Keadaan diri yang tidak nyaman dengan pakaian yang ia kenakan saat ini membuat dirinya semakin tidak percaya diri. Seragam yang ia kenakan saat ini benar-benar sangat kebesaran dan tidak pas pada tubuhnya.
Avelyn yang selalu terbiasa mengenakan setelan baju yang selalu ketat pada tubuhnya, kini diharuskan mengubah cara berpenampilannya menjadi longgar. Dan itu membuat tubuhnya hampir tenggelam sempurna oleh seragam miliknya. Theodor benar-benar keterlaluan memberikan seragam barunya tersebut, dengan jauh lebih longgar dari yang seharusnya.
Sosok wanita yang sudah berumur itu, sepanjang perjalanan menuju kelasnya berada, terus menggerutui diri Theodor yang selalu berbuat semena-mena kepada dirinya. Ingin rasanya ia berhenti dari pekerjaannya tersebut, lalu pergi dan menghilang selayaknya seperti ditelan oleh bumi, tapi ... itu mustahil.
Jika ia pergi maka keluarganyalah, yang akan berada dalam bahaya. Meskipun nanti ia sendiri akan membawa semua keluarganya, tetap saja ... seberapapun mereka pergi jauh, Theodor akan tetap dengan mudah untuk dapat menemukannya, karena sebab mata-mata Theodor hampir diseluruh dunia.
Disetiap langkah Avelyn menuju kelasnya berada, tidak hanya satu sampai dua orang yang menertawakan dirinya karena sebab pakaiannya yang longgar. Melainkan hampir seluruh siswa yang ia lewati disetiap rutenya.
Kemarin ia ditertawakan karena pakaiannya yang compang-camping, lantas sekarang ia ditertawakan karena sebab pakaiannya yang longgar dan tentunya ... kebesaran pada tubuhnya.
Avelyn memasukki kelasnya, mood dipagi harinya kini benar-benar hancur. Ia kini terus melangkahkan kakinya untuk lebih dalam memasuki kelasnya tersebut.
Avelyn mendudukkan dirinya pada kursi di tempatnya berada, seorang siswa mendekati diri Avelyn, sosok itu ialah Raeyhan yang kemarin dengan sangat bangganya memperkenalkan diri kepada Avelyn.
“Hay Avelyn, selamat pagi,” ujarnya tertuju untuk Avelyn.
“Hay Raey,” balas Avelyn.
“Avelyn, apakah kamu baik-baik saja? Akibat pertikaian kemarin, dan maafkan aku ... karena tidak menghantarkanmu pulang, karena aku sendiri memang tidak tau. Aku juga baru mengetahuinya dari teman yang lain, ketika bel masuk kembali dan kau sudah tidak ada di kelas,” jelas Raeyhan.
“I'ts ok, Aku tidak apa-apa. Aku juga bisa menangani semuanya sendiri.”
“Avelyn! Seragammu, mengapa terlihat sangat kebesaran sekali, lihatlah sekarang! Tubuh benar-benar seperti hilang dan menjadi tenggelam oleh seragam besarmu itu. Mengapa kamu tak pakai seragam yang seperti kemarin?”
Avelyn menyilangkan tangannya didepan d**a. “Hey ... dengar ya Raey, aku tidak mungkin memakai seragam yang seperti kemarin, karena aku juga tidak ingin menjadi pusat perhatian seperti kemarin. Ya ... meskipun tadi juga masih tetap menjadi pusat perhatian. Tapi aku sendiri ingin bersekolah dengan tenang, tanpa ada pertikaian yang harus aku lalui.” Avelyn berbohong.
“Ya, ya, ya ... baiklah aku mengerti. Tapi btw, jika nanti kamu digangguin dan itu yang akan membuat kamu tidak nyaman, maka kamu langsung laporkan saja kepadaku, karena aku sendiri tidak akan segan-segan untuk memberikan pelajaran kepadanya.”
“Ya, ya ... ya baiklah. Terimakasih telah mau menjagaku.”
“Dengan senang hati Avelyn. Maka dari itu, kamu tidak boleh sungkan untuk meminta bantuannya kepadaku.” Raeyhan begitu antusias.
Seorang Farlten memasuki ruang kelas tersebut hingga mengubah suasana kelas menjadi dingin akibat dirinya. Dan itu sudah biasa bagi mereka yang tergabung dalam kelas itu untuk merasakannya.
Sepanjang langkah kaki Farlten, sorot matanya tidak pernah lepas dari sosok Avelyn. Begitupun dengan Avelyn, iapun membalas tatapan intimidasi tersebut, Avelyn menatap setiap inci wajah Farlten dan menilainya berdasarkan sudut pandang retinanya.
“Target yang satu ini mungkin akan sulit untuk aku taklukan, tapi itu tidak dapat menggoyahkan diriku. Farlten kau benar-benar membuatku penasaran,” batin Avelyn.
Sosok Farlten melintasi diri Avelyn, lantas iris Avelyn mengikuti arah langkah Farlten sampai sosok itu benar-benar duduk ditempatnya berada. Tepat dibelakang kursi Avelyn yang sedang ia dudukki, dengan secara otomatis maka tubuh Avelyn berputar seratus delapan puluh derajat mengikuti tubuh Farlten yang kini telah duduk di kursinya berada.
Farlten berdeham satu kali, tapi kegiatan itu tidak dapat membuyarkan lamunan Avelyn yang kini tengah memperhatikannya.
“Apakah baru pertama kali, melihat seseorang yang tampan seperti saya?!” Suara maskulin yang tegas mengintrusi diri Avelyn. Sosok wanita yang kini didepannyapun mengerjapkan matanya berkali-kali, sesaat setelah intrusi itu dilontarkan.
Tersadar dari lamunannya, dengan segera Avelynpun berbalik menghadap kearah depan dan tanpa ia sadari juga detak jantungnya berpacu lebih cepat dari yang biasanya.
Avelyn berkali-kali menarik dan membuang napasnya, ia sedikit merasa gugup saat mendengarkan suara maskulin yang tegas namun seksi diindra pendengarannya itu.
Farlten yang berada dibelakang Avelyn menyaksikan dengan jelas perubahan dalam diri Avelyn. Baginya bukan kali pertama untuk dirinya melihat seorang gadis yang awalnya terpesona lantas ketika ia tegur berubah menjadi gugup. Dan Avelyn kini telah menjadi salah satu dari para gadis itu.
Kata gadis ... apakah itu pantas disebutkan untuk Avelyn? Sedangkan ia sendiri umurnya sudah memasuki seperempat abad!
Farlten, Raeyhan dan yang lainnya menganggap Avelyn hanya seorang gadis biasa yang seumuran dengan mereka. Tidak ada satupun yang curiga dengan Avelyn yang pada hakikatnya hanyalah wanita yang sudah memasuki seperempat abad itu.
Wajah Avelyn yang masih terlihat babyface membuat dirinya mudah untuk mengecoh para warga sekolah yang ada disana.
Waktu jam belajarpun kini akan segera berlangsung, dan selama pelajaran itu, seorang guru tidak mengijinkan sama-sekali untuk anak didiknya bersuara terkecuali ketika memasuki sesi pertanyaan.
Menit demi menit hingga berganti jam, Avelyn hanya mendengarkan penjelasan dari seorang guru dengan rasa malas. Matanya memang fokus kepada sosok guru yang ada didepannya, tapi pikirannya kosong. Ia tidak dapat mencermati pembahasan yang kini tengah berlangsung. Beruntung hingga sesi pertanyaan, Avelyn tidak ditanyakan sama-sekali oleh sang guru tersebut.
“Astaga ... kenapa aku harus mengulang kegiatan belajar-mengajar lagi sih! Apalagi saat ini pelajaran yang membahas tentang sejarah. Ini benar-benar membosankan, dan bikin mengantuk saja. Ingin rasanya aku ijin ke toilet, tapi aku sendiri tidak terlalu pede dengan seragam sialan ini yang terlalu besar,” batin Avelyn dengan menghela napasnya. “dan semua ini gara-gara bos sialan itu, aku benci kamu ... Theodor. Dasar manusia iblis!” lanjut batinnya.
Akhirnya setelah sekian lama menunggu, waktu proses belajar-mengajarpun berakhir. Semua siswa yang mengikuti kegiatan itu merasa lega, setelah menghadapi sebuah lingkungan yang benar-benar menegangkan.
Para guru di High School kebanyakan dari mereka adalah para guru yang killer, yang tidak bisa diajak untuk bercanda sama sekali. Peraturan disinipun sangat ketat dan keras. High School sendiri adalah sekolah yang paling disegani di Ibu kota jakarta. Akibat dari cara mengajar mereka yang keras membuat para siswa disana menjadi kuat dan tahan banting secara lahir dan batin.
Keuntungan dari cara mengajar tersebut banyak mencetak rekor siswa-siswi yang bertalenta, baik dalam hal otak dan fisik. Dalam hal otak, siswa selalu dapat menjuarai setiap olimpiade umum yang sering diadakan dari yang Nasional hingga internasional. Sedangkan dalam hal fisik, mereka sering menjuarai olimpiade dalam cabang olahraga. Baik dari sepak bola, basket, voli, beladiri dan sebagainya.
Disetiap sekolah pasti ada yang namanya kelemahan dan kelebihan, mencetak rekor juara adalah suatu kelebihan dari sekolah tersebut. Tapi disisi lain High School juga memiliki kelemahan yang sampai ini masih terus terjadi. Contohnya seperti : selalu mengutamakan kasta, bullyng masih terus dilakukan oleh mereka-meraka yang merasa berkuasa atas sekolah tersebut.
Saat ini waktu jam untuk mereka beristirahat, guru yang mengejar sudah lebih dulu keluar dari kelasnya berada. Begitupun semua siswa yang kini berhamburan keluar kelas mencari kebebasan batinnya.
Avelyn sendiri tengah membereskan buku-buku serta bolpen untuk ia masukkan kedalam tas-nya berada. Raeyhan yang keberadaan duduknya disamping Avelyn hanya melihatnya dengan saksama.
“Apa perlu saya bantu?” tanya Raeyhan.
“Tidak! Tidak perlu! Ini hanya masalah kecil.” Avelyn berucap sambil terus memasukkan buku-bukunya. Setelah selesai acara memasukannya, ia-pun beralih menatap Raeyhan dan menatap buku-buku Raeyhan yang ternyata masih tetap berada pada mejanya. “Kenapa bukumu, kamu biarkan saja seperti itu?” tanya Avelyn pada Raeyhan.
“Tidak apa-apa, aku hanya sedang malas memasukannya. Toh nanti, juga akan dikeluarkan lagi,” jawabnya dengan terlewat santai. Membuat Avelyn menggelengkan kepalanya.
“Terserah saja. Aku hanya mengingatkan,” balas Avelyn.
Raeyhan bangun dari tempat duduknya dan meraih lengan Avelyn. “Ya sudah hayoo ... kita ke kantin. Aku sudah lapar. Dan kini, tidak ada kata penolakan lagi! Karena aku ingin menjagamu dari orang-orang yang akan menjailimu,” ucapnya dengan tulus.
“Raey ... sudahlah jangan terlalu berlebihan. Kamu tidak perlu khawatir aku-pun masih bisa menjaga diri.”
Avelyn lupa jika didalam kelasnya tersebut tidak hanya ada mereka, melainkan masih ada sosok lain yang tengah mendengarkan celotehan mereka berdua dengan jengah. Sosok itu ialah Farlten, ia hanya menatap kedua insan itu dengan pandangannya yang kosong, sambil menyilangkan tangannya didepan d**a.
Avelyn masih belum sadar jika Farlten masih terus menatapnya. Sedangkan Raeyhan memang sudah tau jika Farlten masih berada disana. Dan dengan sengaja Raeyhan-pun memulai aksinya untuk menggoda Avelyn dan itu membuat diri Farlten menjadi muak dengan sikap Raeyhan yang seperti itu.
Farlten berniat ingin berdiam diri saja dikelasnya namun kedua sosok itu tidak kunjung untuk segera pergi. Kedua sosok didepannya terus saja berbeda argumen dan berceloteh tidak penting. Hingga akhirnya Farlten tidak sanggup untuk mendengarkannya lagi, lalu ia-pun bangkit dari tempat duduknya.
Disaat ia hendak melewati Raeyhan yang berdirinya tepat menghalangi jalannya dan yang tersisa hanya celah sedikit. Farlten-pun dengan sengaja menyenggol bahu Raeyhan dengan sedikit kasar.
“Woyy biasa aja dong!” ujar Raeyhan ketika Farlten sudah melintasi dirinya. Tapi tidak ada balasan sama sekali dari sosok Farlten.
“Farlten ...,” gumam Avelyn. “... sejak kapan dia ada disini,” batin Avelyn berucap.
“Avelyn ... heyy Avelyn,” panggil Raeyhan. “Avelyn ....” Raeyhan terus memanggilnya berkali-kali hingga ia memutuskan untuk mencubit pipi Avelyn dengan gemas.
“Aww, sakit ... kenapa kamu mencubitku,” ucap Avelyn.
“Harusnya aku yang bertanya, kenapa kamu melamun. Memangnya kamu sedang memikirkan hal apa? Hayoo ... jangan bilang kamu memikirkan aku yang sedang melakukan abs.” Raeyhan asal berujar.
“Astaga ... mana mungkin aku berpikiran seperti itu. Lagian perut kamu itu datar dan tidak ada bagus-bagusnya. Sudahlah jangan berhalu, nanti jatuhnya sakit.”
“Jangan asal berucap seperti itu, apa perlu aku buktikan disini?” tawar Raeyhan dengan memperagakan diri untuk membuka seragam bajunya.
“Tidak perlu! Sudahlah ... hayo kita ke kantin saja. Aku sudah lapar,” ajak Avelyn tidak ingin lagi berdebat terus-menerus dengan Raeyhan.
Avelyn berlalu lebih dulu meninggalkan Raeyhan yang kini tengah membuka kancing milik seragamnya.
“Avelyn ... aku sudah membukanya, kamu yakin tidak ingin melihatnya. Sungguh! Ini jauh lebih keren dari dugaanmu,” teriak Raeyhan pada Avelyn yang sudah jauh dari penglihatannya.
Dengan terpaksa Raeyhan-pun mengancing kembali seragamnya dan berlari mengejar Avelyn yang telah lebih dulu meninggalkan dirinya.