Bab 11.

1121 Kata
Rion duduk di sofa dengan punggung menyandar. Sementara tangannya memainkan layar ponsel. Sesekali napasnya tertarik panjang. Sepasang mata pemuda itu menatap layar lekat-lekat. Hembusan karbondioksida keluar dari lubang hidung, lantaran kedua belah bibirnya terkatup rapat. Rion sedang membaca pesan yang dikirimkan oleh seseorang melalui email. Dia sudah tidak memakai nomor ponselnya yang lama. Dia benar-benar tidak ingin berhubungan dengan siapapun dari keluarga Jaquine. Itu niatnya. Namun, melihat satu nama sebagai pengirim email itu, Rion tidak bisa tidak membukanya. Berbeda dengan keluarganya yang lain. Tidak satupun email, ata DM sosial media yang dia buka. Tak satupun. Bahkan tidak dari si kembar sekali pun. Namun, Lethicia adalah nama yang tidak bisa dia abaikan. Tidak bisa! Rion menekan layar, lalu ketikan sang mama terpampang di depan matanya. Rion menarik pelan namun panjang napasnya. Baru membaca baris pertama ketikan mamanya saja dia sudah ingin menangis. Apa mungkin wanita itu sekarang sudah tahu? Apa kabar hatinya? Apa dia baik-baik saja? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Rion sedih. Sepasang mata pemuda itu berkaca. Rion mengatur tarikan dan hembusan napasnya. Rion mengalihkan sesaat tatapannya dari layar ponsel agar bisa menenangkan perasaannya yang seketika kacau. Apa mamanya sekarang benci padanya? Jika perempuan itu sudah tahu siapa ayah kandungnya yang sebenarnya, apa mamanya itu masih akan tersenyum padanya? Masih akan memeluknya hangat? Masih akan mengajaknya makan salmon bersama? Rion merasakan dadanya bergejolak. Tanpa sadar pria itu mengepal tangannya. “Rion!” Rion mengedip. Segera ia susut cairan yang mengumpul di ujung mata sebelum memutar kepala ke arah suara keras itu terdengar. Dasar tidak punya sopan santun, batin Rion melihat siapa yang sedang berjalan ke arahnya dengan mengangkat dua sisi gaun pengantin yang membalut tubuhnya. Rion berdecak kesal. Sementara itu Sandra berjalan dengan senyum mengembang, menghampiri sosok pemuda yang akan menjadi suaminya. “Bagaimana menurutmu? Bagus, tidak?” tanya Sandra setelah tiba di depan Rion. Gadis itu menurunkan sisi gaun pengantin yang ia angkat untuk mempermudah langkah kakinya. Menoleh ke samping saat merasakan pergerakan seseorang. Pelayan butik yang membantunya mengangkat ekor gaun sudah berdiri di sebelahnya. Melihat Rion menatapnya dengan enggan, bibir Sandra tertekuk. Pria yang satu ini memang aneh. Apa Rion tidak bisa membedakan perempuan cantik dan jelek? Kenapa melihat dirinya yang secantik ini seperti tidak b*******h? Sandra berdecih mengingat perempuan club bernama Margaret. Apa memang selera Rion yang seperti itu? Body emak-emak dengan d*da dan p****t besar? Astaga … rendah sekali seleranya, kesal Sandra. Sandra mengangkat kedua tangan ke pinggang. “Kamu tidak suka gaun ini?” tanya Sandra dengan sorot mata kesal. Rion menggulir bola mata. Sekilas pemuda itu menyapu penampilan Sandra. Sepasang bibirnya berkerut. Rion membiarkan Sandra beberapa saat tanpa menyadari kekesalan gadis itu. “Terserah kamu mau yang mana,” ujar Rion setelah beberapa saat hanya membuat Sandra kesal sendiri. “Apa tidak bisa menjawab, suka atau tidak? Kalau suka aku akan ambil yang ini, kalau kamu tidak suka, aku akan coba gaun lainnya.” “Kamu yang akan memakainya, kenapa aku yang harus memutuskan?’ tanya Rion yang berhasil membuat tanduk di kepala Sandra keluar seketika. Buru-buru Sandra mengatur napas untuk menenangkan gejolak emosinya. Dia hampir lupa siapa yang sedang ia hadapi saat ini. Kalau Rion tidak semenyebalkan ini, dia tidak akan menawarkan peran suami padanya. Sandra membulatkan mulut. Menarik sebanyak mungkin oksigen masuk mengisi paru-paru, lalu menahan beberapa detik sebelum menghembus karbondioksida. Terakhir, Sandra menghembus kasar napasnya. Sekarang dia sudah sedikit lebih tenang. “Baiklah. Karena calon suamiku begitu baik menyerahkan semua padaku, baiklah.” Sandra tersenyum sambil menggerakkan kepala turun naik beberapa kali. Gadis itu kemudian menoleh ke samping. “Aku ambil yang ini,” kata Sandra pada pelayan butik yang sudah membantunya memakai gaun panjang mengembang itu dengan susah payah, lalu dengan senang hati memegangi ekor panjang gaunnya. Dia tidak akan membiarkan kerja pelayan ini sia-sia dengan tidak jadi membeli gaun yang ia pakai. “Tapi sebelumnya, tolong bantu ambilkan foto kami. Aku harus mengirimnya ke orang tuaku. Mereka pasti senang melihatnya,” ujar Sandra sambil tersenyum lebar. “Baik, Nona. Silahkan, mau foto di mana?” “Di sini saja tidak apa-apa.” Lalu Sandra memutar kepala ke arah sofa. “Ayo, Rion,” ajak gadis itu dengan sepasang mata melotot memberi ancaman. Seolah mengatakan ‘Jangan menolak, ini bagian dari perjanjian.’ Meskipun enggan, Rion tetap beranjak dari tempat duduk. Tangannya bergerak mematikan layar ponsel, kemudian memasukkan benda penghubung tersebut ke salah satu saku jaketnya. Rion melangkah menghampiri Sandra yang masih tersenyum lebar. Heran … kenapa gadis itu terlihat begitu senang? Padahal pernikahan mereka hanya sandiwara. Oh … sebesar itu Sandra ingin cepat-cepat membuat orang tuanya marah? Rion berdecak pelan begitu Sandra meraih sebelah tangannya, kemudian memeluk. Akan tetapi, sekalipun kesal setengah mati, lagi-lagi Rion tidak melakukan apapun. Rion berdiri di samping Sandra dengan ekspresi wajah datar, sementara sang calon pengantin perempuan tersenyum lebar. Pekerja butik yang sudah memegang iphone milik Sandra menatap bingung dua orang calon pengantin di depannya. Wanita muda itu mengangkat ponsel—mengarahkan kamera ke arah keduanya. Jarinya sudah akan menekan tombol, namun gagal. Dia merasa aneh. Wanita muda itu menurunkan kembali ponsel di tangannya. Membuat Rion serta Sandra menatap dengan kernyit di kening. “Maaf, Tuan. Tolon senyum,” pinta sang pekerja butik pada Rion yang membalas dengan tatapan memicing. “Oh … jangan khawatir. Dia memang mukanya muka papan penggilasan. Memang seperti itu. Tidak apa-apa, ambil saja foto kami seperti itu,” ujar Sandra menenangkan sang pegawai butik. Mungkin pegawai itu takut ia marah saat ia melihat hasil jepretannya. “Oh, begitu?” Sandra mengangguk mantap. “Iya. Ayo, cepat ambil fotonya. Setelah ini kami masih harus mencari setelan tuxedo untuk calon suamiku.” Sandra kembali memeluk sebelah tangan Rion seraya melebarkan senyum. Sementara Rion kembali menatap ke depan dengan ekspresi seperti semula. Setelah mengambil gambar beberapa kali, pegawai butik itu mengembalikan iphone milik Sandra. “Terima kasih," ujar Sandra yang langsung memeriksa hasil jepretan sang pegawai butik. Gadis itu tersenyum penuh rahasia. Sandra memilih satu foto yang menurut versinya paling bagus, kemudian mengirimnya ke salah satu kontak. Sandra menatap puas. Sebentar lagi. Jika mamanya langsung melihat foto kirimannya itu, Sandra yakin ponselnya sebentar lagi akan berdering. “Aku bayar dulu gaunnya,” ujar Sandra yang sudah menoleh ke arah Rion. Gadis itu tersenyum lebar, sementara yang diberi senyum hanya menggeleng-gelengkan kepala. Sandra memperhatikan pergerakan Rion yang kini berjalan kembali ke arah sofa. Sandra menghembus napas lega. Baru saja Sandra memutar tubuh berniat untuk mengikuti pegawai butik ke kasir, iphone di tangannya berdering. Mendekatkan benda yang masih bersuara cukup keras itu, kedua mata gadis itu mengecil. Tebakannya tidak salah. Sandra berdehem sebelum menekan tombol terima, lalu membawa benda penghubung itu menempel telinga kiri. “Hal—” “Apa-apaan kamu, Sandra? Menikah? Berandalan mana yang kamu pungut di jalanan, hah?” "Jangan gila. Batalkan rencanamu itu, anak b*doh!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN