EPISODE 5 : Flight

2787 Kata
"Oh, temen kamu ada yang liat? Iya semalem aku nginep di Amaris Hotel. Aku capek, jadi sendirian aja deh nginep di hotel, mumpung deket. Ke rumah kejauhan." Sms si Erna b*****t itu masuk. "Lha, emang sendirian kan? Emang mao sama siapa lagi??" Balas SMS-ku, pura-pura bodoh. Setelah itu, aku memakan sarapan yang sudah disediakan Bu Novi di meja makan. Roti dengan selai stroberi dan teh yang sama seperti kemarin malam. Roti dan selai stroberinya pun terasa lebih enak daripada roti biasanya. Aku berusaha menemukan roti tawar dan selai stroberi yang disuguhkan itu di rak-rak makan, tetapi aku tidak bisa menemukannya. Enggak rumah, enggak pemiliknya, sama-sama misterius. Setelah selesai makan dan mandi, aku keluar dari rumah Bu Novi, dan tidak lupa mengunci pintunya dengan kunci serep yang diberikan padaku. Setelah itu, aku menelpon Yuna. "Selamat pagi, pak." Jawab Yuna di telpon. "Selamat pagi, Yuna. Aku hari ini cuti. Tolong kamu catat laporan harian dari Lina, Diana, Fera, dan Abby. Cukup kamu catat, dan tinggal kamu masukkan di excel tempat laporan harian untuk hari ini. Setelah itu, tolong kamu update untuk status setiap project di X-Ray ya. Setelah itu, kamu boleh pulang, dan siap-siap untuk Flight nanti malam." Kataku di telpon. "Baik pak." Jawab Yuna. "Oke. Terima kasih banyak ya, Yuna." Kataku. "S... sama-sama pak." Jawab Yuna. Hmmm? Kok terlihat ada nada terkejut di ucapannya? Ah, tidak tahu ah, tidak peduli. Kemudian, aku segera memanggil taksi dan menuju ke rumah. Aku sampai di rumah dalam waktu satu jam 25 menit, ya karena ikut arus macet orang berangkat kantor. "Oh, ga kok. Maksudnya Cuma ngasihtau aja kalo aku sendirian. Nanti kamunya kepikiran lagi." Balas Erna b*****t di sms. Ya, ya... Memang sendirian... Si Adi b*****t itu emang bukan manusia, makanya kamu anggap sendirian, wong manusianya cuma kamu. Aku langsung menelpon si Erna b*****t. "Halo." Jawab si Erna b*****t di telpon. "Aku ada tugas dinas ke Cina hari ini. Berangkat besok jam 00.20. Belum tahu kapan pulang." Kataku di telpon. "Oh oke-oke. Kamu sekarang dimana?" Tanya Erna b*****t. "Rumah. Lagi packing." Jawabku singkat. "Oke. Nanti kalo kita nggak ketemu, hati-hati ya di jalan. Sama siapa kamu ke Cina nanti?" Tanya Erna b*****t. "Sama sekretarisku." Jawabku. "Hah? Berduaan doang sama sekretaris kamu?" Tanya Erna b*****t. "Iya. Aku butuh penerjemah. Kebetulan sekretarisku bisa bahasa mandarin. Ato kamu bersedia ngegantiin?" Tanyaku kepada Erna b*****t yang aku tahu tidak bisa bahasa Mandarin. "Aku nggak bisa bahasa Mandarin." Kata Erna b*****t. "Yaudah." Kataku. "Kamu jangan macem-macem ya." Kata Erna b*****t. "Macem-macem apa?" Tanyaku. "Jangan macem-macem sama sekretaris kamu." Kata Erna b*****t. "Aku sih pasti ga akan macem-macem. Kecuali kalo kamu nya udah pernah macem-macem, mungkin aku juga akan tergoda untuk macem-macem." Kataku. "..." Tidak ada jawaban dari Erna b*****t. "Yaudah deh, aku sibuk. Kamu kerjain urusan kantor kamu aja dulu. Aku mao packing, smartphone-ku lowbatt, aku mungkin mao ngecharge sambil dimatiin. Udah ya." Kataku. "Eh sayang, tungg-" Kata Erna b*****t, yang langsung kumatikan telponnya tanpa menunggu dia selesai bicara. Setelah itu, aku mematikan smartphone-ku dan menge-charge nya. Aku segera menyalakan smartphone-ku yang satu lagi, dan menghubungi Yuna. "Selamat pagi, pak." Kata Yuna di telpon. "Selamat pagi, Yuna. Yuna, untuk sementara kalau ada yang darurat, hubungi aku di nomor ini aja ya. HP-ku yang satu lagi tidak aktif." Kataku. "Baik, pak." Kata Yuna. "Oke thank you Yuna. Have a nice day (Semoga harimu menyenangkan)." Kataku. "Ha... have a nice day... as well, sir (Semoga harimu juga menyenangkan, pak)." Kata Yuna. Hmmm, lagi-lagi tergagap? Ada apa sih? Setelah menutup telponnya, aku segera packing. Aku membawa koper yang cukup besar, dikarenakan aku membawa pedang nodachi kesayanganku. Aku bukan tipe orang yang berlama-lama jika packing, sehingga dalam dua puluh menit pun aku sudah selesai packing. Kusiapkan juga dress code yang harus kugunakan untuk nanti malam. Kemeja merah, dasi hitam, jas hitam, celana bahan hitam. Tidak lupa juga kupersiapkan passport dan kutempel visa milikku di passportku. Sampai sekarang aku masih takjub dengan bagaimana suatu visa bisa didapat dalam waktu kurang dari sehari. Tring. Ada sms masuk di smartphone-ku. "Laporan harian sudah diupdate, pak. X-Ray juga sudah." SMS dari Yuna. "Good. Kamu boleh pulang sekarang." Balasku di SMS. Kemudian, aku menekan suatu nomor di smartphone-ku. "Alan speaking here." Kata Peter di telpon. "There is no blue bushes, only green ones." Kataku di telpon. Kami memang sudah memiliki serangkaian sandi-sandi, sehingga sandi yang kami ucapkan tidak pernah sama, sekalipun untuk keperluan yang sama. "Your new number, Mr. Jent? (nomor barumu, Pak Jent?)" Kata Peter di telpon. "Just a temporary number. How're things going? (Hanya nomor sementara. Bagaimana status lapangan?)" Kataku. "Well, she and her gigolo checked out this morning, maybe around 7. Then, they separated to go to their respective office. (Yah, dia dan gigolo nya check out dari hotel pagi ini, mungkin sekitar jam 7. Lalu, mereka berpisah untuk pergi ke kantornya masing-masing.)" Kata Peter. "Without stopping by anywhere? (Tanpa berhenti dimanapun?)" Tanyaku. "Yes. Straight to their office. (Ya. Langsung menuju kantor mereka masing-masing)" Kata Peter. "Did they carry a handbag? (Apakah mereka membawa tas?)" Tanyaku. "They did. A sport bag. (Ya. Tas olahraga.)" Kata Peter. "A job well done. Keep up the good work, mate. (Pekerjaanmu bagus. Teruskan, teman)" Kataku. Dia langsung menutup telpon, tanpa berkata apapun. Ya sudahlah, itu pekerjaan dia. Ternyata memang pertemuan mereka di hotel sudah direncanakan. Terbukti dari mereka tidak mampir kemanapun setelah dari hotel. Baju-baju mereka untuk kerja hari ini sudah dibawa dalam tas olahraga tersebut. Selain itu, tas olahraga itu berfungsi untuk menyamarkan tujuan mereka, seolah-olah mereka hendak ke tempat fitness, walaupun aku tidak mengerti mengapa mereka harus melakukan hal itu. Tidak terasa, matahari pun sudah terbenam. Sudah jam 18.20, melewati Azhar. Tinggal