yang terus menggenggam tangan kirinya, seolah memberinya kekuatan.
"Gimana kalau gue antar lo pulang?"
Lista menatap Ando kini memutar jari telunjuk kanannya dalam air. "Gue mendengarkan."
"Lo memang keras kepala."
"Terima kasih."
Ando tersenyum mendengar balasan itu, "5 tahun setelahnya, gue lahir tanpa menyadari bahwa hal itu paling tak diinginkan oleh Mama. Karna pada saat itu usaha Papah sedang menanjak hingga kehadiran gue membuat konsentrasi Mama menjadi kacau balau dan berakhir depresi. Mama selalu ditemani dan menemani Papah kemanapun, bisa lo bayangkan disaat seperti itu, orang yang paling lo butuhkan malah tak ada? Siapa yang bisa lo salahkan saat di posisi seperti itu kalau bukan gue? Maka, itulah yang terjadi saat itu."
Lista menahan napas sambil mendongkak untuk tidak meneteskan air mata, walau hatinya lebih dari hancur saat membayangkan seorang Ando sudah berjuang untuk mendapatkan kasih sayang orang tuanya sendiri, selalu tersenyum seperti di foto untuk terlihat dirinya bahagia, padahal merasa tak diinginkan. "Tapi Papah menerima lo, kan?"
Ia merenung menatap air terjun mini disamping kolam. "1 bulan hanya bisa dihitung dengan jari kehadiran Papah, kalaupun ada pasti beliau menghadiahi kami dengan mainan terbaru, permintaan apapun pasti dikabulkan sembari berkata bahwa itu cukup untuk menebus absennya beliau. Tapi Papah lupa bahwa kami - apalagi Mama tak butuh semua itu. Bahkan gue sangat ingat saat kami baru saja tiba di Pantai yang baru saja dibeli itu, hanya sekitar 30 menit kami benar - benar merasakan arti keluarga sebelum Papah memaksa untuk pulang karna sinyal ponsel susah ditemukan. Setiba dirumah, Papah langsung pergi dan Mama menjerit menyalahkan kehadiran gue lah yang membuat beliau tak perhatian lagi, dengan ringannya bilang bahwa gue seharusnya mati saja saat digugurkan di usia 5 bulan kehamilan ketimbang ngotot hidup. Lo tau, ucapan sejenis itu udah seperti suplemen yang harus diminum 3x sehari hingga gue merasa akan mati beneran jika kak Rafa tak membela dan balik memarahi Mama."
Ando menarik napas sambil menatap sekitarnya. Disini adalah yang tempat favorit kakaknya setiap melarikan diri dari kekacauan, mengingat tempatnya kedap suara. "Lo liat kan beberapa pigura foto gue saat menang lomba, kenapa tak pernah berfoto sama ortu? Karna mereka tak pernah peduli dengan apapun yang gue lakuin. Hanya kak Rafa yang selalu nemanin gue tanding, memeluk erat tiap gue dapat medali dan mentraktir makan, pulang kerumah disambut Bi Inah dengan masakan kesukaan gue dan kami makan bareng. Kalau ditanya definisi kebahagiaan gue saat itu, itulah jawabannya."
Ando melirik Lista yang diam dengan hidung terlihat memerah dari samping, merasa tersentuh saat gadis itu mendongkak sambil menarik napas dan menghembuskannya dengan sangat perlahan. "Gue udahin saja, yah."
"Jangan harap gue mau pulang."
Ando mengelus kepala Lista, merasakan kelembutan rambut sehitam jelaga itu. "Gue gak mau liat lo menangis."
Ia tersenyum selebar mungkin, walau dipastikan sia - sia karna suaranya terdengar serak. "Gue gak akan nangis. Setelah itu, apa yang membuat kedua orang tua lo berpisah?"
Pertanyaan Lista membuatnya bersandar di pundak kiri gadis itu, berharap tindakannya tidak membuat Lista menghindar seperti biasanya. Karna disinilah titik kehancuran abadinya. "Mama berselingkuh dengan pria lain yang cocok kami panggil sebagai kakek, dan pergi dari rumah tanpa penyesalan. Papah patah hati teramat dalam karna merasa sudah memberikan lebih dari cukup, mengatakan Mama egois dan semakin tenggelam dalam karir. Mengabaikan gue dan kak Rafa sepenuhnya namun saat itu kami sudah tak peduli lagi. Bagi gue, kehadiran kak Sheila yang saat itu adalah tunangan kak Rafa, sudah lebih dari cukup menggantikan posisi Mama. Tapi lo tau apa yang paling menyakitkan selain disakiti orang yang seharusnya menyayangi kita?" Ia tersenyum saat merasakan gelengan kepala Lista, "Terlalu mempercayai orang lain."
"Maksudnya?"
"Saat itu Kak Rafa siap menikah dengan kak Sheila dan mengatakan bahwa kami akan tinggal bertiga dirumah barunya, kak Sheila tentu saja setuju karna dia anggap gue sebagai adik. Gue merasa saat itu adalah happy ending versi gue, bahkan sampai berdoa pada Tuhan agar hal seperti abadi selamanya. Namun sayang, impian gue terlalu muluk, terlalu naif karna kak Sheila selama ini berselingkuh dengan sahabat kak Rafa dan hamil diluar nikah. Kak Rafa terlalu cinta saat itu hingga tak mempermasalahkan bayi siapa yang dikandung kak Sheila yang penting mereka bersama. Namun kak Sheila memilih pergi begitu saja. Gue kuat, tapi kak Rafa tidak. Dia terlalu sibuk memikirkan gue saat itu sudah kelas 3 SMP, berpura - pura bahwa kami masih keluarga utuh dan sempurna demi citra perusahan, sembari menyalahkan diri sendiri dan akhirnya memutuskan bunuh diri. Pergi tepat didepan mata gue, bilang maaf seolah kesalahannya tak berarti apapun."
"Katanya gak akan nangis." Ando menghapus air mata yang membasahi wajah Lista, bahkan sedikit terkejut saat gadis itu memeluknya sambil sesegukan. "Lo tau, saat kakak gue meninggal dan dikuburkan, kedua orang tua gue datang dan menangis seolah kak Rafa adalah anak tunggal, lupa akan kehadiran gue. Gue saat itu cuma diam dan menjauh. Bibi Inah memeluk gue sambil bilang menangis saja karna itu alami. Masalahnya, mungkin gue sebenarnya sudah mati hingga gabisa menangis seperti mereka."
"Selama ini orang bilang Tuhan pasti membantu kita disaat kesulitan, tapi kenapa dia tak pernah sekalipun membantu gue dan memilih mengambil satu - satunya harapan hidup gue? Pikiran itu membuat gue mutusin ikut jejak kakak. Dan untungnya gagal karna Bi Inah saat itu masuk ke kamar dan melihat gue terkapar di lantai dengan darah mengalir deras di pergelangan tangan." Lista memperhatikan luka sayat melintang, seperti memutus langsung jalur nadi saat Ando melepas jam tangannya. "Selama gue dirawat di Rumah Sakit, cuma Bi Inah di sisi sambil berdoa siang - malam dan langsung memeluk erat gue saat sadar, mengomel dengan logat Jawa yang khas bahwa dia tak ingin ditinggalkan karna takut tinggal sendiri dirumah yang super besar. Hari itu gue merasa pertama kalinya merasa dibutuhkan, merasa tak sendiri lagi dan menjaga apa yang paling berharga di hidup gue."
"Bagaimana lo bisa bertahan dan tersenyum seperti ini?"
Pertanyaan ditengah isakan itu membuatnya mengacak rambut Lista. "Karna gue percaya bahwa Cinta itu hanya untuk orang beruntung, dan gue sadar diri dengan tidak meminta perasaan itu ada untuk gue, dan tak ingin merasakannya juga."
Lista menghapus air matanya sendiri, mendongkak menatap Ando yang menatap tembok dengan ekspresi dinginnya, dan memutuskan memeluk cowok itu sambil menangis saat teringat senyum bahagia Ando kecil pada salah satu foto keluarga yang dilihatnya tadi. Ya Tuhan, apa yang dibayangkan Ando saat itu hingga bisa tersenyum lebar seperti itu? "Menangis saja kalau lo ingin, Ando."
Ia mendadak tak bisa berkata apapun saat Lista melingkarkan lengannya di pundak, merasakan rembesan air mata membasahi pundak kirinya. "Gue menangis untuk apa yang terjadi pada lo, berharap kita ketemu lebih awal agar gue bisa memeluk lo kapanpun disaat lo tersakiti. Gue tau rasanya bagaimana menyalahkan Tuhan disaat kita membutuhkan pertolongan - Nya, Gue tahu bagaimana rasanya tak bisa percaya pada siapapun lagi. Tapi lo gak akan sendiri, Ando. Ada gue disisi lo, lo bisa menganggap keluarga gue sebagai keluarga lo juga, Gue akan senang membagikan semuanya untuk lo, hanya untuk lo, Ando."
It's funny how we feel so much but we cannot say a word
We are screaming inside, but we can't be heard
Hati Lista semakin terpilin kuat saat mendengar bisikan sangat lirih di telinga kanannya. disertai air mata perlahan membasahi pundak kanannya. "Boleh gue berharap, bahwa lo adalah salah satu hadiah kecil dari Tuhan, sebagai hiburan untuk gue?"