EPISODE 6 : Orkestra

4478 Kata
Kami telah melewati imigrasi negara Cina di bandara Shanghai. Yah untungnya cukup mudah prosesnya, aku sempat takut dengan visa kami sih. Setelah melewati imigrasi, kami melewati bagian klaim bagasi. Karena duduk di first class, bagasi kami keluar dalam jajaran bagasi-bagasi pertama. Wah, menyenangkan sekali pokoknya duduk di first class ini. Setelah keluar ke area penjemputan, aku melihat banyak orang yang memegang papan bertuliskan nama, ada yang menggunakan huruf alfabet, dan ada yang menggunakan hanzhi. Aku dan Yuna berjalan kearah luar. Sesampainya diluar, ada orang berambut keriting memakai jas abu-abu dan kacamata hitam mendatangi kami. "Did you come from Indonesia? (Apakah kalian datang dari Indonesia?)" Tanya orang itu. Aku tidak langsung menjawab, melainkan mengingat-ingat email yang diberikan oleh Bu Novi setelah kami makan siang bersama kemarin lusa. "Yes. But our origin remains dark in the depth of the mystery." Jawabku. Orang itu langsung mempersilakan kami untuk mengikutinya. Rupanya menuju kendaraan yang tidak jauh terparkir dari tempat kami berbicara tadi. Mobilnya model sedan, hanya saja aku tidak tahu model apa itu karena tidak pernah kulihat di Indonesia. Pria itu membukakan pintu belakang untuk aku dan Yuna masuk. Setelah kami berdua masuk, pria itu menutup pintu belakang tempat kami duduk, kemudian masuk ke area kemudi. Ia menyalakan mobilnya, dan langsung jalan keluar dari bandara. Sepanjang perjalanan, kulihat Shanghai ini kota yang cukup modern, seperti Jakarta, hanya saja sepertinya lebih metropolitan. Banyak gedung tinggi dimana-mana. Karena masih dalam jam kantor, jalanan sedikit macet. Aku melihat ke arah Yuna, disamping kanan tempatku duduk. Matanya fokus ke depan, tidak terpancar ketegangan sama sekali, namun ia tidak lengah. Aku mencolek kakinya agar ia melihat ke wajahku. "(Bawa senjata?)" Tanyaku tanpa mengeluarkan suara. Yuna mengangkat baju bagian bawahnya, dan terlihat bahwa ada pistol dan pisau yang diikatkan di pahanya. "(Bapak?)" Tanya Yuna tanpa mengeluarkan suara. Aku hanya menggeleng saja sambil tersenyum. Yuna pun ikut tersenyum sambil menganggukan kepalanya. Mobil yang kami kendarai terus menembus kemacetan. Dalam waktu yang tidak kuketahui karena aku tidak melihat jam sama sekali, kami sampai juga di Park Hyatt Shanghai. Kami pun turun dari mobil, begitu juga dengan pria yang mengendarai mobil. Ia hendak membantu Yuna menurunkan kopernya, tapi langsung dicegah olehnya. Bagus Yuna, jangan membiarkan orang lain menyentuh kopermu. Kita berurusan dengan underground business, bukan bisnis biasa. Sebisa mungkin cegahlah interaksi dengan orang asing, apalagi di negara orang. Setelah koper kami turun semua, pria itu berpamitan dengan kami, kemudian masuk ke mobil dan pergi. Aku dan Yuna masuk ke hotel, langsung menuju resepsionis. "Good morning, sir. May I help you? (Selamat pagi, pak. Ada yang bisa saya bantu?)" Tanya wanita di resepsionis berkulit putih dan bermata sipit. "Well, I have a reservation here. Check in today. I wonder if I can get an early check in? (Saya punya pemesananan di hotel ini. Cek in hari ini. Bisakah saya dapat cek in lebih awal?)" Tanyaku sambil memperlihatkan smartphone-ku. Wanita itu mengambil smartphone-ku, kemudian mengecek layar komputernya sambil tetap melihat smartphone-ku. Setelah ia sepertinya menemukan reservasiku, ia terlihat kagum. "(bla bla bla bla bla)..." Kata wanita itu dalam bahasa Mandarin, yang sepertinya terlihat sangat girang. "(cang cing cung ceng cong)..." Kata Yuna yang juga berbicara dengan bahasa Mandarin. "(cong wing cong wing)..." Kata wanita itu sambil menunjukkan telapak tangannya, mengisyaratkan untuk menunggu. Kemudian wanita itu kembali mengecek komputernya. "Dia bilang, apakah kita juga ikut dalam acara