Sandra tersenyum semanis mungkin, sambil menatap mengejek perempuan di depannya yang sedang terlihat syok. Ekspresi wajah wanita itu terlihat begitu lucu bagi Sandra. Matanya membesar, dan mulutnya menganga. Pasti akan semakin lucu kalau ada lalat atau serangga terbang lainnya yang mungkin sedang kelelahan setelah terus menerus terbang, kemudian mendarat di dalam mulut wanita itu.
Oh … Sandra ingin tertawa keras. Gadis menahan susah payah tawa yang sudah nyaris lepas hingga terbatuk.
Rion melirik Sandra. Pemuda itu menarik pelan napasnya. Melihat dari ekspresi wajah Sandra, dia jelas tahu gadis itu sedang senang.
“Kamu gila, Rion?”
Suara Margaret yang terdengar keras langsung mengalihkan perhatian Rion dari Sandra. Pun dengan Sandra yang langsung kembali fokus pada perempuan dewasa di depannya.
“Kamu minta aku menyiapkan pernikahanmu? Besok?”
Rion dengan santai mengangguk. Akhirnya dia meminta bantuan Margaret untuk mengurus pernikahannya besok, karena hari ini jelas sudah tidak mungkin. Wajah pemuda itu sedatar lantai yang sedang diinjaknya. Berbeda 180 derajat dengan Margaret yang menampilkan wajah horor.
Bagaimana caranya Margaret mempercayai apa yang baru saja di dengarnya dari Rion? Anak muda yang dikenalnya tak banyak bicara, juga tidak pernah peduli pada sekitar. Itu yang dia pahami tentang sosok di depannya ini setelah tiga minggu mengenalnya.
“Kamu satu-satu orang yang kukenal di sini, Margaret. Yang juga bisa kupercaya.”
“Omong kosong,” sahut cepat Margaret dengan kulit wajah yang sudah merah padam. Wanita dengan riasan wajah tebal itu menoleh ke arah Sandra, kemudian menunjuk tepat ke wajah Sandra.
“Kamu. Pasti kamu kan yang memaksa Rion?” D*da yang mencuat keluar setengah bagiannya itu bergerak cepat seiring tarikan dan hembusan napas cepat sang pemilik. Menandakan jika wanita itu sedang emosi. Melihat gadis yang ditanya hanya mengangkat ringan kedua bahunya, sepasang mata Margaret kembali terbuka lebar.
“Katakan! Berapa yang harus Rion bayar supaya kamu mau melepasnya?”
“Margaret,” panggil Rion dengan nada berat dan rendah. Namun, orang yang dipanggil hanya melirik tidak lebih dari satu kejap mata. “Ayolah Margaret. Ini urusanku. Bukan—”
“Apa?!” tanya Margaret sambil menoleh ke arah Rion. “Mau bilang bukan urusanku? Kamu orang baru di sini, Rion. Kalau kamu tidak mendengarku, kamu bisa celaka. Jangan pikir orang-orang yang dari luar terlihat baik itu baik. Kamu lihat perempuan ini. Dia terlihat baik di luar bukan? Tapi buktinya apa? Sekarang kamu terjebak dan harus menikah dengannya.”
“Wah … wah … jadi kamu keberatan Rion menikah denganku?’
“Tentu saja. Perempuan sepertimu tidak pantas menikah dengan Rion. Lagi pula … lihat dirimu. Anak kecil sepertimu seharusnya berada di sekolah. Bukan malah memaksa pria untuk menikahimu. Dasar tidak berguna. Orang tuamu pasti menyesal memiliki anak sepertimu.”
Mendengar kalimat terakhir Margaret, ekspresi wajah Sandra yang semula setenang air laut tanpa ombak, mulai berubah. Riak-riak kecil itu muncul.
“Cepat katakan, anak bodoh. Berapa uang yang kamu mau untuk melepas Rion?”
Sandra mengepal tangan kuat-kuat.
“Jangan sampai aku memberitahu orang tuamu apa yang sudah anaknya lakukan. Mengancam seorang pria untuk menikahinya. Kenapa, kamu hamil?”
“Sudah, Margaret. Aku memintamu membantuku karena aku menghargaimu sebagai satu-satunya orang yang kukenal dan percaya di sini. Aku tidak perlu pesta. Hanya upacara pernikahan sederhana. Itu saja.”
“Aku tidak mau. Aku akan membayar berapapun hutangmu pada perempuan sialan ini. Masa depanmu masih panjang, Rion. Sudah kukatakan kamu bisa bekerja di tempatku untuk mendapatkan uang. Aku akan menggajimu dengan pantas.”
Margaret menarik langkah ke depan Sandra. Wanita itu sudah akan kembali bersuara ketika merasakan cekalan di tangan kanannya. Wanita itu refleks langsung menoleh ke kanan. Mulutnya terbuka, namun tidak ada kata yang keluar ketika Rion sudah lebih cepat bersuara.
“Ini keputusanku. Aku yang membuat keputusan untuk hidupku sendiri. Jadi, tolong bantu aku menyiapkannya.”
“Rion ….” Margaret menggelengkan kepala. Menatap tidak rela.
Rion tersenyum tipis. “Terima kasih bantuannya, Margaret.” Rion tidak menggubris rengekan Margaret. Pria muda itu menoleh ke samping. “Ayo, bukankah kamu harus mencari gaun pengantin?”
Ditanya seperti itu oleh Rion, senyum langsung mengembang di wajah cantik Sandra. Melirik Margaret, Sandra mendekati Rion kemudian memeluk sebelah tangan Rion. “Iya. Ayo kita pergi sekarang, Calon Suami,” ujar Sandra yang detik berikutnya terkekeh ketika melihat kening Rion mengerut.
Sandra berdehem seraya mengalihkan perhatian pada Margaret. “Um, kami permisi dulu. Jangan lupa permintaan calon suamiku.” Sandra tersenyum lebar melihat ekspresi wajah Margaret. “Ayo, Sayang. Butiknya pasti sudah buka.” Sandra menarik tangan Rion. Kembali melirik Margaret ketika berjalan melewati wanita itu.
Sementara Margaret kesal setengah mati karena Rion tidak mau mendengarnya. Padahal dia bersedia untuk membantu. Wanita itu mengepal kuat kedua tangannya. Berteriak untuk melampiaskan rasa kesalnya, seraya menghentak sebelah kaki ke lantai. Gerakan yang ternyata salah karena setelahnya dia harus kembali berteriak karena kesakitan.
Sandra yang masih bisa mendengar dengan jelas teriakan Margaret hanya meringis sambil mengangkat kedua bahunya.
“Sudah, lepas,” ketus Rion sambil melepas kedua tangan Sandra yang melingkari tangannya. Mereka sudah keluar dari tempat Margaret. Sudah tidak perlu lagi bersandiwara seolah mereka benar-benar pasangan yang saling cinta dan menginginkan pernikahan.
“Ya ampun. Galak benar. Aku jadi makin suka.” Sandra terkekeh. Sementara Rion geleng-geleng kepala.
Rion mempercepat ayunan kaki menuju motor kesayangannya terparkir. Tak ia hiraukan tawa Sandra. “Gadis gila. Mimpi apa aku sampai bertemu perempuan gila seperti itu.” Rion berdecak. Pria itu menarik sebanyak mungkin oksigen masuk melalui celah mulut.
Rion langsung naik ke atas motor kemudian memakai helm. Pria itu menoleh saat merasakan seseorang naik ke boncengannya. Menatap Sandra, sepasang alir pria muda itu mengerut. “Helm siapa itu?" tanya Rion melihat Sandra membawa helm berwarna putih.
Sandra dengan santainya mengangkat bahu, lalu dua detik berikutnya sepasang bibir gadis itu terbelah. “Tidak tahu. Aku ambil di sana,” ujarnya sambil mengedik ke arah motor yang terparkir tak jauh dari tempat mereka berada.
Sandra memperlihatkan cengiran saat Rion masih menatapnya. Gadis itu segera memakai helm entah milik siapa. Dia hanya meminjam. Akan ia kembalikan setelah urusannya selesai, janji Sandra dalam hati.
Mendengar suara motor Rion, Sandra melingkarkan kedua tangan ke perut Rion hingga dadanya menempel ke punggung Rion.
Rion menggerakkan bahunya. "Jauhkan dadamu dari punggungku, Gadis Sinting,” ujar Rion seraya menggerakkan bola mata ke arah spion. Sebelah tangannya sudah memutar-mutar gas.
“Kamu tidak suka? Kurang empuk, atau kurang besar?” tanya Sandra sambil menarik ke belakang punggungnya. Memberi sedikit jarak dengan punggung Rion. Sandra mencebik saat Rion tidak menjawab. Yah … mungkin kurang dua-duanya, batinnya. Kurang besar dan kurang empuk dibanding d*da perempuan club itu. Ah, sial--kesal Sandra merasa kalah dibanding Margaret.
“Aaaaa ….” Sandra memekik ketika motor tiba-tiba melaju tanpa aba-aba. Refleks ia langsung mengeratkan dua tangan yang melingkari perut Rion. Alhasil, d*danya kembali menempel ke punggung Rion.
“Bilang saja kamu mau kupeluk. Tidak perlu pura-pura tidak suka. Aku tahu semua pria menyukai d*da perempuan.” Lalu Sandra tertawa.