satu jam empat puluh menit sebelum keberangkatanku dari rumah. Aku gunakan waktuku untuk bersemedi, hingga jam 19.30. Setelah itu, aku segera keluar menaiki taksi yang kupesan. Aku mengambil smartphone utama yang sudah kunyalakan kembali, dan menekan nomor Yuna. "Selamat malam, pak." Jawab Yuna di telpon. "Malam, Yuna. Kamu sudah berangkat?" Tanyaku. "Belum pak, mungkin 10 menit lagi." Kata Yuna. "Oke. Tunggu saja kamu di tempat, aku jemput." Kataku. "Oh, tidak perlu merepotkan pak. Saya jalan sendiri aja." Kata Yuna. "Gak usah seformal itu, kita udah diluar jam kantor. Lagian apa repotnya, aku juga lebih senang kalo ada temen." Kataku. "Oh, kalo bapak emang pengennya seperti itu, baiklah." Kata Yuna. "Oke, aku udah jalan dari rumah. Kamu tunggu aja ya." Kataku. "Baik pak." Kata Yuna. Dalam 10 menit saja, aku sudah sampai di rumah Yuna. Bagus juga rumahnya. Yuna pun keluar dari rumahnya, memakai baju terusan merah sampai lutut tanpa lengan. Cantik sekali dia, cocok dia memakai baju itu. "Permisi pak." Kata Yuna sambil mengangguk kearahku, kemudian kearah supir taksi. "Naik Yun. Kita makan dulu. Lagi kepengen makan apa kamu?" Tanyaku. "Ah, apa aja pak." Kata Yuna. "Yaudah, aku mao makan suki. Kamu makan rumput aja." Candaku. "Yaudah, nanti aku makan rumput." Kata Yuna sambil tersenyum. Aku segera meminta supir taksi untuk mengantarku ke sebuah restoran di kawasan Jenderal Sudirman. Kami sampai dalam 30 menit. Aku meminta supir taksi itu untuk parkir dulu, dan kemudian bergabung makan bersama kami. Awalnya, supir taksi itu menolak. Tapi setelah kupaksa dan kugoda dengan makanan enak, akhirnya dia mau juga. Aku memasuki gedung, tapi Yuna tidak mengikutiku, melainkan dia hanya di halaman melihat-lihat tanaman. "Ngapain kamu Yun?" Tanyaku. "Cari rumput pak. Katanya tadi disuruh makan rumput." Kata Yuna dengan polosnya. "Ya ampun Yunaaaa. Masa kusuruh makan rumput, kamu beneran mao makan rumput sih. Aku juga tahu bahwa kamu sekretarisku, tapi ga sampe sebegitu juga kalii." Kataku. "Aku tahu kalo aku sekretaris bapak. Tapi aku juga nggak sebego itu sampai mao makan rumput." Jawab Yuna sambil tersenyum manis, dan berjalan mendahuluiku menuju restoran. Aku betul-betul tidak bisa berkata apa-apa. Baru kali ini aku dikadali seperti itu. Sialan kamu Yuna hahaha. Tidak lama kemudian, supir taksi itu datang dan bergabung dengan kami. Aku dan Yuna makan dengan lahapnya, sementara si supir taksi itu masih malu-malu. "Udah makan pak. Mubazir nanti. Buang-buang makanan itu dosa, mau dosa pak?" Tanyaku. "Waduh, betul juga sih. Maaf nih pak, saya makan ya." Kata supir taksi itu, akhirnya mau ikut makan juga. Setelah selesai makan, Yuna mau membayar bill makanan kami. Tapi kucegah, kukatakan bahwa malam ini aku yang traktir. Setelah berdebat tidak penting masalah siapa yang harus membayar, akhirnya dia mengalah juga. Kami bertiga kembali ke kendaraan, dan terus melaju ke Bandara Soekarno-Hatta. Sepanjang perjalanan, kami bertiga terus saja mengobrol. "Ibu beruntung lho, dapet calon suami sebaik bapak." Kata supir taksi itu. Calon suami? Aku dan Yuna saling bertatapan, kemudian tersenyum mesem-mesem sendiri. "Tahu darimana pak calon suami? Siapa tau udah jadi suami beneran." Kataku, diikuti dengan tawa cekikikan Yuna. "Kelihatan lah pak. Suami-istri mah lagak nya tidak seperti itu." Kata pak supir. "Namanya beruntung atau tidak, itu kita pak yang memutuskan. Mungkin saya pembawa keberuntungan bagi seseorang, tapi ya dilihat dari sisi pandang lain, mungkin saja saya ini pembawa musibah bagi orang lain." Kataku. "Walaupun bapak pembawa musibah bagi banyak orang, saya tetap menganggap bahwa bapak ini pembawa berkat bagi saya." Kata pak supir. "Kenapa begitu pak?" Tanyaku. "Seumur-umur, baru kali ini saya makan seenak makanan tadi pak, membuat saya mensyukuri suatu karunia hidup. Tapi yang lebih indah lagi dan jauh lebih indah dibanding semua itu pak, bapak tadi mengajak saya makan. Saya kagum, di tengah situasi sulit begini, ada saja bunga yang mekar diantara padang gurun yang gersang." Kata pak supir. "Ah sudahlah pak, gak usah dibesar-besarkan. Cuma begitu doang." Kata pak supir. "Yah mungkin buat bapak, hal ini tidak berarti sama sekali. Tapi buat kami, itu sangat berarti pak. Saya yakin, jika suatu saat nanti bapak menjadi pemimpin, orang-orang yang dipimpin bapak pasti sangat menyayangi bapak." Kata pak supir. "Setuju pak. Sudah terjadi kok." Kata Yuna. "Ah, kamu ikut-ikutan lebay Yun. Kenapa? Kenyang bego kamu?" Candaku. "Iya nih pak." Kata Yuna. "Baru makan segitu aja udah kenyang bego." Kataku. "Paling nggak bapak lebih kenyang bego sih. Pak supir ama aku aja nyadar, masa bapak bisa ga nyadar." Kata Yuna sambil senyum manis. "Yun. Sejak kapan kamu belajar ngecengin saya? Siapa yang ngajarin?" Tanyaku. "Ci Diana, pak." Kata Yuna dengan polos. "Diana?? Tuh orang diem-diem tukang ngadalin orang juga. Kapan?" Tanyaku. "Tadi pak. Hehehe" Jawab Yuna sambil tertawa cekikikan. Saking gemasnya, aku ingin menusuk perut kirinya, titik tempat dimana orang biasanya geli jika ditusuk, tapi ia langsung menangkap pergelangan tanganku, dan membuangnya kearahku. Tiba-tiba, smartphone-ku berdering. Aku melihat siapa yang menelpon, ternyata si Erna b*****t. "Kamu udah dimana, sayang?" Tanya si Erna b*****t di telpon. "Menuju bandara." Kataku singkat. "Oke. Maaf gak sempat pulang, aku lagi sibuk banget soalnya." Kata Erna b*****t. "Gak-papa. Yaudah beresin kerjaan kamu aja." Kataku. "Oke. Dadaah." Kata Erna b*****t. Aku tidak membalasnya dan langsung menutup telponnya. Tidak lama kemudian, telponku kembali berdering, kali ini video call dari Peter. Aku mengangkatnya dan... Ya ampun... Si Erna b*****t itu sedang bergerak naik turun diatas tubuh seseorang yang kulihat adalah si Adi b*****t itu. Perasaanku bercampur aduk antara marah dan bingung. Marah karena si Erna b*****t itu berani-raninya menelponku selagi dia sedang bergumul dengan si Adi b*****t itu. Bingung karena aku heran bagaimana si Peter bisa mendapatkan posisi kamera sebagus itu. Aku langsung menutup telponnya. Setelah itu, aku diam saja sepanjang perjalanan. Yuna pun sepertinya menyadari perubahan suasana hatiku, dan ikut diam. Sementara pak supir terus saja berbicara. Akhirnya, kami sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.07. Setelah menurunkan koper kami berdua dari bagasi, aku mengucapkan terima kasih kepada pak supir taksi, sambil membayarnya dengan nominal dua kali lipat dari argonya. "Wah pak, terima kasih banyak ya pak. Terima kasiih pak." Ucapnya sambil menyalim tanganku. "Sudah... sudah pak. Tidak perlu berterima kasih." Kataku. "Saya doakan bapak dan ibu selamat selalu di jalan, sampai kembali kesini ya pak, bu." Kata pak supir. "Terima kasih pak sudah mendoakan kami. Bapak juga selamat sampai di rumah ya." Kataku. "Terima kasih banyak pak." Kata Yuna sambil membungkuk. Pak supir itu kembali ke kendaraannya. Membuka kaca belakang, dan melambaikan tangan kepada kami. Aku dan Yuna segera masuk untuk check-in bagasi. Setelah selesai check-in bagasi, kami menuju imigrasi. Disinilah jantungku berdebar-debar setengah mati. Aku tidak yakin dengan visa yang sehari jadi ini. Jangan-jangan ini ilegal, dan nanti ketahuan di imigrasi. Kalau sampai begitu, bisa-bisa aku berurusan dengan negara. Sehebat apapun ilmu bela diriku, kalau menghadapi negara sih hanya satu persen kemungkinan aku selamat. Aku dan Yuna menuju konter imigrasi yang terpisah. Aku melihat petugas imigrasiku dan Yuna mengecek visa kami, setelah itu mereka mempersilakan kami lewat. Huff, aku menjadi kembali tenang. Kami menunggu di ruang boarding selama satu jam, sebelum akhirnya kami naik ke pesawat. Begitu masuk, kami diarahkan menuju ke paling depan, dekat dengan ruangan pilot. Ya ampun, tidak tanggung-tanggung, aku dibelikan seat first class. Yuna pun juga dibelikan seat first class, dan duduk disebelahku. Aku memang suka naik business class dalam penerbangan, apalagi penerbangan yang jauh-jauh. Tapi naik first class, aku baru pertama kali ini. Dalam waktu 40 menit sejak kami naik ke pesawat, pesawat sudah mengudara. Beda sekali rasanya seat first class dan business class. Dalam dua jam, aku belum juga bosan. Menu makanan yang ditawarkan pun enak-enak. Minuman alkohol pun ada. Film lebih update. Fasilitas wi-fi pun tersedia. Dua jam setengah setelah pesawat mengudara, aku mulai berpikir tentang apa yang akan kami hadapi di Shanghai. "Yun, tegang?" Kataku. "Lumayan, pak." Kata Yuna. "Pertama kalinya?" Tanyaku. "Begitulah, pak." Kata Yuna. "Kamu takut kalo gak bisa balik?" Tanyaku. "Gak seberapa takut sih pak." Kata Yuna. "Jadi, apa yang bikin kamu tegang?" Tanyaku. "Takut nggak bisa ngelindungin bapak." Kata Yuna. "Precisely Yun, sejujurnya aku lebih takut gak bisa ngelindungin kamu daripada gak bisa ngelindungin diri sendiri." Kataku. "Aku mah nggak perlu dilindungin pak. Aku ini kan bertugas untuk ngelindungin bapak." Kata Yuna. "Gak bisa gitu Yun. Kamu ikut sama aku untuk nemenin aku, kamu juga jadi prioritas utamaku yang harus aku lindungin. Kalo seorang pemimpin gagal melindungi apa yang harus dia lindungi, dia harus mundur sebagai pemimpin. Begitulah kata seseorang." Kataku. "Kalau begitu pak, aku mohon. Jangan sekali-kali bapak berkorban demi aku. Bukan aku yang harus bapak lindungi, tapi keinginanku lah yang harus bapak lindungin. Keinginanku adalah agar bapak bisa sampai dengan selamat kembali ke rumah." Kata Yuna. "Kenapa kamu begitu pengen ngelindungin aku, Yun?" Tanyaku. "Itu adalah pekerjaan aku." Kata Yuna. "Itu aja?" Tanyaku. Yuna tidak menjawab. Ia memejamkan matanya sejenak, lalu membukanya sambil menghela napas. Ia memencet tombol pramugari, dan dalam waktu beberapa detik saja, pramugari sudah mendatanginya. "Can I have two glasses of red wine, please? (Bolehkah aku meminta dua gelas wine merah?)" Kata Yuna. Pramugari itu tersenyum. Ia segera meninggalkan kami, dan kembali lagi dalam waktu beberapa saat membawa dua gelas wine merah. Yuna mengambil gelas yang pertama, dan memberikannya kepadaku, kemudian gelas yang kedua dia ambil untuk dirinya. "For you. (Untuk dirimu)" Kata Yuna sambil mengulurkan gelasnya kearahku untuk mengajak toast. "For you. (Untuk dirimu)" Kataku sambil mengetukkan gelasku ke gelasnya, dan kemudian kami saling meminum wine merah itu. Setelah itu, Yuna mengambil selimutku, dan memakaikannya padaku. Ia juga mengatur posisi tempat dudukku agar nyaman untuk tidur. "Untuk sekarang ini, bapak tidur aja. Takutnya nanti kita butuh banyak tenaga." Kata Yuna. "Kamu juga, Yun." Kataku. "Aku gampang. Aku lagi susah tidur." Kata Yuna. "Oh gitu. Ya udah aku temenin kamu deh." Kataku. "Lho? Kok bapak nemenin aku? Bapak mah harus tidur. Aku gak-apa apa kok." Kata Yuna. "Kamu mungkin gak-papa. Tapi berdua lebih baik kan daripada sendiri." Kataku. "Gini aja. Kamu pengen tidur, ato pengen terjaga?" Tanyaku. "Pengennya sih tidur." Kata Yuna. Aku segera mengatur posisi dudukku dengan lebih tegak, sementara aku menarik pundak Yuna agar kepalanya bisa bersandar di pundaku. Lalu aku mengelus-elus rambut di sekitar dahinya. "Tar lama-lama juga tidur." Kataku sambil tetap mengelus-elus rambutnya. "Bapak bisa aja. Makasih ya pak." Kata Yuna, sambil mulai memejamkan matanya. Dalam 10 menit saja, aku rasakan ia sudah tertidur pulas. Hahaha hebat juga aku ini bisa membuat wanita yang ngakunya susah tidur jadi pulas beneran, pikirku dengan sombong. Aku melihat navigasi peta pesawat di layar yang ada di kursiku. Tinggal dua jam 43 menit sebelum mendarat. Lebih baik aku tidur saja, sambil menanti apa yang akan menantiku di Shanghai nanti. Aku dan Yuna dibangunkan dengan suara pilot, yang mengatakan bahwa kami akan mendarat dalam kurang lebih tiga puluh menit. Aku membuka kaca pesawat, dan kulihat matahari sudah terbit. Jam waktu setempat menunjukkan pukul 06.37. Masih ada tiga puluh menit, kugunakan saja untuk meditasi. Aku meditasi selama dua puluh menit, dan tujuh menit setelahnya, pesawat pun mendarat. Aku melihat sekeliling area bandara Shanghai melalui kaca pesawat. Hmmm... Sepertinya kota dimana aku akan bertemu dengan client perusahaanku ini boleh juga. Aku sudah menduga bahwa pertemuanku dengan client perusahaanku tidak akan berjalan dengan mulus. Tapi yang tidak kuduga adalah, bahwa di tempat ini, aku akan kehilangan hal-hal yang sangat berarti bagiku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN