Bab 9. Liur Bapak Tidak Berharga

1017 Kata
Suara pukulan yang keras terdengar, sementara Kahfi terburu menjauh dengan tangan mengusap punggung. Raut wajah Kahfi benar-benar menunjukkan sedang kesakitan. Atami sendiri sibuk membenarkan pakaiannya. Mata Kahfi menatap kesal sekaligus tak percaya pada Atami. "Sudah jadi istri pun, kamu masih memukul?" Dagu Atami menunjuk pintu. "Ibu Intan sedang menunggu." Kahfi memandang Atami dengan serius. Istri bukan hanya kabur dari kamar melalui balkon, tapi nampak mencari jalan untuk sampai ke ruangan lain. "Memangnya dia monyet? Bisa tiba di ruangan lain dengan melewati balkon?" Lantas, Kahfi keluar dari kamar dengan raut tidak senang. Karena Intan malah datang saat dia menggoda Atami. Kahfi sempat mengusap bibir, supaya tidak kelihatan habis mencicipi Atami. "Mas Kahfi," sebut Intan begitu melihat suami. Wajah Kahfi benar-benar terlihat terganggu oleh kedatangan Intan, wanita tersebut pun menyadari. Namun, Intan memilih bersikap tidak tahu malu dan mendekati suami. "Apa kamu nyaman tinggal di rumah baru?" Kahfi menuruni anak tangga, membuat Intan mengikuti. "Menurutmu? Lebih nyaman mana, rumah ini atau rumah yang kamu huni?" tanya Kahfi. Intan mengulas senyum. "Rumah yang aku huni." Mendengar jawaban dari Intan, bibir Kahfi langsung menyeringai. Sejak kapan dia merasa nyaman tinggal satu atap dengan Intan. "Bisakah aku menginap di rumah ini?" Kahfi telah menyelesaikan anak tangga, dia memandang pada Intan sejenak. Kemudian, mata melirik ke arah lain. Tak muncul juga batang hidung Atami, itu menandakan istri kedua terjebak di balkon kamar. "Untuk alasan apa? Aku mengizinkan kamu menginap." Intan tersenyum. "Aku tidak tega membiarkan Atami sendirian sama kamu, Mas." Kahfi menyilangkan tangan. "Di matamu aku ini binatang buas? Sampai kamu lebih mencemaskan Atami." Padahal, Kahfi cemas dengan diri sendiri yang satu atap bersama Atami. Takut tubuh habis karena kena pukul. Istri pertama Kahfi ini kembali mengulas senyum. "Kalian ini kan atasan dan sekretaris yang tiba-tiba jadi pasangan. Pasti akan canggung jika berdua saja." Kahfi menyeringai. "Bilang saja kalau kamu ingin memastikan, aku menyentuhnya atau tidak." Mendengar hal itu, Intan langsung mengepalkan tangan dengan kesal. Namun, menahan ekspresi untuk tidak menunjukkan rasa kesal itu. "Kamu saja tidak menyentuhku waktu itu, masa hari ini kamu mau langsung melakukannya dengan Atami." Akhirnya Kahfi mendengar ucapan Intan yang merasa iri. Biasanya wanita tersebut begitu pandai menyimpan emosi. "Yah, memangnya kamu bisa disentuh?" Intan langsung mengepalkan tangan lagi, membuat mata Kahfi melirik. Pernah sekali, Kahfi yang seorang lelaki tergoda untuk ini itu dengan istri, sekali pun tidak ada cinta. Namun, Intan terkena serangan jantung secara tiba-tiba karena hampir disentuh berlebih oleh Kahfi. "Aku ini seorang pria, Intan. Mana tahan melihat tubuh wanita yang berstatus istri." Kemudian Kahfi mendekat dan berbisik pada Intan, "terlebih Atami adalah wanita yang harus aku hamili. Apakah Atami bisa hamil tanpa aku dekati?" Begitu Kahfi menjauh, mata Intan terlihat berkaca-kaca. "Tidakkah ini tidak tepat? Kalau ingin hamil, harus disentuh saat masa subur saja." Kahfi memandang Intan serius. Jelas kecemburuan begitu kentara di raut wajah istri pertama. Namun, Kahfi bukanlah pria yang akan menyentuh saat istri subur saja. "Sayangnya, aku ingin tiap hari menyentuh Atami," bisik Kahfi membuat Intan menatap sangat tajam. *** "Mau jadi penghuni balkon?" Atami yang hanya duduk di kursi balkon, langsung melirik pada Kahfi yang membuka pintu. "Malah kamu ingin jadi gosip tetangga karena dikira mau bunuh diri?" celetuk Kahfi. Atami menarik napas, ia tak menjawab pertanyaan dari suaminya. Mata malah memandang ke dalam kamar. "Bu Intan ke mana?" "Dia sudah pergi." "Kenapa Anda biarkan beliau pergi?" Dahi Kahfi jelas mengerut. "Kamu kelihatan tidak suka dia pergi. Kamu ingin Intan menginap di sini, begitu?" Bibir Atami memilih membisu. Kemudian, dirinya melewati Kahfi begitu saja. Kahfi tentunya tahu apa yang dipikirkan oleh Atami. Jika Intan sampai menginap, maka kesempatan Atami untuk menghindari malam pertama sangat besar. "Aku akan tidur di kamar tamu," ujar Kahfi memberi tahu. Tubuh Atami langsung berbalik dengan raut wajah antusias. Bahkan bibir sudah tersenyum begitu akan mendapatkan kamar lebar ini sendirian. Kahfi menyeringai, istri kedua benar-benar mengharapkan lolos dari tanggung jawab di malam pertama. "Ayo turun dan kita makan malam!" "Baik, Pak!" Kahfi dan Atami terlihat keluar kamar bersama, pembantu yang menyaksikannya sembari menata makanan di atas meja sampai tersenyum. Tidak pernah mata mendapati Kahfi begitu santai di sekitar wanita. Bahkan rela mengikuti dari belakang. "Kami belum tahu makanan kesukaan Ibu Atami apa, jadi kami hanya memasak seadanya," ujar pembantu terdengar ramah. Namun, mata Atami menatap hidangan dengan tertarik. "Tidak masalah, saya bisa memakan apa saja." Mulanya pembantu saling lirik karena Atami yang malah bicara sopan. Namun, melihat Kahfi yang menatap tajam, membuat mereka berdua memilih meninggalkan ruang makan. Kahfi duduk di kursi dengan mata memandang Atami yang sibuk menyiapkan makanan untuk diri sendiri. "Istri macam apa kamu, Atami." Mendengarnya, Atami langsung menatap. "Ya? Bagaimana, Pak?" Dagu Kahfi menunjuk piring di hadapan Atami yang sudah berisi nasi serta lauk. "Kamu sebut dirimu istri? Mengabaikan suami yang sedang kelaparan juga," sindir Kahfi. "Bukankah Bapak punya tangan sendiri?" Kahfi tersenyum sinis. "Aku menikahi kamu bukan hanya untuk keturunan, Atami. Kamu adalah seorang istri, perlu aku panggilkan guru privat untuk mengajarimu?" Atami langsung bergerak, ketimbang kena omel lagi dari Kahfi. Ia mengambilkan menu yang Kahfi biasa makan. Mata Kahfi sendiri menatap makanan dengan serius. Lantas, mata melirik pada Atami yang rupanya tahu selera Kahfi. Begitu Atami keluar dari kursi dan mendekat untuk menyajikan makanan. Kahfi langsung menarik tangan Atami. "Pak, lepaskan! Saya juga harus makan." Tatapan Kahfi begitu serius. "Suapi aku." Atami menunjukkan ekspresi kesal. Memangnya suaminya ini anak kecil? Sampai minta disuapi segala. Kahfi langsung mengambil alih piring dari tangan Atami, kemudian memaksa istri untuk duduk di pangkuan Kahfi. "Pak! Ini ruang makan." Jemari Kahfi mengusap wajahnya, terburu Atami menghindar. "Jangan sok jual mahal sama suami sendiri." "Saya harus makan." Kahfi meraih sendok dan mengambil makanan. "Baiklah, aku akan menyuapi kamu." "Saya bukan anak ...." Atami dibuat tercengang oleh Kahfi yang memasukkan makanan ke mulut sendiri. Kemudian, Kahfi mendekat pada wajahnya. "Buka mulutmu, biarkan aku menyuapi kamu." Atami menarik napas sedikit kesal. "Saya makan nasi, bukan air liur Bapak." Kahfi tersenyum. "Aku hanya belum biarkan kamu bertukar ludah denganku. Setelah bertukar, aku jamin kamu ketagihan." Atami tersenyum sinis. "Kalau liur Bapak seperti burung walet, saya akan senang hati memakannya." "Namun, liur Bapak selain memiliki banyak kuman, juga tidaklah berharga."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN