Bab 6. Ingin Melihatmu Ganti Pakaian

1016 Kata
Kahfi diam sejenak, dia menatapi angka lift yang terus saja naik. "Kenapa ingin tinggal terpisah?" Kahfi betul-betul penasaran. Apa yang membuat Atami berpikiran untuk memiliki rumah terpisah. Lantas, Kahfi sepenuhnya mengalihkan pandangan pada Atami. "Apa kamu berharap kita akan memiliki rumah tangga yang bahagia?" Mata Atami membalas tatapan Kahfi. Tanpa penuh keraguan, dirinya langsung menggelengkan kepala. "Saya tidak pernah bisa bahagia." Dahi Kahfi mengerut. Belum sempat pertanyaan dilontarkan oleh Kahfi, pintu lift terbuka membuat Atami terburu keluar sekali pun tidak tahu jalan. Kahfi terpaksa mengikuti Atami, membiarkan sekretaris memimpin jalan. Lantas, dia mengetuk salah satu pintu kamar hotel. Atami menghentikan langkah dan berbalik. "Ini kamarnya," Kahfi memberi tahu. Atami mulai mendekat dan berdiri di sisi Kahfi yang menengadahkan tangan. Mata Atami sempat melirik kamera pengawas di sekitar, membuat Kahfi menatap apa yang Atami lihat. "Aku tidak akan macam-macam padamu." Tangannya langsung memberikan kartu akses, tanpa menyahut pertanyaan dari Kahfi. Sementara dia menatap penuh penasaran pada Atami yang terlihat berbeda malam ini. "Kamu sungguh tidak ada masalah?" "Tolong segera buka pintunya!" pinta Atami. Kahfi tidak bertanya lagi, dia langsung menempelkan kartu akses dan pintu kamar terbuka. "Bapak sungguh hanya memiliki satu kartu akses, kan?" tanya Atami memastikan. "Ya." Atami menerima kartu akses dari tangan Kahfi, kemudian mulai memasuki kamar hotel. "Tidurlah!" Kepala Atami hanya mengangguk, kemudian menutup pintu kamar. Dahi Kahfi benar-benar mengerut, dia tidak mengerti dengan Atami hari ini. "Sepertinya dia benar-benar ada masalah, semisal didepak dari kontrakan." Meski penasaran dengan masalah Atami, Kahfi tetap berjalan pergi menuju lounge bar hotel. Padahal Kahfi terlihat biasa saja, tidak begitu peduli pada Atami. Tapi, di hadapan segelas alkohol, dia malah hanya sibuk memutari permukaan gelas dengan jemari. Malam itu, Kahfi sama sekali tidak meneguk satu tetes alkohol pun. Kahfi yang berulang kali menggoyangkan permukaan gelas, langsung ditatap oleh Yuda. "Tidak minum, Fi?" Kepala Kahfi menoleh. Malam tersebut, mereka telah memutuskan untuk menginap di hotel dan mengabaikan istri masing-masing. "Kamu seriusan mau menikahi Atami, Fi?" tanya salah satu teman. "Ya, dia wanita yang sehat. Tentu saja harus aku nikahi untuk meneruskan keturunan," sahut Kahfi. Yuda menatap pada Kahfi, pria tersebut berteman lama dengan Kahfi. Yuda kenal betul, kalau sang teman tidak akan menikah karena alasan seperti itu. "Antara balas dendam atau tertarik, kamu menikahi Atami karena salah satu alasan itu," duga Yuda. Kahfi langsung menyeringai. "Tentu saja balas dendam. Dia sudah menghinaku, pria yang diinginkan seluruh wanita di kota ini." Mendapat provokasi dari Yuda, Kahfi yang semula ragu untuk minum. Detik tersebut langsung meneguk habis alkohol di dalam gelas. Mata Yuda masih menatap menelisik pada Kahfi. "Seorang wanita, keluar rumah dan berkeliaran pada malam hari. Bisa karena apa?" tanya Kahfi. "Bukankah untuk bekerja? Kamu tahu wanita malam, kan," sahut teman tongkrongan sembari tertawa. "Tentu saja ada masalah." Kahfi pun lebih tertarik pada pendapat kedua. "Bisa karena masalah apa?" "Bertengkar dengan suami." "Dia tidak punya suami," sahut Kahfi. "Pacar." "Pacar juga tidak punya," sahut Kahfi lebih cepat. Tentu saja mata seluruh teman langsung menyipit. Kahfi memilih menghilangkan ekspresi penasaran, kemudian mengisi tenggorokan dengan segelas alkohol lagi. "Ini sih Atami yang kamu bicarakan." "Aku tidak bilang kalau dia Atami!" sangkal Kahfi. *** Kahfi yang didesak pada akhirnya semalam bercerita, teman tongkrongan menyebut Atami bertengkar dengan keluarga. Pagi tersebut, dia memutuskan untuk mengetuk pintu kamar hotel. Begitu terbuka, Kahfi melihat Atami masih memakai pakaian tidur dengan mulut berbicara di telepon. "Ya, saya memesan baju untuk bekerja. Apakah bisa diantarkan dalam waktu cepat?" Kemudian Atami menatap Kahfi. "Apa semalam Bapak tidak pulang?" Kahfi tak menyahut, dia juga tidak ada niat untuk memberi tahu Atami kebiasaannya. Kahfi hanya menyerahkan bag ke arahnya. Atami yang semula berpikir bag berisi sarapan, begitu melihat merk yang tercetak pada permukaan bag langsung menunjukkan raut heran. "Bapak ingin saya berikan pada ibu Intan?" Kahfi menghela napas kesal. "Ini untukmu, dasar bodoh!" "Saya sudah punya--" Kahfi merampas ponselnya. "Batalkan pembelian!" "Pak!" Kahfi menatap pada Atami yang menunjukkan raut tidak senang. "Jangan banyak omong, segera ganti pakaian dan kita ke kantor." Atami melotot kaget dengan Kahfi yang menggiring tubuhnya untuk masuk ke dalam kamar. Tapi, lebih mengejutkan lagi saat Kahfi ikut masuk. "Bapak kenapa masuk juga?" "Aku ingin melihatmu ganti baju," sahut Kahfi dengan senyum nakal. Tangan Atami yang ingin meraih benda di sekitar, membuat Kahfi kesal dan langsung mencekal lengan calon istri. "Aku hanya bercanda, aku masih punya batasan. Jadi, cepat ganti bajumu!" Atami memastikan Kahfi duduk di sofa dahulu, barulah dirinya mengambil bag dari tangan Kahfi. "Bapak tidak akan menerobos masuk, kan?" "Ya. Kecuali kamu tidak kunci kamar mandinya, mungkin aku akan mengintip sedikit." Mendengar hal itu, Atami terburu memasuki kamar mandi dan Kahfi bisa mendengar suara pintu yang dikunci. Kahfi duduk dengan raut termenung. Teringat dengan beragam pendapat dari teman tongkrongan. Bahwa Atami bisa saja hampir dilecehkan hingga bersikap waspada. "Kewaspadaan yang begitu terlihat, pasti bukan karena sekali dua kali," gumam Kahfi nampak mulai mengerti. Kahfi benar-benar berangkat ke kantor bersama dengan Atami. Ya, sekali pun Atami ngotot minta diturunkan di tengah jalan. Alasannya sederhana, takut dilihat karyawan lain. Namun, entah mengapa Kahfi rasanya tidak suka saja. Bahkan wajah Kahfi yang marah terbawa sampai ruang kerja. Kahfi melempar tas kerja di atas sofa, lantas mengendurkan dasi dengan kasar. "Lihat saja nanti. Saat jadi istri, apa dia masih bisa menolak aku. Apalagi saat aku memberinya kenikmatan di atas ranjang." Pintu ruang kerja Kahfi diketuk, membuat Kahfi sedikit mengendalikan emosi. Mata menatap pada Rian yang masuk sembari membawa tumpukan berkas. "Berkasnya saya letakan di sini, kalau begitu saya permisi, Pak." Rian nampak sangat ingin pergi, karena harus bertanya di mana Atami tidur semalam. Karena Rian tahu betul, Atami memiliki sedikit teman. "Rian tunggu sebentar." "Ya, Pak." Kahfi tatap Rian dengan serius. "Ada yang ingin aku tanyakan." "Silakan, Pak." Kahfi belum duduk di kursi kerja, dia berdiri di sebelah meja dengan jemari mengetuk permukaannya. Kahfi yang nampak meragu benar-benar ditatap serius oleh Rian. "Cari tahu di mana Atami tinggal, lalu dia tinggal dengan siapa saja dan bagaimana keluarganya." Rian menatap Kahfi lebih serius, namun bibir berusaha tersenyum. "Biasanya Bapak tidak peduli dengan sekretaris Atami." "Aku hanya ingin tahu bagaimana keluarganya, tolong cari tahu untukku!" pinta Kahfi membuat tangan Rian mengepal diam-diam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN