Bab 8. Menanti Malam Pertama

1097 Kata
Mendengar permintaan Atami untuk kedua kalinya. Kiana mendadak jadi curiga, hingga mata menyipit. "Apa dia pria yang masih memiliki istri?" Pandangan Atami dengan Kiana saling bertemu. Rasanya sulit sekali untuk berbohong pada ibunya. "Katakan pada ibu, Atami!" Perlahan mata Atami menghindar. "Memang apa peduli Ibu jika dia pria yang beristri?" Kiana memandang emosi ke arah Atami. Meski tangan ingin menampar atas kelancangan sang anak. Namun, Kiana sendiri menyadari hingga tetap duduk dengan menarik napas panjang. "Memang, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya." Mendengar ucapan dari ibunya. Atami langsung menatap dengan ekspresi marah. "Di sini aku tidak merebut siapa pun, istrinya yang menyuruhku untuk menikah." Kiana mengetuk permukaan meja. "Tidak ada wanita yang mau dimadu, Atami. Kamu jangan bodoh! Bisa saja kamu hanya dimanfaatkan." Pandangan Atami benar-benar kesal tertuju pada ibunya. Dirinya menyadari, tidak ada perbedaan antara ibu dengannya. Begitu melahirkan anak, Atami akan meninggalkannya lalu mencari lelaki lain. "Kenapa menatap ibu begitu? Tidak terima dinasihati?" Atami langsung menurunkan pandangan. "Pokoknya, datanglah besok dan rahasiakan pernikahan ini." Setelah mengatakan tujuannya, Atami mengambil tas dan meletakkan uang di atas meja. "Pesanlah makanan!" Kiana menarik napas lebih panjang saat melihat kepergian Atami. Wanita tersebut hanya diam menatap beberapa lembar uang di atas meja. "Apa yang sebenarnya ditawarkan istri pertama calon suaminya? Sampai Atami yang keras kepala malah tunduk di bawah perintah seseorang." *** Pada hari pernikahan. Kiana nampak tak senang, melihat Atami yang tidak dirias sama sekali. Bahkan tidak diberikan acara resepsi padahal Atami bukanlah janda. Tangan Kiana tiba-tiba disentuh oleh Maria, membuat kepala Kiana menoleh dengan sorot mata menatap kesal. "Kamu berani sekali menikahkan anakku dengan Kahfi yang sudah beristri," omel Kiana dengan suara pelan. Maria tersenyum. "Memangnya Atami tidak cerita apa pun padamu, Mba?" Kemudian tatapan Maria menjadi serius. "Makanya, Mba. Jadi ibu itu yang baik sama anak, sekarang anak sendiri menganggap Mba orang lain." Diam-diam mata Atami melirik ke arah ibunya dan Maria yang tengah berbincang. Mungkin orang lain melihat mereka yang saling tersenyum, namun Atami tahu betul kalau pembicaraan mereka cukup serius. "Sekarang Atami di tanganku, Mba. Aku akan membuatnya tahu rasanya jadi menantu yang disia-siakan oleh mertuanya," bisik Maria masih dibalut senyum kepalsuan. Mendengar ucapan dari Maria, Kiana langsung menyeringai. Kemudian menepuk tangan Maria dengan lembut. "Coba saja, itupun kalau kamu mampu." Kiana menatap pada Maria yang merasa tertantang. Dulunya Maria adalah istri dari adik Kiana, setelah merasa disiakan oleh mertua memilih bercerai dan menikah lagi dengan ayah Kahfi. Mata Kiana saling pandangan dengan Atami. Wanita tersebut merasa sangat yakin, kalau Atami mampu bertahan menghadapi mertua seperti Maria. "Berhenti melihat ibumu, lebih baik melihat suami," ujar Kahfi membuat Atami melirik. Benar, mereka berdua telah resmi menjadi suami istri setelah melewati proses pernikahan sederhana. Mata Kahfi memandang antusias pada Atami. Dia merasa telah berhak atasnya, termasuk tubuh Atami juga. Perlahan Kahfi mendekat dan berbisik di telinganya. "Aku menantikan malam pertama kita." Mendengarnya, Atami langsung tersenyum. Kemudian ia melengos dan menunjukkan raut tidak senang. Kahfi malah semakin memperhatikan ekspresi dari Atami yang dinilai lebih berani ketimbang biasanya. Sementara Intan sedang berusaha mengendalikan diri, supaya jantung tidak kambuh. Karena melihat keakraban dari Atami dengan Kahfi. *** "Ini pembantu yang akan bekerja di rumah." Atami tidak menatap pada dua pembantu yang menyambut di depan rumah. Melainkan tangan Kahfi yang sedang memeluk pinggangnya. Jika saja tidak ada orang lain, sudah pasti Atami akan menyingkirkan tangan Kahfi darinya. Kahfi yang melihat dirinya yang tidak nyaman, malah mencuri kecupan di pipi tentunya membuat Atami langsung melotot. "Bisakah kita langsung masuk?" tanya Atami sembari mendorong tubuh Kahfi untuk menjauh. Kahfi menyeringai karena Atami berhasil memasuki rumah lebih dulu. Dia memutuskan untuk berjalan santai di belakang Atami. Sudah jadi istri, dipaksa sedikit juga tidak akan ada yang melarang. "Biarkan saya perlihatkan beberapa ruangan di rumah, Bu," ujar salah satu pembantu. Atami menoleh dan tersenyum. "Boleh." Atami tidak boleh bersikap sok jadi nyonya rumah. Mengingat dirinya hanya istri kedua yang tidak punya kuasa secuil pun. Apalagi di mata umum, Atami cuma sekretaris bagi Kahfi. "Ini ruang kerja Pak Kahfi, lalu ini kamar tidur utama." Atami menatap ruangan di depan matanya yang pintunya terbuka. Ruangannya begitu luas dan hanya dihuni satu kasur. "Lalu ada berapa kamar tamu di rumah?" tanya Atami dengan cukup antusias. Salah satunya pasti miliknya. Pembantu tersenyum. "Ada 3 kamar tamu, Bu. Tapi, akan dirapikan kalau ada tamu yang menginap." Atami mengerutkan dahi. "Jadi, belum ada kamar tamu yang dirapikan?" "Benar, Bu." Saat Atami ingin meminta bantuan mereka untuk menyiapkan satu kamar tamu, supaya dirinya bisa tidur. Kahfi yang sudah berhasil menyusul langsung memeluk pinggangnya, kemudian mendorongnya untuk masuk ke kamar utama. "Kalian kembalilah bekerja!" "Baik, Pak Kahfi." "Eh, tunggu sebentar!" Kahfi sudah menutup pintu kamar dan berhasil menyudutkan Atami di sana. Atami menatap kedua tangan Kahfi yang mengurungnya. "Pak." "Aku bukan hanya atasan kamu, Atami." Atami sedikit tidak nyaman saat Kahfi mendekatkan wajah. Atami langsung menghindar begitu Kahfi ingin mencium pipinya. "Tidak boleh?" tanya Kahfi. Tangan Atami langsung mendorong pundak suaminya. "Pak, ini masih sore." Jemari Kahfi meraih pinggangnya, membuat jarak di antara mereka berdua semakin dekat. "Hal itu tidak harus menunggu malam, Atami." Atami berusaha menghindar, namun Kahfi sedikit mengerahkan tenaga hingga berhasil mencium pipinya. "Kalau suami ingin, sebagai istri kamu harus layani." "Ya saya tahu, tapi ini masih sore. Saya bahkan belum mandi." Kahfi menyeringai, istri kedua ini bisa saja menciptakan alasan. Kahfi mengecup pelan bibir Atami. "Tenang saja, aku bisa memandikan kamu, Atami," bisik Kahfi. Mata Atami melotot kaget saat tangannya ditarik oleh Kahfi. Tubuhnya direbahkan di atas ranjang dengan Kahfi yang merambat padanya. "Pak Kahfi!" Kahfi langsung menangkap tangannya. "Atami jangan berisik, aku tidak sedang menyakiti kamu. Aku hanya ...." Bibir Kahfi menyapu permukaan pipinya. "Aku cuma ingin beri kamu kenikmatan saja." Atami mulai berontak saat kecupan Kahfi turun di lehernya. Kahfi yang merasa sedikit sulit berkonsentrasi langsung mencekal kedua tangan Atami. "Pak--" Atami tidak bisa protes lagi saat bibirnya mulai dicium antusias oleh Kahfi. Meski tahu peluang untuk lolos sedikit, tapi Atami berusaha terus memberontak sampai Kahfi marah dan melepaskannya. "Pak Kahfi sedang mandi, Bu Intan." "Lalu di mana Atami?" Atami semakin panik saat mendengar percakapan di luar. Terlebih suara dari Intan yang sangat dirinya kenal. Mata Kahfi sempat meliriknya, namun tak melepaskannya sama sekali. "Ada Bu Intan, Pak," bisiknya saat Kahfi sedikit menjauh untuk melepas kancing bajunya. "Lepaskan tanganmu, Atami!" Sorot mata Kahfi terlihat tajam. Tangannya benar-benar mencengkram Kahfi supaya berhenti melepas kancing bajunya. "Mari kita berhenti, ya!" pintanya dengan tatapan memohon. "Bagaimana kalau Ibu Intan sampai melihat?" Kahfi mengusap rambutnya. "Tidak apa, aku tidak sedang berselingkuh denganmu, Atami." Kahfi yang terlanjur tergoda, kembali menghujani bibir Atami dengan kecupan. Membiarkan Atami terus memberontak dengan raut panik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN