Bab 7. Pernikahan Rahasia

1032 Kata
Rian tersenyum dengan kepala mengangguk terpaksa. "Baik, Pak Kahfi. Saya akan mencari tahu soal Atami." "Hm." "Kalau begitu saya permisi." Usai pamit dari Kahfi, Rian langsung terburu keluar dari ruangan. Namun, mata yang tidak bisa menemukan keberadaan Atami di kubik kerja, membuat Rian mulai mencari. "Pak Rian," sapa salah satu karyawan. "Apa kamu lihat sekretaris Atami?" Tangan karyawan ini langsung bergerak. "Ibu Atami pergi ke cafe untuk membeli minuman." Rian tersenyum. "Kalau begitu terima kasih." Karyawan tersebut langsung tersenyum lebih lebar, merasa terpesona apalagi cara jalan Rian yang sangat cepat. Rian benar-benar mencari Atami di cafe yang berada di sebelah kantor. Mata pria tersebut menemukan Atami sedang memesan kopi bersama sekretaris lainnya. "Sekretaris Atami," sapa Rian setelah mendekat dan berdiri di sekitar Atami. Bukan hanya Atami yang menoleh, tapi beberapa sekretaris juga melakukannya. "Asisten Rian." Rian nampak tak peduli dengan sapaan dari sekretaris lain. Pria tersebut hanya memandang pada Atami yang dibalut pakaian bermerk. Pagi tadi Rian tidak menyadari, sampai saat ini melihat Atami dengan lebih jelas. "Pak Kahfi mencari Anda," ujar Rian terpaksa berbohong. Namun, Atami menatap Rian serius. Kahfi yang menyuruhnya membeli kopi di cafe, kemudian beberapa sekretaris ikut. Atami mulai tersenyum. "Justru keberadaan saya di sini karena pak Kahfi." Rian melirik pesanan yang sedang dibuat. "Masih berapa lama?" Atami yakin, kalau Kahfi tidak benar-benar mencari dirinya. Tapi, Rian sendiri yang ingin bicara dengannya. "Kalau pak Kahfi mencari, ambillah pesanan milikku," ujar salah satu sekretaris membuat Atami ingin menghela napas. Rian langsung mengambil alih minuman dari tangan sekretaris lain. Kemudian memintanya untuk berjalan dengan tangan. "Mari, Sekretaris Atami." Selama melangkah, Atami menunjukkan sorot mata yang kesal ke arah Rian. Begitu mereka berdua menjauh dari cafe, Rian langsung menariknya untuk pergi ke sisi kanan kantor. "Lepas!" pinta Atami dengan memberontak. Perlahan Rian melepaskan dirinya. "Katakan padaku, kemarin menginap di mana?" Atami memilih melirik ke arah lain. Rian benar-benar tidak sabar dengan Atami yang membisu. "Apa pakaian mahal ini dibelikan oleh pak Kahfi?" duga Rian pada akhirnya. "Bukan tuh." Rian menarik napas. "Jangan bermain dengan pria, Atami. Apalagi pria yang kaya, ketika kamu sudah tidak dibutuhkan mereka akan membuangmu." Mata Atami mulai menatap pada Rian. "Lantas, apakah aku lebih baik bermain denganmu, begitu?" Rian tak menyahut pertanyaan darinya. Tentunya Atami tahu jelas kalau saudara tirinya ini menyukai dirinya. Memang hubungan mereka tidaklah terlarang, mengingat orang tua mereka berdua yang berbeda. "Aku harus kembali, sebelum pak Kahfi mencari." Rian menatapnya yang mulai berjalan pergi. "Pak Kahfi memintaku mencari tahu soal keluarga kamu." Atami tak meladeni, dirinya terus saja melangkah membuat Rian mendengkus kesal. Kemudian pria tersebut meninju pelan permukaan pohon yang ditanam di sekitar kantor. "Sial! Jangan sampai pak Kahfi juga tertarik pada Atami." *** "Ini rumah yang kelak akan kamu huni bersama Kahfi." Atami menatap rumah minimalis, namun memiliki dua lantai. Dirinya tidak menyangka kalau Kahfi mendengar permintaannya yang ingin pisah rumah. Kemudian matanya menatap pada Maria yang menemaninya melihat rumah. "Tapi, Atami." "Sedekat apa pun kamu dengan Intan, jangan pernah beri tahu alamat rumah ini pada Intan." Mendengar ucapan dari Maria, tentu saja Atami langsung mengerutkan dahi. "Memangnya kenapa, Bu?" "Jika tahu, dia akan ganggu suasana kamu sama Kahfi. Aku tahu betul bagaimana sifatnya itu." Atami tersenyum. "Menurutku bu Intan tidak seburuk itu, Bu." Ibu Kahfi langsung mendengkus. "Dia adalah wanita yang sangat licik. Kamu belum tahu saja dia seperti apa." Atami kembali menatap hunian yang memberinya rasa aman. Tidak akan ada sosok ayah tiri yang memasuki kamarnya diam-diam untuk berbuat hal tak senonoh. Sekali pun benci pada Rian, namun berkat pria itu. Tubuh Atami masih terjaga, tidak sampai tersentuh oleh ayah tiri. "Aku sudah memberi tahu pamanmu untuk datang besok saat pernikahan." "Begitu," sahutnya singkat. Hubungan Atami dengan keluarga juga tidak begitu baik. "Sudah kamu beri tahu mba Kiana?" Atami langsung diam begitu Maria menyebut ibu kandungnya. Perlukah Atami beri tahu sosok yang tidak tegas serta tak mampu melindungi anak sendiri. Maria menarik napas. "Meski ini pernikahan rahasia, tapi beri tahu mba Kiana, Atami. Dia tetaplah ibu kandungmu." Atami menatap ibu Kahfi cukup serius. "Bisakah pernikahan ini tetap dirahasiakan? Maksud saya dari semua orang, termasuk keluarga saya, Bu Maria." Mendengar ucapannya, Maria nampak tak setuju. "Ini pernikahan, Atami. Kalau kamu hamil dan melahirkan, apa yang akan ibumu katakan nantinya?" Pandangan Atami tertunduk. "Ibuku juga pasti tidak akan peduli." Maria langsung menarik napas. "Aku tidak mau tahu, beri tahu ibumu." Atas saran dari Maria, pada malam harinya. Atami duduk di sebuah cafe dengan pandangan saling bertemu ibu kandungnya. Kiana nampak berjalan terburu tanpa langsung menghuni kursi di depannya. "Kemarin tidur di mana? Bahkan kakakmu saja tidak tahu kamu di mana." Atami menunjuk kursi. "Duduklah dulu." Dirinya benar-benar malas mendengar kata kakak keluar dari mulut ibunya. Hubungannya dengan Rian hanyalah rekan bisnis yang sama-sama bekerja di satu naungan perusahaan. "Ibu kali ini akan membela kamu, Atami. Ibu juga janji akan menegur ayahmu, jadi tolong pulanglah dan jangan menginap di rumah teman--" "Aku akan menikah," potong Atami. Raut wajah Kiana berubah terkejut. "Apa? Kamu bilang apa barusan?" Atami menatap ibunya dengan santai. "Besok aku menikah, aku akan berikan alamatnya jadi tolong datanglah. Tapi, jangan beri tahu siapa pun soal ini." Ibunya mulai duduk di kursi dengan mata langsung tertuju pada perutnya. "Apa dia ayah dari anak yang kamu kandung?" Mendengarnya Atami menarik napas. "Aku tidak hamil." "Lantas, kenapa menikah begitu cepat?" Mata Atami tatap ibunya lama, tanpa menyahut atau memberi penjelasan. Sekali pun usaha suami baru ibunya berkembang pesat, namun tak pernah membantu biaya rumah sakit ayahnya. Meski mulut Atami begitu ingin jujur dan menyindir, setelah melihat wajah ibunya langsung Atami tidak tega. "Kami saling mencintai," hanya ini yang bisa Atami berikan sebagai jawaban. Kiana menatap jauh lebih serius. "Jangan berbohong pada ibu. Kamu tidak pernah menyukai siapa pun akhir-akhir ini, Atami." "Masalah cinta tidak ada yang tahu, Bu. Buktinya Ibu menikah saat ayah koma. Ibu menceraikan ayah secara sepihak." Pada akhirnya Atami menunjukkan keluh kesahnya. Kiana tentu saja terlihat murung begitu disindir olehnya. Alasan hubungan mereka berdua tidak begitu akur, tentu saja karena ibunya yang memilih pria lain ketimbang menunggu ayahnya sadar. "Jadi, besok kamu menikah? Ibu akan datang," ujar Kiana masih murung. "Sekali lagi, tolong rahasiakan pernikahan ini dari yang lain. Aku hanya beri tahu pada Ibu, karena Ibu keluargaku satu-satunya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN