Suasana hati yang berubah menjadi kesal, rasa itu telah mendominasi diri dari wanita cantik, Avelyn Angelina. Dengan gaya angkuhnya, Avelyn mantap melangkahkan kakinya memasuki gedung perusahaan milik TEJ grup. Tempat dimana dia mengabdikan hidupnya di perusahaan tersebut.
Avelyn memasuki sebuah lift untuk menuju ruangan yang berada di lantai 34, dimana ruangan milik Jeff itu berada. Avelyn berencana akan berbagi kekesalannya kepada Jeff.
Sepanjang perjalanannya banyak pasang mata yang menatap dirinya dengan rasa iba, sebab pakaiannya yang terlihat compang-camping tidak jelas, seperti itu. Avelyn kini keluar dari lift tersebut dan tidak sengaja dia langsung mendapati sekertarisnya Jeff.
“Bianca, sekarang dimana bosmu itu?” tanya Avelyn.
“Maaf Avelyn, hari ini sepertinya Pak Jeff sedang sibuk dan tidak bisa diganggu oleh siapapun,” ujar Bianca.
“Kamu pikir saya akan peduli, saya tanya, apakah dia ada diruangannya?”
“Iya, tapi ... maaf beliau tidak bisa diganggu oleh siapapun.”
Avelyn tetaplah Avelyn yang keras kepala, dia akan melakukan hal apapun, sekalipun hal itu gila untuk dibayangkan. Jika hatinya sudah dilingkupi dengan rasa kekesalannya maka dia tidak akan mendengarkan siapapun orang yang akan melarangnya.
Avelyn mengabaikan setiap ucapan dari Bianca yang tertuju padanya. Dengan gaya angkuhnya Avelyn terus melangkahkan kakinya menuju ruangan Jeff.
Seperti seorang yang lancang tanpa memperdulikan etika dalam bertamu. Avelyn langsung membuka pintu ruangan Jeff tanpa mengetuk terlebih dahulu pintu itu.
Brakk ....
Suara pintu terdobrak dengan begitu keras yang disebabkan oleh Avelyn. Terbalik dari biasanya, seharusnya orang yang berada didalamlah yang akan terkejut oleh suara pintu yang tiba-tiba terbuka dengan sangat lancang.
Tapi ini dari kebalikannya, Avelyn sendirilah yang terkejut dengan kegiatan kedua insan yang sedang terhanyut dalam cumbuannya masing-masing.
Rasa kesal yang semenjak tadi mendominasi dirinya, kini telah memuncak dan berada diujung ubun-ubungnya, yang siap untuk diledakan kapanpun.
Avelyn menendang pintu yang berada disampingnya, pintu yang telah dibuka olehnya dengan sangat lancang.
Brakk ... satu tendangan dari Avelyn hanya dihiraukan oleh keduanya.
Brakk ... brakk ... dua kali tendangan masih tetap dihiraukan olehnya.
Brakk ... brakk ... brakk ... bahkan tendangan untuk kesekian kalinyapun masih tetap dihiraukan oleh mereka. Kesabaran Avelyn kini sudah berada diujung tanduk.
Brakk ... brakk ... brakk ... brakk ... brakk ... brakk ... brakk ... brakk ... suara tendangan pintu yang diikuti oleh pukulan dari tangannya, hingga membuat karyawan lain yang hendak melewati ruangan tersebut merasa terusik oleh suara yang mengganggunya yang disebabkan oleh Avelyn.
Brakk ... Avelyn memukul pintu itu untuk keterakhir kalinya. Dan itu berhasil membuat kedua insan itu berhenti melakukan kegiatan gilanya.
“Avelyn! Apa yang kamu perbuat disini? Kamu benar-benar mengganggu saja!” Jeff berjalan kearah Avelyn dengan menata kancing-kancingnya yang sudah terbuka akibat ulah wanitanya.
“Kamu saja yang begitu tuli, seharusnya ketika saya membuka pintu sialan itu, disaat bersamaan juga kamu harusnya langsung berhenti dari kegiatan biadap itu, jadi saya tidak mesti menendang pintu sialan ini,” jelas Avelyn.
“Kamu saja yang salah, datang disaat yang tidak tepat. Lagian kenapa kamu disini, bukankah kamu harusnya masih disekolah, pasti kamu bolos ya Avelyn? Bagaimana kamu bisa menyelesaikan target jika kamu saja selalu bolos.”
“Stop! Berhenti menuduh saya yang tidak-tidak. Kalau kamu mau tau ... tanyakan saja sana, sama saudara iblismu itu.”
“Maksud kamu Theodor? Lancang sekali kamu memanggil dia dengan sebutan iblis, kalau dia sampai tau, bisa-bisa kamu digantung.”
Seorang wanita yang berada disamping Jeff, hanya bisa mendengarkan argumen sengit yang diciptakan oleh Avelyn dan Jeff.
Jeff mengeluarkan selembar cek untuk diberikan kepada wanita yang berada disampingnya.
Wanita itu tersenyum puas. “Terima kasih sayang, kabari saya kembali jika kamu membutuhkannya lagi.”
“Hmm ... cepatlah kamu pergi, jangan sampai singa betina ini mengamuk.”
“Heyy! Apa yang barusan kamu ucapkan? Kamu menghina saya?” Avelyn tidak terima.
“Saya tidak menghina, mungkin kamu saja yang merasa,” sanggah Jeff.
“Diam! Berhenti untuk menghina saya,” tegas Avelyn menatap tajam irish biru laut milik Jeff.
“Ya sudah, Saya lebih baik pulang dulu. See you next time, baby.” Wanita itu mengecup singkat bibir Jeff. Membuat Avelyn jijik ketika dia melihatnya.
Wanita itu kini telah benar-benar pergi dari ruangan Jeff. Menyisakan Avelyn dan Jeff yang masih berada di ruangan tersebut.
“Hahaaa ... hahaaa ....” Jeff tiba-tiba tertawa terbahak.
“Jeff kamu sehat? Obatnya udah diminum belum, ko gila sih?” Avelyn berujar. Avelyn berjalan mendekati meja kerja Jeff dan duduk di kursi hadapannya.
“Seragam kamu hahaaa ... seragam kamu kenapa jadi compang-camping seperti itu hahaa ....” Jeff terbahak ketika dia baru sadar melihat penampilan Avelyn yang sudah begitu kacau.
“Tertawamu telat, dasar otak m***m,” gerutu Avelyn yang masih dapat didengar oleh Jeff.
“Avelyn sadarlah kita ini satu-dua, hahaa ... kita ini memang sama-sama m***m. Kamu saja yang sok jual mahal sama saya. Takut ketahuan sama Theodorkan?”
“Heyy sadar, kamu sendiri juga takut dengannya. Kalaupun tidak, pasti kamu sudah menggempur saya. Secara pesona seorang Avelyn itu benar-benar memikat. Siapa coba yang tidak tergoda dengan sosok Avelyn?” Avelyn membanggakan diri.
“Ya ... ya saya mengakui. Tapi sebenarnya saya ini tidak takut pada Theodor, hanya saja saya menghormati dia sebagai saudara saya. Bisa saja, saya akan digantung olehnya jika melakukan hal itu denganmu.”
“Ya namanya takut, bodoh!” ujar Avelyn.
“Ya, ya, terserah apa katamu saja. Lagian kenapa kamu datang ke perusahaan, bukannya pulang ke rumah untuk mengganti bajumu. Kenapa malah kesini?”
“Saya kesini hanya ingin mengadukan Theodor kepada kamu dan Erland. Begitu biadapnya dia tidak menolong saya, saat saya dibuli oleh para warga sekolah yang berada disana,” ungkap Avelyn.
“Ya sudah lebih kamu pulang sana. Kamu disini hanya akan mengganggu saya saja. Lihatlah pekerjaan saya itu banyak, dengan adanya kamu disini itu hanya akan menambah beban saya.”
“Halaahhh ... itu hanya alasan kamu saja, buktinya kalau memang kerjaanmu banyak, kenapa kamu malah main gila dengan wanita itu? Di jam kerja seperti ini lagi.”
“Itu bukan urusanmu, lebih baik cepat kamu pergi dari sini!” Jeff menghampiri Avelyn dan menarik paksa tangannya untuk segera keluar dari ruang kerjanya.
“Tidak! Saya tidak mau, lepaskan saya. Heyy Jeff, lepaskan saya!” Avelyn meronta-ronta.
Di seperempat jalannya Jeff menarik Avelyn, tiba-tiba seorang masuk kedalam ruangan tersebut dengan tergesar-gesa.
“Syukurlah jika kamu disini,” ucapnya.
Ucapan dari orang tersebut membuat Avelyn dan Jeff dilanda kebingungan. Mereka berdua belum mengerti arah maksud dari orang tersebut, dia adalah Erland.
“Erland, maksud kamu apa?” tanya Jeff.
“Theo menelepon saya, dan menanyakan keberadaan wanita ini. Avelyn, kamu benar-benar membuat saya kewalahan. Seharusnya kamu hubungi Theo terlebih dahulu jika ingin melakukan apapun, agar tidak juga merepotkan siapapun,” jelas Erland.
“Memangnya saya ini siapanya dia? Kekasih bukan istrinya apalagi, kenapa saya harus susah-susah menghibunginya terlebih dahulu,” jawab Avelyn.
Erland kembali menghubungi Theodor untuk memberitahunya bahwa Avelyn memang berada di perusahaannya.
“Halo, Theo,” sambungan telepon Erland terhubung.
“Bagaimana, apa si wanita itu ada disana atau tidak?” to the pointnya.
“Ya ... sekarang dia ada di ruangan Jeff.”
“Tolong serahkan ponselnya kepada dia, saya ingin berbicara dengannya,” perintah Theodor.
Erland menyerahkan ponselnya sesuai perintah dari Theodor.
“Halo,” ujar Avelyn dengan lesu.
“Seharusnya kamu hubungi saya terlebih dahulu bukan langsung pergi begitu saja,” suara Theodor seberang sana.
“Dan seharusnya juga Bapak menolong saya, disaat saya dibuli oleh mereka, kenapa pada saat itu Bapak hanya diam saja?” todong Avelyn.
Tutttutt ....
Sambungan teleponpun diputuskan oleh sebelah pihak, yaitu dari Theodor.
“Dasar iblis sialan! Kenapa dia langsung mematikan teleponnya padahal saya belum selesai berbicara,” gerutu Avelyn.
Erland kembali mengambil ponselnya dari genggaman Avelyn, disaat Avelyn menggerutunya tidak jelas.
“Tetap disini dan tunggu hingga Theodor datang, paham kamu?!” ucap Erland dan setelahnya dia melenggang pergi meninggalkan ruang kerja Jeff.
“Heyy Erland ... Kenapa dia harus menunggunya disini, di ruang kerja saya? Kenapa tidak di ruanganmu saja?” teriak Jeff tidak terima dengan usulan dari Erland.
Erland terus berjalan, mengabaikan ucapan yang berakhir menjadi umpatan dari Jeff. Avelyn tersenyum jail kepada Jeff.
“Sudahlah nikmati saja, saya tidak akan mengganggumu, saya hanya akan menumpang beristirahat saja,” ujar Avelyn.
Jeff menyipitkan matanya, menyelusuri kebohongan dari mata Avelyn, tapi dia tidak dapat menemukannya.
“Avelyn, kenapa kamu tidak pulang saja sih ... hari ini semuanya benar-benar menyebalkan. Kamu yang dibuli oleh mereka, kenapa saya juga yang harus kena imbasnya,” tukas Jeff.
“Sudahlah, nikmati saja,” ujar Avelyn.
“Dengar, jangan ganggu saya kerja, awas saja jika kamu benar-benar mengganggu saya!”
Avelyn mengangkat jari telunjuk dan tengah bersama yang mendakan dia berjanji.