Anakku..."
Suara Mama terdengar menyayat hati saat memeluk papan nisan kayu yang bertuliskan nama kakaknya, menancap kuat di tanah merah seolah sebagai alat tampar paling efektif akan kenyataan yang dihadapi sekarang. Bahkan wanita yang sampai sekarang ia impikan bisa dipanggil 'mama' tanpa embel - embel hinaan, sedang menangis pilu hingga semua orang berpikir, bahwa kak Rafa adalah anak satu - satunya.
Ia tak kuat mendengarnya.
Tapi apakah ia punya pilihan untuk kabur?
Ia perlahan mendekat, menyentuh pundak Mama dengan tangan kanan yang gemetar hebat, sembari berdehem untuk menjernihkan suaranya yang mendadak serak. Bisikan para pelayat kini diabaikan. "Ma, jangan nangis. Ada Ando disini."
"Kamu pembawa s**l. Andai kamu gak lahir," Wanita itu tak menoleh, namun tangannya mencengkram kuat nisan kak Rafa. "Rafa gak akan berakhir disini. Terbujur kaku mendengar mama dan papah nangis tanpa bisa membujuk seperti biasanya, gak bisa bilang, 'semuanya akan baik - baik saja, Ma, Pah.' Oh Tuhan, anakku yang malang.."
"Bahkan mama baru saja berpikir" Wanita itu kini menoleh, sepasang mata berwarna coklat kehitaman itu memerah dan bengkak karna air mata yang terus mengalir, kini bersorot benci. "Mungkin kalau yang didalam tanah saat ini kamu, mungkin Mama gak akan merasa sehancur ini."
"Kak, Kak Ando, Bangun..."
Ia membuka mata, bersyukur bahwa yang dilihatnya adalah Lily. Bukan wanita itu dalam wujud nyata. "Iya, Lily. Makasih sudah bangunin kakak."
"Kakak mimpi dikejar Dinasourus lagi, yah? Kakak pasti nakal saat itu jadi mereka terganggu."
Ia tersenyum mendengar nada sok galak Lily, yang kini menguap lebar. "Gak kok. Kakak mimpi dikejar kamu yang gak ada giginya karna suka makan serba manis tanpa sikat gigi. Serem loh kamu di mimpi kakak tadi."
"Lily selalu sikat gigi, kak. Nih..." Ia sampai tersenyum lebar untuk memamerkan giginya sebagai bukti. "Bener, kan?"
Ia tersenyum sambil mencium kening Lily. "Iya, Kak Ando percaya. Tidur lagi, yuk? Baru jam 3 pagi ini."
"Ayok, tapi peluk yah, kak."
Ia mewujudkannya sambil menyanyikan lagu tidur kesukaan Lily, diam - diam merasa iri melihat Lily terlelap begitu saja dengan senyum kecil. Seolah tidur adalah hal yang paling membahagiakan dalam hidupnya.
Tidak seperti dirinya, yang memilih menghabiskan bergelas - gelas kopi demi tak tidur , agar tak berhadapan dengan kenangan menyakitkan lainnya.
***
"Cupcakesnya lucu. Lily pasti teriak kegirangan kalau liat ini."
Lista menatap Ando yang sekarang berada di ruang tamunya tanpa diundang apalagi pemberitahuan, lengkap dengan penampilan serba Hitam seolah ia adalah seorang magician. "Lily?"
"Oh, gue lupa lo belum pernah ketemu dia." Ando menatap lekat Bunny Cupcakes itu dan tersenyum. "Ini beneran bisa dimakan?"
"Kalau gak dimakan juga gak papa, biar gue semprot pake formalin supaya awet." Ia tak tahu kenapa kesal akan ucapan Ando barusan. "Ada apa kesini?"
Ando menggigit kuping Bunny itu tanpa mempedulikan tatapan heran Lista. "Kuenya enak banget. Bikin sendiri?"
"Kak Erika sebenarnya yang bikin. Gue cuman bantu sedikit. " Lista membayangkan kak Erika kini sibuk bereksperimen untuk resep terbaru, membiarkan seisi rumah menjadi semakin montok seperti ayam disuntik hormon. "Semakin stress saat kuliah, makin enak kue yang dia bikin."
Lista spontan menghapus whipped cream yang tertinggal di pipi kiri Ando. "Enak banget, yah?"
"Apapun yang lo lakukan saat bikin kue," Ia menggeleng saat Lista terlihat berusaha meralat ucapannya. "Walau cuman naroh hiasan di atas kue, itu tetap enak."
"Receh banget ucapan lo, Sumpah." Ia memilih meminum Orange Juice buatannya untuk menyamarkan rona pada wajahnya. "Jangan mimpi gue bakal terpesona terus berakhir memuja lo mati - matian kayak ratusan mantan lo."
Ando hanya mengangkat bahu sambil menatap Lista. Sorot mata unik itu selalu sukses membuatnya terdiam dan tak tahu harus berkata apa dalam sepersekian detik. Seolah hatinya sedang bersujud akan kecantikan cewek ini. "Ayo kita ke pantai."
Kenapa harus pantai? Bukannya ia tak suka akan Pantai pribadi Ando yang sangat indah dan tenang itu, namun perjalanan yang ditempuh cukup jauh hingga ia harus pulang cukup larut saat terakhir kesana, membuatnya berdoa khusyuk dalam hati agar tiba dirumah dengan Selamat tanpa terjadi hal apapun, serta Ando tak berbuat hal aneh - aneh padanya. Ia masih tak bisa percaya sepenuhnya pada cowok bermata arang ini. "Disini aja gimana? Gazebo gue gitu?"
"Gue lagi pengen sendiri."
"Kalau gitu lo aja berangkat sendiri."
"Lista..." Ando menghapus sisa tepung di pipi kiri Lista, menikmati sorot terkejut dari sepasang bola mata unik itu, merasakan ketenangan familiar setiap bersama Lista. "Gue butuh lo."
"Kenapa harus gue?"
"Mungkin karna kehadiran lo," Ia menggenggam tangan Lista, berharap agar sepasang tangan lembut itu tak menjauh. "Bikin gue gak perlu berpikir aneh - aneh?"
Ia merasa Ando sedang menyembunyikan sesuatu dibalik sorot mata kelam yang memandangnya tanpa kedip. Jengah, ia memutuskan untuk berpaling sambil berusaha terpukau pada ukiran Guci yang dibeli Mama saat berada di China beberapa tahun lalu. "Lo aneh."
"Itu yang gue alami sekarang sejak kenal ama lo." Ia mengikuti arah tatapan Lista, lalu menatap gadis itu balik. "Jadi, mau temenin gue sebentar? Please?"
***
"Jadi, Papah gue baru saja meninggal tadi pagi."
Lista hampir saja memuncratkan air mineral yang diteguknya setengah saat mendengar kabar tak terduga itu. Inikah alasannya Ando diam saja selama perjalanan? "Gue berduka mendengarnya."
Ando angkat bahu sambil menikmati semilir angin di depan Villa yang beralaskan kayu. Tak tahu apa yang harus dirasakannya selain rasa hampa tanpa dasar. "Sejak Mama pergi dan kak Rafa meninggal, Papah mutusin untuk keluar dari rumah karena gak kuat dengan kenangan indah yang ada, kemudian membeli rumah baru untuk ditinggal sendiri hingga akhir hayat. Papah sendiri meninggal karena serangan jantung saat di kantor, sudah lama mengeluh sakit namun diabaikan."
Ia mendongkak saat Lista mengelus pundaknya perlahan. "Gue bertemu dengan Mama bersama suami baru serta kedua anaknya yang masih kecil, dan mereka terlihat bahagia. Saat itu gue cuma bisa melihat dari jauh dan pergi begitu saja tanpa bilang apapun." Memang itu yang dilakukannya, "Tapi sepanjang perjalanan, batin gue bilang, 'oh, gue punya saudara kandung, tapi tak dikenal.' dan itu mengganggu."
"Saat gue pulang kerumah, ternyata Sekretaris Papah, Ibu Linda sudah menunggu bersama 4 orang yang gak gue kenal sama sekali. Mereka ucapin belasungkawa yang gue anggap basa - basi belaka, dan memberi gue ini." Ando memberikan amplop cokelat yang sudah terbuka segelnya pada Lista. "Coba saja lo baca."
Lista menurut, membaca dengan perlahan, memahami sungguh - sungguh, dan berakhir dengan terbelalak. "Lo.."
"Yah, Lo baru saja berpacaran dengan CEO Hayman Company yang baru. Selamat buat gue." Ando menepuk tangan untuk dirinya sendiri sambil tersenyum getir. "Semua perusahaan yang dibangun papah mati - matian, sumber kehancuran keluarga, kini menjadi milik gue sepenuhnya di umur 24 Tahun. Untuk saat ini yang memegang kendali adalah Ibu Linda karna beliau adalah sekretaris yang paling dipercaya papah - selain mama, dan beliau jugalah yang akan mengajari gue tentang perusahaan. Lo tau, Neraka kecil ada dalam genggaman gue."
Lista menatap surat yang dianggap Ando sebagai kutukan kematian itu, lalu membaca ulang. "Tapi kenapa lo gak memegang perusahaan kak Rafa? Melainkan Lily Hayman? Bukannya lo bilang dia gak menikah saat meninggal?"
"Lily Hayman itu adalah anak kak Rafa dari mantan tunangannya, kak Sheila." Melihat wajah kebingungan serta Shock Lista. Dia menghela napas sambil menggenggam tangan kiri Lista, memohon kekuatan dari itu. "Saat itu kak Sheila selingkuh dengan sahabatnya kak Rafa dan hamil, namun kami tidak tahu anak siapa yang dikandung karena kak Rafa bilang mereka sudah melakukannya sejak lama, dan bilang tak masalah selama kak Sheila bersamanya. Namun tawaran itu ditolak kak Sheila karena merasa yakin bahwa itu adalah anaknya dengan sahabat kak Rafa dan memilih menikahi pria itu. Kak Rafa patah hati saat itu hingga berakhir bunuh diri."
Ia menutup mata saat kenangan terkelam dalam sejarah itu menabrak pertahanan dirinya dengan sangat kencang, membuatnya merasa agak pusing untuk sesaat. "Tak lama setelah kematian kak Rafa, kak Sheila datang membawa seoran bayi perempuan dalam pangkuan, berkata ingin menitipkan anaknya sama gue. Saat itu gue marah luar biasa untuk pertama kalinya, karena menemukan seseorang yang bisa gue salahkan atas semua bencana ini, mengatakan kenapa harus gue yang merawat, bukan suaminya. Dan pertanyaan itu langsung terjawab saat gue melihat Lily pertama kalinya. Lo tau apa?"
"Wajahnya mirip kak Rafa?"
Ando menggeleng. "Warna mata kak Sheila dan Rino itu cokelat kehitaman dengan kulit sawo matang. Sedangkan Lily memiliki sorot mata hitam kelam kayak gue, lesung pipi kak Rafa, disertai kulit seputih s**u dari Mama. Semua itu lebih dari cukup ntuk membuktikan semuanya. Umur gue saat itu 15 tahun, tapi cobaan hidup gue lebih seram dibanding anak seusia gue."
Lista memilih tak menjawab soal itu, dan mengelus pundak Ando sambil bersandar di lengannya. Berharap tingkah sekecil ini membuat gemuruh menyakitkan d**a Ando terasa ringan untuk sementara. "Sekarang kak Sheila masih ada, kan?"
"Meninggal karena Kanker p******a stadium akhir, 6 bulan setelah menitipkan Lily. Dia melakukan itu karena tak ada yang sudi merawat bayinya, sedangkan hidupnya saat itu tak lama lagi, makanya memilih gue untuk melakukannya. Saat itu gue berpikir, 'Luar biasa sekali orang dewasa itu, kalau ada yang salah dalam rencana tinggal main pergi tanpa perlu memikirkan apa - apa.'" Ia tersenyum getir sambil mengelus topi kupluk yang menutupi kepala Lista. "Tapi lo tahu? Lily itu penyelamat hidup sebenarnya, karena tanpa dia, mungkin gue sudah mencoba bunuh diri lagi. Dengan kehadiran dia, gue memiliki tanggung jawab untuk memberikan semua yang layak ia dapatkan."
*Ilustrasi Elista Pradipta.
Lista menghapus air mata yang menetes sebelum Ando melihatnya. Hatinya lebih dari perih membayangkan betapa berat hidup yang dilalui cowok ini sejak dalam kandungan. "Lo tau apa yang dikatakan kak Bian setiap gue merasa nothing?" Ia berdehem untuk menyamarkan sakit dalam suaranya. "'Semua orang memiliki sakit tak terkira dalam hidupnya, tapi hanya sedikit yang mampu berjuang dan mengobati luka tersebut. Gue harap lo mampu melakukan itu tanpa perlu menghancurkan diri sendiri. Hidup terlalu berarti untuk menyerah, seberat apapun yang lo alami.' Itu yang gue amini setiap merasa down atas kenangan yang ingin gue musnahkan kalau bisa."
Ando ingin bertanya, namun memilih menahan diri. Semua orang memiliki waktu tersendiri untuk membuka diri. "Terima kasih."
"Atas?"
Ando mencubit pipi Lista dan berlari ketika gadis itu mengejarnya, lalu terjatuh karena kehilangan keseimbangan dengan hamparan pasir lembut sebagai alas, tertawa keras sebelum akhirnya tertegun saat Lista ikut jatuh karena tak bisa mengerem gerakannya, dan menahan gadis itu tepat diatasnya. Sorot mata unik dengan kerlip coklat terang di balik iris hijau toska yang mengelilingi pada mata kanannya saat terpantul cahaya matahari, benar - benar membuatnya mati akal karena terpesona. "Lista..."
Ia mengerjap dan berusaha menjauh, namun Ando memilih memeluknya dengan kuat, namun anehnya ia tak ketakutan, apalagi kesakitan. "Gue butuh lo untuk menghadapi semua ini. So, please stay with me."
"Kenapa gue?"
"Mungkin, karena memang lo yang pantas di sisi gue untuk hal ini?"
***
'So, Please Stay with me.'
Sudah 3 hari setelah kejadian manis di pantai pribadi Ando, menghadirkan getar lembut yang mampu membuat wajahnya merona, detak jantung yang tak terkendali ketika cowok itu berada didekatnya, merasa tak mampu berbicara seperti biasanya - bahkan menghina Ando pun ia butuh berpikir ribuan kali.
Ini gila.
Lista bertopang dagu memperhatikan Ando yang kini menoleh ke belakang untuk berbicara dengan temannya, baru menyadari bahwa rambut sehitam kelam itu terlihat serasi dengan sorot mata tajamnya yang membius, sudah lupa bahwa suara serak dengan sedikit bass yang dulu membuatnya kesal, kini mendengarnya saja sudah membuat jantung jumpalitan tak keruan.
Dulunya ia tak begini.
Lista langsung berbalik saat Ando menyadari perhatiannya, berusaha memperhatikan penjelasan Wali Kelasnya tentang kehadiran murid baru dari sekolah lain di Jakarta, membuat beberapa teman sekelasnya, khususnya cowok mulai berisik saat yang dimaksud memasuki kelas. Berbeda dengan beberapa anak baru yang selalu malu - malu saat berkenalan didepan kelas, Cewek didepannya ini malah tersenyum penuh percaya diri disertai aura seksi yang membuatnya terlihat menggoda. Membangkitkan perasaan aneh yang mengusik saat menyadari bahwa cewek itu terang - terangan menatap Ando sedikit lebih lama, lalu berpaling kearahnya dengan tatapan menantang.
Kenapa ia merasa pernah bertemu dengan cewek ini?
"Perkenalkan, Nama saya Karenina Savanna. Salam kenal semuanya." Karen menikmati tatapan terpukau dan penuh kagum dari beberapa cowok sekelas barunya, serta iri di pihak cewek. Tak sia - sia membuat roknya menjadi tepat di atas rok untuk memamerkan sepasang kaki jenjang yang mulus bak porselen, keseksian Latin yang menurun dari keluarga Mama disertai serak dan aksen dalam beberapa kalimat, membuat siapapun takkan bisa berpaling darinya.
"Oke Karenina, kamu bisa duduk di kursi kosong yang ada disini." Tanpa perlu berpura - pura lugu seperti anak baru, ia langsung melangkah ringan ke arah cowok yang mencuri perhatiannya sejak tadi. Sorak disertai siul menggoda itu membuatnya tersenyum geli saat duduk di samping Ando. "Gak papa, kan disini? Sebagai teman sebangku lo yang baru?"
"Gak masalah."
Ia berinisiatif mengulurkan tangan sambil tersenyum karena menemukan lawan yang sepadan. "Karenina Savanna, tapi lebih suka dipanggil Karen."
"Ando."
"Well," Ia sengaja meremas sedikit genggaman tangan hangat itu dengan senyum lebar, serta suara yang dipelankan hingga terdengar serak menggoda. "Gue senang berkenalan dengan lo, Ando."
Ando hanya tersenyum sambil melepas genggaman tangan yang dirasa mengetat, kemudian menatap Lista karna merasa diperhatikan, bingung melanda saat cewek itu kini melotot kearahnya dengan pulpen hitam malang yang diremas habis - habisan. Ia mengangkat bahu dan alisnya sebagai isyarat bertanya, namun yang diterima hanyalah sorot mata kesal sambil berpaling.
Dia salah apa?
.