orkestra nanti malam. Kemudian aku jawab, iya kita sudah memesan tiketnya juga untuk orkestra nanti malam. Terus dia minta kita untuk tunggu sebentar, mau dibuatkan kunci kamarnya." Kata Yuna. "Wah, berarti kita boleh early check in dong?" Tanyaku. "(wang wong wing weng)..." Kata Yuna kepada wanita resepsionis itu dalam bahasa Mandarin. "(seeh seeh)..." Kata wanita resepsionis itu. Kemudian Yuna mengangguk kepadaku sambil tersenyum. Lumayan deh, paling tidak di kamar mendingan. Disini soalnya aku bingung mau kemana. "(bong bing bung bong beng)..." Kata wanita resepsionis itu. "Mao bed yang twin ato double, pak?" Kata Yuna. "Double aja, biar tidur bisa goler-goler." Kataku. "(cong cong)..." Kata Yuna kepada wanita resepsionis itu. Tidak lama kemudian, wanita resepsionis itu memberikan kunci kartu kamar kepadaku. Aku melihat angka 8701 tertera di tempat pembungkus kartu itu, lantai 87 ya. Aku dan Yuna segera naik ke lift untuk ke lantai 87. "Kamu lantai berapa Yun?" Tanyaku. "Lantai 87 sama kaya bapak." Kata Yuna. "Oke lah." Kataku. Dalam sekejap, kami sudah sampai di lantai 87. Hotelnya ini unik juga. Jadi kami berada di sebuah gedung yang sangat tinggi. Hotelnya itu sendiri berada di gedung lantai 79 – 93 kalau tidak salah, aku tidak begitu memperhatikan. Sesampainya di lantai 87, aku dan Yuna keluar dari lift dan menuju kamarku. Aku mengikuti papan petunjuk hingga sampai di kamarku. "Nah, ini kamarku Yun. Kamar kamu dimana?" Tanyaku. Yuna hanya menjawab dengan menunjuk jari telunjuknya kearah kamarku. "Maksudnya?" Tanyaku heran. "Aku juga tidur disini pak." Kata Yuna. "Hah? Seriusan?" Tanyaku lebih heran lagi. Yuna hanya mengangguk. Yang benar saja, masa aku tidur satu kamar dengan wanita yang bukan istriku. Mana tadi aku minta kasurnya double bed, bukan twin bed. Tahu begini sih aku minta twin bed saja. "Ingat dong pak? Aku disini bukan sekretaris biasa. Aku juga merangkap sebagai pelindung bapak. Tugas melindungi lebih mudah dijalankan jika kita selalu deket." Kata Yuna. Yaah, emang betul aku agak lega sih mendengar ucapannya. Aku juga merasa lebih mudah melindungi Yuna jika kita dekat satu sama lain. Tapi harus sekamar dengan wanita yang bukan istriku itu loh. Ah, ya sudah lah, toh istriku juga main belakang, tidak perlu repot-repot menjaga perasaannya. "Oke lah Yun. Yuk masuk." Kataku sambil mempersilakan dia masuk duluan. Sesampainya di kamar, aku dan Yuna meletakkan koperku di tempat koper. Aku langsung membuka dasi, jas, dan sepatuku. Yuna pun ikut melepaskan sepatunya, dan setelahnya ia mengitari seluruh ruangan sambil mengecek-ngecek setiap spot di tembok dan di perabotan dengan sangat detail. Kemudian dia juga mengeluarkan smartphone-nya, dan mengarahkan ke seluruh sisi ruangan. "Aman Yun?" Tanyaku. "Kayaknya sih aman pak." Jawab Yuna. Kamarnya sih bagus sekali. Model suite room. Ranjang double bed ukuran king yang terletak di tengah ruangan menghadap ke jendela yang sangat besar dengan gorden dan vitras yang besar juga. Di sisi kanan kamar, terdapat sofa bed ukuran besar yang sangat nyaman, menghadap kearah ranjang. Disebelah sofa bed terdapat meja kerja dan kursi yang nyaman. Disebelah meja kerja, terdapat lemari pakaian yang besar. Antara ranjang dan tempat tidur dipisahkan oleh sebuah sekat, dimana dibalik sekat tersebut terdapat ruang gerak yang cukup untuk tiga orang. Dibelakang ruang gerak adalah kamar mandi yang terbagi menjadi tiga sekat, yaitu toilet, bathtube yang sudah mendukung jacuzzi, dan shower. Dan... ruang kamar mandinya bening semua, which means kalau aku lagi mandi, Yuna bisa melihatku dengan jelas, begitu juga sebaliknya. Kamar yang sangat nyaman, jauh lebih nyaman dari kamarku tentunya. Jam sudah menunjukkan pukul 09.45 waktu Shanghai. Aku segera merebahkan diriku di sofa bed yang nyaman itu. Waktu aku merebahkan diri, aku melihat Yuna sempat berjalan kearah sofa bed ini, dan tiba-tiba berhenti saat aku menyandarkan diri. "Kenapa Yun?" Tanyaku. "Oh, nggak. Nggak kenapa-kenapa pak." Jawab Yuna. Kemudian, dia duduk di kursi meja kerja yang ada disamping sofa bed tempatku tiduran. Aku baru menyadari, rupanya dia mau tiduran di sofa bed ini, tapi melihat aku tiduran disini, dia jadi menghentikan langkahnya. "Kalo mao tiduran, tuh di ranjang aja Yun." Kataku. "Ah, nggak lah pak. Masa aku tidur di ranjang. Itu kan ranjang untuk bapak." Kata Yuna. "Santai aja lagi. Lagian kamu aja yang tidur di ranjang, aku tidur di sofa bed aja." Kataku. "Lho, kenapa gitu pak?" Tanya Yuna dengan heran. "Lho, kenapa ga gitu Yun?" Tanyaku balik. "Ya, bapak kan sudah sepantesnya dapet yang nyaman. Aku mah udah kebiasa pak tidur di lantai. Malah tidur di kursi meja ini udah enak banget pak." Kata Yuna. "Yaudah, kalo gitu kesempatan kamu nih buat tidur di tempat yang nyaman." Kataku. "Gak lah pak. Aku ini cuma sekretaris, gak pantes dapet yang lebih nyaman dari bapak." Kata Yuna. Aku sedang tidak mau berdebat. Sehingga aku langsung berdiri dari sofa bed ini, kemudian menarik Yuna dari kursi tempat ia duduk, dan mengangkat tubuhnya, lalu membaringkan dia di ranjang. Yuna terlihat amat kaget dengan perlakuanku itu. "Kalo gak ada kamu, mungkin aku sudah mati bosan selama perjalanan dari rumah kemarin hingga sampai sini. Kalo gak ada kamu, aku kemarin gak mungkin bisa cuti dengan tenang karena gak ada yang ngurusin rapat harian dan Project Management di X-Ray. Kalo gak ada kamu, aku gak akan se-rileks ini memikirkan apa yang akan aku hadapi di Shanghai ini. Jadi, jangan kamu ngerendahin diri kamu dengan bilang kamu cuma sekretaris aku. Aku memang wakil direktur, dan kamu sekretaris aku, maaf sekretaris elit. Tapi, aku ga pernah nganggep kamu lebih rendah dari aku, begitu juga dengan orang lain, siapapun itu baik bawahanku maupun orang lain. Teteplah sebagai manusia, kita sederajat. Paham gak?" Tanyaku dengan tegas. "Aku udah tau pak, bapak memang seperti itu. Selalu menganggap kita-kita yang ada dibawah ini sederajat dengan bapak, padahal bapak ini wakil direktur, yang posisinya amat tinggi di perusahaan. Tapi tetep aja pak, sekretaris elit itu harus selalu ada dibawah pemimpinnya. Kita ini bisa dibilang cuma robot pak, yang udah punya satu set instruksi yang harus kita jalanin." Kata Yuna. "Kalo gitu, selama kamu kerja sama saya, jadilah manusia, dan jadilah sederajat dengan pemimpinmu." Kataku sambil kembali berbaring di sofa bed. Yuna tidak menjawab. Aku melihat dia hanya menatap ke langit-langit, entah apa yang dipikirkannya. Aku segera menyalakan TV yang letaknya ada di arah jam sebelas dari ranjang. Aih, seperti yang kutakutkan, bahasa mandarin semua programnya. Pada akhirnya, aku menemukan channel yang sepertinya menayangkan film action buatan Cina. Ya nonton tembak-tembakan dan berantem-beranteman saja, walau tidak mengerti alur ceritanya. Yuna sesekali tersenyum melihat suatu adegan di film. Dia sih enak, mengerti bahasa Mandarin. Sesekali pun ia tertawa kecil. Aku sangat ingin bertanya apa sebetulnya yang terjadi dalam film itu. Tapi aku tidak enak, pasti dia harus menjelaskan dari awal jika aku bertanya. Aku melihat undangan untuk acara orkestra di hotel ini, tertera jam 17.30. Yaah masih lama sekali. Kami menghabiskan waktu di kamar hotel. Nonton, makan siang, tidur siang cukup lama karena aku dan Yuna kurang tidur. Kami terbangun pukul 16.00 waktu Shanghai. Yuna pun bangun dari tempat tidurnya, dan membuka lemari pakaian. Yuna seolah-olah melihat sesuatu didalamnya, dan berpikir selama beberapa detik. Kemudian, ia mengeluarkan sesuatu yang ada di dalam lemari itu. Dua buah gantungan baju lengkap dengan satu set baju yang tergantung. Dia memberikan satu gantungan baju kepadaku. Hmmm, kemeja lengan panjang hitam, jas biru metalik, dasi emas, dan celana bahan biru metalik. Haah, bukan gayaku sekali ini sih. Aku suka biru, tapi serba biru metalik begini sih membuatku merasa seperti penghibur panggung. Sementara satu gantungan baju yang masih dipegang oleh Yuna adalah baju terusan model cina berwarna biru metalik. "Bapak mandi duluan aja." Kata Yuna. "Kamu makeup ga?" Tanyaku. "Tidak pak." Kata Yuna. Wuih, aku cukup kaget dia tidak makeup. Memang sih semenjak berangkat dari rumah kemarin pada saat kujemput sampai sekarang, ia tidak makeup sama sekali, dan wajahnya masih sama seperti biasanya. Tidak makeup saja sudah membuat wajahnya identik seperti penyanyi Korea yang pernah disebutkan oleh Yuna itu. Entah dia ini beruntung atau memang dia menjalani perawatan lain yang bukan makeup. "Kalau begitu aku saja yang mandi duluan. Make peralatan cowok lebih lama, ini peralatannya lengkap banget abisnya. Jadinya setelah aku mandi, kamu bisa mandi selagi aku memakai perlengkapan yang banyak ini. Paling tidak save waktu satu-dua menitan lumayan lah. Gimana?" Kataku. "Oke pak." Kata Yuna. Aku segera menuju kamar mandi. Sampai kamar mandi, aku mengambil handuk yang telah disediakan, dan langsung menuju ruang shower. Ah, lumayan segar juga. Aku mandi air hangat agar otot-ototku lebih rileks, disusul dengan air dingin untuk mendinginkan kulitku yang tadi terkena air hangat. Menurut yang k****a, air dingin memang bisa membuat otak lebih rileks. Aku pun merasakan hal itu, entah itu memang betul atau hanya sugesti saja. Setelah mandi, aku membungkus tubuhku dengan handuk, dan keluar dari kamar mandi. Aku kurang suka memakai parfum, jadinya aku tidak memakai wewangian apapun. Aku mengambil kaos dalam dan celana dalam dari dalam koperku dan memakainya. Saat aku hendak mengambil satu stel pakaian yang sudah disediakan, ternyata Yuna sudah menungguku. Ia sedang membuka kemeja lengan panjang hitam untukku itu dengan cepat, dan langsung memakaikannya padaku. Setelah itu, ia langsung berdiri di depanku dengan sigap dan mengancing seluruh kemeja hitam yang kini kukenakan. Lalu, ia memakaikan dasi emas itu. Handal sekali ia membuat simpul dasi, dan hasilnya pun rapi, jauh lebih rapi daripada simpul buatan si Erna b*****t itu. Kemudian, ia membuka seleting celana bahan biru metalik, dan langsung berjongkok di hadapanku, dan memakaikan celana biru metalik itu ke kakiku. Saat ia berjongkok, aku melihat baju terusan merah yang masih ia kenakan dari kemarin itu sedikit terbuka, sehingga aku bisa melihat buah d**a dan BH nya. Ajiibb, putih banget, dan buah dadanya terlihat cukup bulat dari atas. Bagian tengah dan bawahnya masih ditutupi oleh BH merahnya. Haishh, ini bukan waktunya memikirkan itu. Setelah selesai memakaikan celana bahan biru metalik itu kepadaku, ia langsung mengikatkan ikat pinggang ke celana bahan yang kukenakan itu. Gila, mungkin tidak sampai satu menit dia memakaikan semuanya padaku. Kemudian ia dengan rapi melipat jas biru metalik yang sudah disediakan itu, dan meletakannya di ranjang. "Aku mandi dulu ya pak." Kata Yuna seraya menuju kamar mandi. Sambil menunggu Yuna mandi, aku melihat-lihat menu mini bar di kamar. Tanpa sengaja, aku melihat kearah kanan, dan tampaklah pemandangan indah. Yuna sedang membuka baju terusan merah yang ia kenakan dari kemarin itu, hanya saja ia sedang membelakangiku. Tampaklah punggungnya dan perut bagian belakangnya yang cukup ramping, dan juga pantatnya yang bulat. Kemudian ia berjalan kesamping untuk menuju ruang shower. Dari tampak samping, aku bisa melihat buah d**a kanannya yang bulat, padat, dan kencang. Putingnya pun sedikit terlihat, berwarna merah muda, tidak terlalu kecil namun tidak terlalu besar. Sepertinya k*********a ditumbuhi oleh rambut-rambut, tapi aku tidak tahu seberapa lebatnya, karena dari samping hanya terlihat sekilas. Aku langsung mengalihkan pandanganku. "Istiqfar istiqfar..." Kataku sambil mengucapkan kata-kata yang sebetulnya bukan dari keyakinanku. Aku tidak terlalu peduli dengan tata cara dari keyakinan yang berbeda, selama artinya ditujukan berdasarkan Ketuhanan yang agamaku percayai, kenapa tidak boleh dilakukan? Selang beberapa menit, aku mendengar pintu kamar mandi dibuka, dan suara langkah kaki pun keluar dari kamar mandi. Aku yakin saat ini Yuna hanya memakai handuk saja, dan mungkin malah tidak memakai apapun. Aku sengaja menguatkan diriku untuk tidak menoleh kebelakang. Sraagg sreegg sraagg srreeegg... Aku mendengar suara seperti seleting yang terbuka dan suara pakaian yang dilepaskan ataupun dipakai. "Kita mao nunggu ato turun duluan pak?" Tanya Yuna. "Tunggu sebentar dulu. Jam lima lebih kita baru turun Yun. Jangan sampai kita datang paling pertama, jaga-jaga saja. Kalaupun ada yang berniat mencelakakan kita, paling tidak ia akan sedikit kesulitan jika banyak orang." Kataku. "Oke pak." Kata Yuna. Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya jam menunjukkan pukul 17.06 waktu Shanghai. Aku segera berdiri dari sofa bed yang tadinya kududuki, dan mengambil jas biru metalik yang sudah dilipat dengan rapi oleh Yuna di ranjang. Yuna pun sudah siap menunggu dihadapanku. Wajahnya masih seperti biasa, rambutnya sedikit lebih rapi karena sudah disisir, dan baju terusan biru metalik ala Cina yang melekat ditubuhnya tampak cocok sekali dengannya. Yah aku akui, Yuna pada dasarnya memang cantik, tampak identik sekali dengan penyanyi Korea yang bernama... aku sudah lupa namanya. Nama orang Korea itu susah-susah semua. Aku pun berjalan kearah pintu, dan membuka pintunya. Yuna segera menyusulku setelah mengambil kartu kunci kamar. Kami berdua segera menuruni lift untuk menuju tempat yang sudah dituliskan di undangan itu. "Ready yourself, Yuna. (Persiapkan dirimu, Yuna)" Kataku. Yuna hanya mengangguk pelan. "Stay close to me. (Jangan jauh-jauh dariku.)" Kata Yuna. "You too. Don't take a reckless action. (Kamu juga. Jangan mengambil tindakan yang gegabah.)" Kataku. Lift pun terbuka, dan kami sudah ada di lobby tempat kami lapor check-in di resepsionis tadi pagi. Yuna pun bertanya pada resepsionis mengenai arahan untuk ke tempat yang dituliskan di undangan. Setelah selesai, Yuna kembali kearahku, dan ia memimpinku untuk jalan ke tempat yang dituliskan di undangan. Setelah jalan berliku-liku, naik-turun tangga, belok kanan dan kiri, akhirnya kami sampai pada suatu pintu yang sangat besar dan sudah terbuka. Aku bisa mendengar, didalam ruangan dibalik pintu besar itu sudah sangat ramai dengan khalayak orang banyak. Aku melihat ke Yuna, dan menganggukan kepalaku. Yuna pun menganggukan kepalanya juga, dan kami berdua masuk ke dalam ruangan itu. Sesaat setelah kami melewati pintu besar itu, aku langsung merasakan aura membunuh yang sangat besar. Hanya saja, karena tercampur dengan aura banyak orang, aku tidak tahu apakah aura membunuh itu ditujukan kepada kami, ataukah kepada yang lain. Aku dan Yuna langsung saling bertatapan, menandakan Yuna pun menyadari pancaran aura membunuh yang besar itu. Aku melihat nomor kursiku dan Yuna yang tertera di undangan itu. T-16 dan T-17, cukup jauh dari kursi C-4 yang dikatakan oleh Bu Novi. Ruangan ini dibentuk seperti ruangan untuk pertunjukan orkestra opera. Ada dua tingkat, dengan panggung diujung depan bagian tengah, sementara kursi penonton mengelilingi panggung tersebut dari tiga sisi. Kursi kami berada di tingkat dua, dan berhadapan langsung dengan panggung. Tidak lama kemudian, ruangan ini pun sudah sangat penuh dengan orang. Mungkin jumlahnya ribuan. Kurasakan aura membunuh yang tadi belum juga hilang, hanya tercampur dengan aura orang lain, sehingga semakin sulit untuk dirasakan. Lima menit kemudian, lampu-lampu ruangan dimatikan, menyisakan lampu di panggung saja. Seorang presenter muncul dari balik panggung. "(Wong cing cung ceeng cong)..." Kata presenter itu. "Selamat sore semuanya. Terima kasih sudah jauh-jauh datang untuk menikmati acara pertunjukan ini. Dalam hitungan detik, acara akan segera dimulai. Selamat menikmati." Kata Yuna, menerjemahkan presenter itu. Setelah presenter itu mundur ke balik panggung, segerombolan orang yang membawa alat musik muncul dari balik panggung. Aku tidak mengerti alat musik secara detail, tapi kulihat seperti ada saxophone, biola, dan beberapa alat musik yang tidak kukenali bentuknya. Lalu, seorang yang sepertinya bertindak sebagai dirigen maju, dan semuanya membungkukkan badan kearah penonton. Kemudian dirigen itu berbalik badan, dan mulai menggerakan kedua tangannya yang memegang stik untuk dirigen (aku tidak tahu apa nama stik itu). Dalam sekejap, musik opera pun dimulai. Satu jam telah berlalu, dan musik opera itu belum juga selesai. Aku tidak terlalu menikmati pertunjukkan musik sebetulnya. Aku lihat Yuna tetap fokus menonton pertunjukkan ini, entah dia memang menikmati atau sedang mencermati sesuatu. Aku tidak mengerti kenapa Bu Novi menyuruhku menonton pertunjukkan ini. Dalam sekejap aku mendapatkan jawabannya, agar aku mendapatkan tiket pertunjukkan ini, dan aku bisa masuk ke dalam ruangan ini setelah orang bubar, tanpa dicurigai karena aku membawa tiket yang sudah dicap tanda masuk. Aura membunuh yang tadi kurasakan sudah hilang. Entah orang yang memancarkannya sudah keluar dari ruangan, atau ia terpana dengan pertunjukkan musik ini. Sepertinya memang terpana dengan pertunjukkan musik ini, karena benar-benar hilang tanpa jejak. Harusnya jika memang sudah keluar dari ruangan, jejak aura nya tetap ada. Karena aku memang orangnya tidak suka kesenian, aku tidak tahu sih bagaimana caranya menikmati pertunjukkan ini. Akhirnya yang kutunggu-tunggu selesai. Musik berhenti, dan seluruh personel membungkukkan badan kearah penonton. Setelah seluruh personel itu menghilang di balik panggung, presenter yang sama seperti yang tadi kembali muncul dari balik panggung. "(Wuceng shang shingg shung sheng shoongg)..." Kata presenter itu. "Terima kasih telah menyaksikan acara pertunjukkan ini. Acara pertunjukkan sudah selesai. Sekarang kami mempersilakan para tamu untuk keluar menuju ruangan baihu untuk menikmati hidangan yang telah disediakan." Kata Yuna. Tepuk tangan penonton meledak di seluruh ruangan ini. Beberapa penonton pun mulai berdiri untuk meninggalkan kursinya, diikuti dengan penonton yang lainnya. Aku lihat jam, jam sudah menunjukkan pukul 19.11 waktu Shanghai. Aku dan Yuna tetap duduk ditempat, menunggu setiap orang keluar. Aku melihat sekeliling. Pintu darurat berada di belakang kami, ujung kiri dan kanan kami. "Yun." Kataku sambil berdiri dari tempat duduk, diikuti Yuna yang juga ikut berdiri. Kami berbaur dengan orang-orang yang mengantri tangga turun ke tingkat satu untuk keluar dari ruangan. Tangga turun itu berada di dekat pintu darurat. Setelah dekat dengan pintu darurat, dan memastikan dibelakang tidak ada orang yang melihat, aku langsung masuk dengan cepat ke pintu darurat itu, disusul oleh Yuna yang menutup pintu darurat itu dengan cekatan sehingga tidak timbul suara. Di tangga darurat ini untungnya tidak ada siapa-siapa, sehingga kami tidak akan dicurigai. Aku menunggu, kira-kira satu jam lamanya. Aku membuka pintu darurat kembali menuju ruang pertunjukkan tadi, dan melihat bahwa ruangan sudah gelap, tidak ada orang. Aku dan Yuna berjalan menyusuri ruangan ini, untuk menemukan kursi yang dicari, yaitu C-4. Aku yang sudah dilatih survival oleh perusahaan, dimana pelatihan ini termasuk dari program kantor, langsung bisa membiasakan mataku dengan kegelapan ini. Aku lihat Yuna pun tidak ada masalah dengan kegelapan ini. Aku berjalan dengan pelan, menuruni tangga menuju tingkat satu. Sesampainya di tingkat satu, kami berjalan menyusuri tingkat satu, dan telah sampai di blok kursi C, tinggal menemukan kursi C-4. Tidak sampai sepuluh detik, aku sudah menemukannya. Yuna langsung mencari-cari kursi tersebut, sementara aku berjaga. Beberapa detik kemudian, Yuna mencolek kakiku, dan menggelengkan kepalanya, tanda tidak menemukan apapun. Hmmm, aneh. Apa mereka sudah menemukan istruksi nya terlebih dahulu? Aku mencoba duduk untuk berpikir. Saat duduk, aku mendengar bunyi yang aneh. Klek. Hmm? Aku kemudian berdiri lagi, dan duduk. Klek. Suara itu berasal dari arah kanan belakang kursi ini. Kemudian aku melongok ke kolong kursi mencari-cari penyebab suara itu. Jika aku duduk, suara itu timbul, pastilah berasal dari kaki kursi. Seluruh lantai ruangan ini dilapisi dengan karpet. Aku mengangkat memindahkan kursi itu sedikit ke kiri, dan Yuna pun langsung merobek karpet yang tadinya ditindih oleh kaki kursi kanan belakang. Hmmm, apa yang ada dibawah segmen karpet yang kecil ini... sebuah cermin yang menempel di lantai. Aku berpikir sejenak. Entah kenapa aku merasa cermin kecil ini bertanya kepadaku darimanakah aku berasal. Aku merasa pernah ditanya ini sebelumnya, dimana ya? Aku berpikir lagi, dan akhirnya aku ingat. Email Bu Novi yang berisikan kode yang harus kusampaikan kepada penjemput kami di Shanghai. "Did you come from Indonesia? Yes. But our origin remains dark in the depth of the mystery." Begitulah email itu bertuliskan. Aku sejenak berpikir. Our origin remains dark in the depth of the mystery (Asal muasal kita tetap tidak jelas didalam misteri). Misteri apakah yang dimaksud disini? Misteri terdalam dalam hidup kita adalah otak kita, menurutku. Otak.. otak... otak... Tunggu. Aku tiba-tiba teringat pernah melihat gambar otak dalam waktu dekat ini, ya... kemarin di taksi! Kemarin aku melihat gambar otak disuatu tempat. Dimana ya? Aku mulai mengingat-ingat kapan aku melihat gambar otak tersebut. Hmm, sesaat sebelum aku melihat rekaman live perselingkuhan Erna b*****t itu. Di smartphone-ku kah? Aku membuka smartphone-ku, dan memang di page paling terakhir, aku melihat ada aplikasi yang terinstall di-smartphone-ku, dengan gambar icon otak. Waktu itu aku berpikir bahwa itu adalah aplikasi game yang diinstall oleh Erna b*****t itu. Aku melihat detail dari aplikasi itu, dan aku mendapatkan bahwa aplikasi tersebut diinstall kemarin jam 04.23 dengan account Bu Novi. Rupanya dia mengambil smartphone-ku dan menginstall aplikasi tersebut dengan account miliknya. Aku buka aplikasi tersebut, namun aplikasi itu hanya memutar campuran spektrum warna-warna yang tidak beraturan. Kucoba kuhadapkan pada cermin itu, sehingga aku bisa melihat bayangan layar smartphone-ku di cermin itu. Spektrum-spektrum warna di layar smartphone-ku mulai bergerak, gerakannya sangat teratur, hingga akhirnya membentuk tulisan "20481 33096 11451". Teka-teki lagi kah? Hmmm, kumpulan tiga angka, sebuah ruangan berbentuk persegi yang besar. Familiar sekali rasanya. Aku ingat Lina pernah meng-handle proyek untuk satuan khusus operasi rahasia dari Rusia. Aplikasi sederhana untuk merekam bentuk ruangan, dan menjadikannya area tertutup, sehingga bisa mendapatkan koordinat dari posisi kita berdiri. Aha, itu dia, tiga angka itu adalah koordinat. Untungnya aplikasi tersebut pun ter-install di smartphone-ku. Aku menyalakan aplikasi tersebut, merekam ruangan ini, dan mendapati bahwa aku berada di koordinat yang sangat dekat dengan tiga angka yang ditunjukkan. Hmmm, untuk menyembunyikan sesuatu, sembunyikanlah di tempat yang paling terlihat oleh mata penonton, karena penonton pasti akan selalu berusaha melihat ke tempat yang tersembunyi.... kutipan dari pesulap yang kutonton waktu kecil. Akhirnya, aku dan Yuna sampai di koordinat yang ditunjukkan tersebut, dan dihadapanku adalah sebuah kursi penonton, D-1. Aku mengamati kursi tersebut, dan aku mendapati cermin yang sama seperti tadi tertempel diatap kursi bagian bawah. Kubuka kembali aplikasi otak tadi, dan kudekatkan pada cermin itu. Kali ini, cermin tersebut jatuh ke lantai bersama dengan suatu kotak. Haah, untuk mendapatkan instruksi ini saja, sulit sekali rasanya. Aku membuka kotak tersebut, dan menemukan satu kotak lagi serta sebuah memo bertuliskan, "The next meeting place is hidden inside the inner box. Don't lose it! (Tempat pertemuan selanjutnya tersembunyi di kotak dalam. Jangan sampai hilang!)" Aku segera menyimpan kotak itu didalam saku jasku. Tiba-tiba, aku merasakan aura membunuh yang amat besar, arahnya dari belakangku. Aku langsung menarik kursi D-2 dan memposisikannya sebagai barikade untukku dan Yuna. Clep...clep... Aku mendengar sesuatu dari balik kursi yang kujadikan barikade tersebut. Aku dan Yuna segera menunduk dan menarik kursi yang kujadikan barikade tersebut. Dua buah jarum melekat pada kursi tersebut. Yuna mencabut jarum itu, mencium bau di ujung jarum. "Isofluran." Bisik Yuna. Isofluran, kalau tidak salah obat bius anestesi untuk bius total. Hmmm, mau membius kami ya? Kemudian, Yuna mengambil sesuatu dari balik baju bagian bawahnya. Tiga buah pisau kecil. Lalu ia segera berlari kearah depanku sambil tetap merunduk, kemudian meloncat ke kursi yang ada di depannya, dan meloncat salto ke udara kerahku. Di udara, ia melemparkan tiga pisau itu kearah tembakan jarum tadi berasal. Yuna mendarat didepanku. Wuss wuss, tedengar sesuatu melesat diatasku. "Lima orang, tinggal dua." Bisik Yuna. Hmmm, berlari sambil merunduk agar lawan tidak bisa mengetahui posisinya. Sengaja lompat ke kursi dulu agar perhatian lawan tertuju kepada arah bunyi yang ditimbulkan oleh pendaratan kakinya di kursi, sehingga bidikan otomatis menjadi kurang akurat. Loncat salto ke udara, untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang berapa jumlah musuh dan posisi mereka. Memanfaatkan kelengahan sementara musuh karena sibuk merubah bidikan karena tiba-tiba, untuk menutupi kekurangan susahnya bergerak di udara, untuk melemparkan pisau. Segaja lompat kearahku, agar membuat bidikan lawan semakin susah untuk mengenai dirinya, dan juga agar langsung bisa melapor situasi kepadaku. Boleh juga kemampuannya. "Dua lagi dimana?" Bisikku. "Arah jam dua belas dan jam dua." Kata Yuna. Aku segera mengambil pistol yang disembunyikan oleh Yuna di paha kirinya, langsung berdiri dengan tegak dan memasang pandangan tajam. Ada gerakan di arah jam dua-ku, langsung saja kutembak kearah itu, dan tembakanku persis mengenai kepala orang itu. Hmm, memakai baju seragam lengkap seperti tentara, dan juga night vision, serta senapan yang sepertinya bisa menembakkan jarum. Kemudian, aku juga melihat gerakan yang tergesa-gesa diarah jam sebelas-ku. Langsung saja kutembak arah itu tanpa melihat. "Yun, gimana?" Tanyaku. Yuna langsung mengerti maksudku, dan mengeluarkan smartphone miliknya untuk mengecek sesuatu. "Ada saluran yang nyambung pak." Kata Yuna. "Oke, saatnya kita kabur dari hotel ini." Kataku, sambil berlari kearah pintu darurat di belakangku, diikuti oleh Yuna. "Nekat sekali pak tadi." Kata Yuna. "Ada perbedaan yang tipis, antara nekat dan yakin." Kataku. "Yang mana bapak tadi?" Tanya Yuna. "Menurutmu?" Tanyaku balik. Yuna hanya tersenyum manis. Dalam kurang dari lima menit, kami sudah keluar dari Park Hyatt Shanghai. Kami tetap berlari, menyusuri gang-gang, sambil mengandalkan intuisi untuk hotel yang bisa kami jadikan tempat persembunyian sementara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN