Bab 5. Mungkin Dia Pilihan Terbaik

1003 Kata
Atami terlihat merebahkan diri di atas ranjang. Tangannya meletakkan ponsel dan mulai memejamkan mata. Namun, pintu kamar Atami dibuka dengan perlahan. Sosok itu berjalan mendekat amat pelan. Kasur terasa bergerak dan tangan nakal meraba bra. Untungnya Atami belum sepenuhnya tertidur. Mata langsung terbuka dan tubuh bangun dengan tangan menepis kasar. "Apa yang kamu lakukan!" "Hst! Jangan berisik Atami. Ayah hanya ingin memastikan kamu sudah tidur belum." Mata Atami langsung menatap tajam dan benci. Pria yang menikahi ibunya sepuluh tahun lalu, kerap mendatangi kamarnya. "Kamu meraba tubuhku!" Atami pikir, pria ini sempat berhenti ketika Atami memasuki perkuliahan. Namun, sekarang menjadi berani lagi. Ayah tiri Atami menjadi panik dan ingin membungkam mulutnya, Atami terburu turun dari ranjang. "Keluar!" serunya dengan tangan menunjuk pintu. "Atami dengar, jangan salah paham. Ayah benar-benar--" "Keluar atau aku akan berteriak kencang? Membiarkan seluruh tetangga tahu supaya kamu dipukuli!" Suara Atami yang lantang, berhasil menyita perhatian orang rumah. Ibunya, serta dua saudara tirinya yang mulai memasuki kamar. "Ada apa, Atami?" tanya ibunya segera mendekat. Mata Atami sudah ingin menangis. Sosok wanita inilah yang tidak pernah bisa mendidik suami, padahal Atami sesekali mengadu perbuatan ayah tirinya. Namun, ibunya hanya diam dan menganggapnya bermimpi. "Masih perlu ditanya? Dia datang ke kamar seorang wanita pada malam hari, menurut Ibu untuk apa!" "Atami." Atami langsung menatap pada Rian yang memakai baju tidur. Atami lebih benci lagi pada pria ini. "Tidurlah ini sudah malam, kamu harus bekerja," ujar Rian sembari meraih tangan sang ayah untuk pergi. Emosi yang sudah memuncak, membuat Atami langsung meraih ponsel dan tas miliknya. Ibunya menatap kaget pada Atami yang melintas dan keluar dari kamar. "Atami! Kamu mau ke mana?" Meski dirinya tahu ibunya dan Rian berusaha mengejar. Atami tetap tidak peduli, ia hanya mengusap sudut mata dan terus berjalan pergi. Atami sudah keluar dari rumah dan terus berjalan menyusuri gang sepi. "Atami, katakan padaku. Kamu mau ke mana malam begini?" Atami terus saja berjalan, membuat Rian yang berhasil menyusulnya memilih ikut jalan. "Atami." "Jangan sebut namaku!" Rian menarik napas, kemudian meraih tangannya. Amat kasar Atami menarik diri, bahkan memundurkan tubuhnya. "Berpikirlah dengan kepala dingin, Atami. Mau ke mana malam begini?" tanya Rian lagi. "Bukan urusanmu!" "Jika kamu tidak ada tujuan, ayo kita pulang. Aku akan mencari kayu untuk jadi kunci pintu kamarmu. Besok baru aku belikan kunci baru." "Bagaimana?" Atami masih menatap benci pada Rian. Pria ini sama buruknya dengan ayah tiri Atami. Menyatakan cinta padanya, ketika ditolak berusaha mencuri ciuman saat Atami tidur. "Aku tidak butuh kebaikanmu!" Rian kembali menarik napas, semenjak dulu Atami memang wanita yang sangat keras kepala. "Baiklah. Setidaknya beri tahu aku, mau ke mana biar aku antar." Rian menunjuk mobil di rumah. "Aku bisa jalan sendiri." Kepala Rian mengangguk. "Kalau begitu aku antar sampai kamu dapat taksi, bagaimana?" Atami tak menyahut, ia memilih berjalan dengan mata sesekali melirik sekitar. Meski daerah sendiri, tapi tidak menutup kemungkinan dirinya lolos dari orang jahat. Rian menatap Atami yang hanya diam saja. Pria tersebut berjalan di belakang Atami dengan mata mengawasi sekitar. "Aku ada sedikit tabungan," ujar Rian. "Aku belikan rumah subsidi, ya? Supaya kamu tinggal pisah dari orang tua kita." "Jangan berpura baik padaku," sahutnya ketus. Bibir Rian mengulas senyum. "Jadi wanita jangan galak-galak, Atami." Atami jadi memikirkan Kahfi. Mungkin menikahi pria itu adalah jalan terbaik. Selain bisa tinggal terpisah, Atami juga dapat uang bulanan serta tagihan rumah sakit ayahnya terbayarkan. *** Kahfi memasuki hotel seorang diri. Tujuan dia tentu saja untuk menghabiskan malam bersama teman tongkrongan di lounge hotel. Namun, langkah kaki Kahfi terhenti di depan penerimaan tamu. Dia menemukan orang gila yang sedang memesan kamar mengenakan baju tidur. Ya, Kahfi tentu saja mengenali orang gila itu. "Saya ingin kamar dengan biaya paling rendah," ujar Atami. Kahfi berjalan mendekat dan sepenuhnya berdiri di sebelah Atami. Bahkan, dia mengetuk meja pendaftaran dengan mata menatap tertarik. Atami menyadari keberadaan Kahfi, namun dirinya tidak peduli. "Tidak punya baju lain, ya?" sindir Kahfi. Atami masih tidak peduli, ia memilih menunggu karyawan hotel memberikan kunci kamar untuknya. Namun, Kahfi melirik pada karyawan tersebut yang langsung berhenti memproses keinginan Atami. "Apa maksudnya ini?" tanya Atami sembari menatap pada Kahfi dan karyawan hotel. "Ada masalah apa? Sampai kamu ke hotel malam begini dengan pakaian ini." "Anda tidak perlu tahu." Mata Kahfi menelisik ekspresi Atami yang semrawut. Bahkan nampak menghindari tatapan dari Kahfi. Dipastikan sang sekretaris memiliki masalah pelik dan tidak ingin bercerita. Kahfi merogoh saku dan memberikan sebuah kartu akses kamar. Atami tentu saja tidak segera menerimanya, mata saling pandang dengan Kahfi. "Tinggallah di kamar milikku!" "Terima kasih, Pak. Tapi, tidak perlu," tolak Atami. Kahfi sampai menarik napas karena wanita ini selalu saja menolak apa pun. Kahfi meraih tangan Atami dan memberikan paksa kartu akses padanya. "Tenang saja, aku tidak memiliki kartu yang sama dan menerobos masuk saat kamu tidur. Ini hanya satu-satunya." Setelah mendengar Kahfi tidak memiliki kartu yang sama, membuat Atami langsung mengantongi. Karyawan hotel pun memberikan kartu identitas miliknya. "Ayo jalan! Aku antar kamu sampai depan kamar." Meski sempat ragu, tapi Atami memilih berjalan mengikuti Kahfi. Setiap lorong hotel memiliki kamera pengawas. Jika sampai Kahfi macam-macam, Atami dengan mudah membuat tuntutan. "Lusa kita menikah," ujar Kahfi memberi tahu sembari jalan. Atami melirik pada Kahfi. "Begitu." Kahfi mengerutkan dahi. "Kamu tidak protes?" Buat apa protes? Atami sejak lama ingin keluar dari rumah ayah tirinya. Hanya saja Atami tidak punya cukup tabungan untuk beli rumah atau ngontrak. Uangnya sepenuhnya dihabiskan untuk tagihan perawatan ayahnya di rumah sakit. Kahfi melirik Atami yang begitu pendiam malam tersebut. Kahfi baru menyadari, kalau Atami yang diam begitu cantik. "Apakah saya akan tinggal bersama dengan Bapak?" Kahfi yang semula terpesona oleh kecantikan Atami, karena baru pertama kali melihat Atami dibalut selain pakaian kantor. Kahfi langsung mendengkus begitu mendengar pertanyaan dari sekretaris sekaligus calon istri. "Memangnya siapa yang kamu nikahi, hah? Sampai aku tidak boleh satu rumah denganmu," keluh Kahfi. "Maksud saya, apakah saya tinggal di rumah besar itu? Bersama ibu Maria dan ibu Intan." Kahfi memasuki pintu lift dan menekan tombol lantai. "Katakan, apa yang sebenarnya kamu inginkan." Atami menatap pada Kahfi amat serius. "Bisakah saya dapatkan rumah terpisah?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN