Seorang laki-laki dengan setelan formal jas berwarna biru tua merek Canali serta kacamata hitam branded D&G yang bertengger pada hidungnya begitupun dengan sepatu kulit branded warna hitam yang dia kenakan untuk menemani langkah gontainya.
Sosok itu ialah Theodor Hallbert Hamilton, laki-laki dengan paras seribu juta ketampanan serta menawan yang tak dapat ditandingi oleh siapapun, dengan tinggi 194 cm membuat wanita manapun akan terkesima oleh penampilannya.
Berjalan dengan d**a yang sangat tegap bak seperti model, dengan tangan satu yang dia masukan kedalam saku celananya. Wajah dingin dengan tutur katanya yang bengis, membuat setiap orang tak ingin berlama-lama bercengkerama dengannya.
Di perempatan lorong dia bertemu dengan Avelyn, wanita umpanannya. Wanita itu kini tengah berjalan berdampingan dengan seorang laki-laki yang dia yakini adalah gurunya, dilihat dari pakaiannya yang tidak mengenakan seragam sekolah milik Sky High Scholl. Mereka berjalan berdampingan dengan beberapa buku yang berada pada pelukannya masing-masing.
Theodor melepas kacamatanya yang bertengger pada hidungnya. Matanya kini menatap tajam langsung pada iris indah milik Avelyn. Theodor bisa menebak, Avelyn kini tengah bergelut dengan batinnya, karena melihatnya secara tiba-tiba.
Terlihat Avelyn menutup matanya dengan menarik napas lalu membuangnya bersamaan dengan membukanya mata. Setiap Avelyn melakukan hal itu Theodor berusaha mati-matian untuk tidak tersenyum meski didalam perutnya terasa seperti ada kupu-kupu yang ingin keluar dari sayangnya.
Sosok laki-laki itu mendahului Avelyn berjalan didepan, tatapan laki-laki itu tertuju pada Theodor, terlihat sepertinya laki-laki itu tidak suka dengan keberadaan Theodor di sekitarnya.
“Pak Theo ...,” panggil seorang guru wanita dengan rambut yang disanggul dengan kacamata berlensa tebal bertengger pada hidungnya, wanita itu berumur sekitar 43 tahun.
Theodor menengok kearah sumber suara tersebut, Ibu Revina itulah namanya. Theodor pertama masuk ke Sekolah itu, langsung berhadapan dengan Ibu Revina, selaku Kepala Sekolah di Sky High Scholl.
“Iya Bu,” balas Theodor. Kini perhatian Theodor berpusat pada Ibu Revina yang sepertinya ada sesuatu hal yang ingin disampaikannya.
“Pak Theo ... ada beberapa memo dari guru sebelum Bapak menggantikannya, tentang mengenai mata pelajaran dan beberapa murid yang terkenal akan ketidak disiplinannya, memo tersebut sudah saya letakkan pada meja kerja Bapak,” jelas Ibu Revina.
“Iya Bu, terima kasih.” Theodor berusaha tersenyum ramah pada Kepala sekolah tersebut, meski senyuman itu tak terlihat sama sekali oleh siapapun.
Kepala sekolah tersenyum kepada Theodor, beliaupun berpaling untuk melihat Mahesa yang kini tengah berdiri sopan didepannya dengan buku yang berada pada pelukannya diikuti oleh seorang siswi cantik yang berada tepat disampingnya.
Siswi tersebut menundukkan kepalanya dengan tersenyum ketika Ibu Revina menatap siswi itu.
Ibu Revina memicingkan matanya, pada saat melihat penampilan dari siswi tersebut. Beliau menajamkan matanya, menelusuk pada setiap sisi bagian tubuh siswi itu.
“Avelyn!” Ibu Revina menatap tajam iris indah Avelyn. “Kau ... bukannya murid baru?”
Avelyn menganggukkan kepalanya. “Iya bu,” jawab Avelyn.
“Kenapa pakaianmu seperti itu? Memangnya perancang seragam sekolah ini kekurangan bahan membuatkan baju untukmu? Saya rasa tidak! Karena sekolah ini selalu mengirimkan stoknya sebelum benar-benar habis,” jelas Ibu Revina.
“Maaf Bu, memangnya ada yang salah dengan seragam yang saya kenakan ini?” tanya Avelyn pura-pura belum mengerti.
Ibu Revina menarik napasnya. “Dengar baik-baik ya Avelyn, sekolah ini punya aturan yang harus kamu taati, kamu ini niat sekolah atau mau kerja jadi p*****r? Penampilanmu sangat tidak mencerminkan layaknya seorang siswi sekolahan, bajumu sangat ketat, rokmu ... mengapa kau bikin span seperti ini?”
“Ibu, ini itu suatu fashion ... lihat saya sangat seksikan memakai seragam yang seperti ini. Ibu, sayang jikalau tubuh saya yang indah ini tidak tereksposkan dengan baik,” kata Avelyn.
Ibu Revina hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar jawaban dari siswi barunya tersebut. “Angel ...,” panggil Ibu Revina, seorang siswi yang tak berada jauh dari keberadaannya.
Siswi itu mendekat. “Iya bu,” jawabnya dengan sopan.
“Tolong kamu pinjamkan gunting pada Ibu Sansan,” perintah Ibu Revina.
“Maaf Bu, untuk apa ya Bu?”
“Tak usah kamu banyak tanya, cepat kamu pinjamkan,” kata Ibu Revina.
Angel pergi, lalu kembali lagi dengan membawa sebuah gunting yang telah dia pinjamkan dari Ibu Sansan sesuai dengan perintah Ibu Revina.
“Ini Bu guntingnya.” Angel menyerahkan gunting tersebut kepada Ibu Revina dan langsung diterima baik oleh kepala sekolah tersebut.
Kepala sekolah tersebut berjalan menghampiri Avelyn. “Ini hukuman pertamamu yang langsung dari saya, setelah ini saya persilahkan kamu untuk pulang lebih dulu dan kembali lagi esok hari, dengan seragam barumu yang tidak seperti ini!” tegas Ibu Revina.
“Maksud Ibu?” Avelyn masih mencerna baik-baik ucapan dari Ibu Revina. “Ibu ... Bu, apa-apaan ini bu?” Ibu Revina mengangkat gunting tersebut yang akan diarahkan menuju seragam milik Avelyn. Secara refleks Avelyn mundur kebelakang.
Ibu Revina mengambil tumpukan buku yang berada dipelukan Avelyn dan menyerahkannya pada Mahesa yang berada tepat disampingnya.
Ibu Revina kini memusatkan guntingnya pada ujung lengan seragam milik Avelyn dan memotong secara asal seragam tersebut.
Di sana hanya ada sebagian orang yang hanya dapat menyaksikannya, tak ada yang berani menghalanginya. Mereka takut jika mereka sendiri yang ikut terseret terkena imbasnya.
“Bu-Ibu ya ampun, ini seragam saya kenapa digunting seperti ini? nanti saya pulangnya bagaimana? Oh astaga ....”
Kini Ibu Revina berpindah memotong kelengan seragam satunya lagi, dilanjutkan dengan rok yang dibikin span oleh Avelyn. Rok itu beliau potong asal, hingga paha putih Avelyn terekspos dengan sangat indah.
Penampilan Avelyn kini benar-benar berantakan, seragamnya telah menjadi compang-camping, mungkin jika rambutnya ikut diacak-acak juga oleh kepala sekolahnya, dia akan terlihat seperti orang gila baru.
“Ini hukuman buat kamu, karena dengan beraninya memakai seragam layaknya p*****r seperti itu. Saya tidak tau sekolah kamu yang dulu seperti apa? Tapi yang jelas kamu sudah menjadi murid dari Sky High Scholl dan bagaimanapun juga kamu harus mengikuti aturan yang berlaku di sekolah ini!” Ibu Revina menyerahkan kembali gunting tersebut kepada Angel. “Kamu kembalikan lagi gunting ini pada Ibu Sansan,” perintah Ibu Revina kepada Angel.
“Baik bu.”
Setelah menggunting seragam milik Avelyn kini Ibu Revina benar-benar pergi meninggal tempat kejadian perkara tersebut.
Theodor benar-benar merasakan puas menyaksikan itu semua, dia pun memakai kembali kacamatanya, ikut meninggalkan tempat tersebut. Semua orang yang berada disana kini telah membubarkan diri meninggalkan area kejadian itu juga. Tertinggal hanya ada dua orang, Avelyn dan Mahesa.
“Are you okey?” tanya Mahesa.
“I'm fine ... maaf Pak saya harus kembali ke kelas dan tidak bisa membantu Bapak membawakan buku-buku itu.”
“It's okey Avelyn ...,” Mahesa tersenyum. “... Lebih baik kamu pulang, terlihat dari keadaanmu yang tidak baik-baik saja, Apa mau saya antar?” tawar Mahesa.
“Tidak terima kasih, saya bisa sendiri.”
Avelyn kembali ke kelas untuk mengambil tasnya dan segera pergi meninggal sekolahnya tersebut.
Disepanjang koridor banyak pasang mata yang menatapnya dengan iba. Entah apa julukan yang tepat untuk dirinya saat ini, bahkan disaat hari pertamanya bersekolah dia mendapatkan perlakuan tidak mengenakan seperti itu.
Andai ini bukan misi dari sebuah pekerjaannya, dia pun tidak akan sudi dan akan membalas semua perlakuan itu semua, dia sendiri tidak terima telah diperlakukan hina seperti itu.
“Begitulah anak baru yang sok cantik, kalau segini sih hukumannya mudah. seharusnya dia itu disiram pake air kecomberan, biar bau sekalian haha ....” ujar siswa yang dilewati oleh Avelyn.
“Bener banget saya setuju, emangnya dikira sekolah ini hiburan malam apa? Kalau emang mau pakaian seksi ya lihat tempat juga kali ... iyakan,” balas yang lainnya.
“Cantik, per malam berapa? Nanti saya booking ya.”
“Biasanya, kalau main sama om-om atau yang masih perjaka nih! Hahahaaa....”
“Saya antar pulang ya, tapi mampir dulu ke apartemen kita main cantik aja, bentaran doang.”
Gunjingan demi gunjingan terus berlanjut untuk dirinya hingga dia benar-benar keluar dari gedung sekolah tersebut. Kini dia sudah berada dalam mobilnya sendiri.
“s**t! Ini semua gara-gara ulah Theodor. Saya benci dia, seenaknya saja dia menyuruh saya untuk menyamar seperti ini. Sialnya kenapa dia hanya diam saja disaat saya diperlakukan kejam seperti ini oleh Kepala sekolah yang biadap itu, saya benci kamu Theodor saya benci!! Dan saya juga benci pekerjaan ini. Ya Tuhan ... saya lelah bekerja seperti ini. Bagaimana saya harus keluar dari pekerjaan ini ....” raung Avelyn.
“Dasar Theodor si Bos licik!” murka Avelyn, dia memukul kemudi berkali-kali menyalurkan segala keemosiannya.
◾◾◾◾◾