Bab 13.

1328 Kata
“Aku tidak percaya ini. Kamu benar-benar akan menikah?” Sandra berdecak. “Apa kamu tidak melihat gaun pengantinku ini?" tanya gadis itu pada sang sahabat. Sandra sengaja menghubungi Frida untuk menghadiri pernikahannya. Ah, lebih tepatnya, dia meminta Frida untuk menemaninya. Setidaknya ada orang terdekat yang berada di sampingnya. “Bagaimana bisa kamu menikah dengannya? Kamu belum mengenalnya, San. Dia itu—” “Siapa bilang aku belum mengenalnya? Aku sudah mengenalnya dengan baik. Dua malam ini kami tidur bersama.” Frida langsung tersedak ludahnya sendiri. Sepasang mata gadis itu membesar. “Sepertinya kamu sudah gila.” “Mama dan papa juga mengatakan aku gila.” Sandra tersenyum. Wanita itu melirik sang sahabat yang berdiri di sebelahnya. “Tolong jangan bergerak dulu. Sebentar saja.” Sandra langsung meluruskan pandangan matanya. Senyum yang semula terukir kini tidak lagi tampak. Sandra menatap Frida dari pantulan cermin di depannya. Tarikan napas pelan gadis itu lakukan. Frida geleng-geleng kepala. Masih tidak percaya hari ini Sandra akan menikah. Dengan siapa? Rion. Si pembalap gila. Bagaimana bisa? Frida membuka mulutnya hanya untuk menghembus keras karbondioksida keluar. “Masih belum selesai?” Sandra refleks menggulir bola mata, mencari keberadaan sang pemilik suara dari dalam pantulan kaca. Sementara Frida langsung memutar kepala ke arah datangnya suara. Sahabat Sandra itu menelan saliva susah payah melihat sosok pemuda tampan gagah yang memakai setelan tuxedo berwarna putih. Pemuda itu berdiri di ambang pintu. “Rion,” gumam Frida. Dia jelas tahu Rion tampan. Namun kali ini, dengan pakaian mahal yang membalut tubuh pemuda itu, ketampanan Rion bertambah berkali lipat. Apa Sandra tersihir ketampanan pemuda itu, hingga dengan mudah memutuskan untuk menikah? Frida berdehem ketika bola mata Rion bergerak ke arahnya. “Sebentar lagi selesai, kok.” Frida akhirnya menjawab pertenyaan Rion. Gadis itu tersenyum kikuk. Dia sendiri belum mengenal Rion. Hanya tahu namanya dan sepak terjang pemuda itu di arena balap liar. “Cepatlah sedikit. Waktu kita tidak banyak, Sandra.” Rion mengangkat tangan kiri. Menghembus napas kala memperhatikan benda yang melingkari pergelangannya. “Iya … iya.” Sandra kemudian menghentikan MUA yang sedang meriasnya. “Sudah cukup. Calon suamiku sudah tidak sabar,” ujar Sandra sambil tersenyum kecil. Gadis itu kemudian beranjak dari tempat duduknya, Sandra memutar langkah lalu mengayunnya. “Ayo, aku sudah siap.” Frida buru-buru membungkuk lalu meraih ekor gaun pengantin Sandra. Gadis itu berdecak lantaran Sandra berjalan tanpa peduli pada gaun pengantinnya. “Hati-hati jalannya, nanti gaunmu rusak.” Sandra meraih sebelah tangan Rion. Dengan santai gadis itu memeluknya. “Kamu tampan sekali hari ini, Calon suamiku.” ‘Uhuk! Uhuk!’ Sang MUA yang sudah ikut berjalan keluar ruangan, serta Frida--keduanya terbatuk bersamaan mendengar pujian Sandra pada Rion. Sementara Sandra sendiri justru terkekeh sambil menepuk-nepuk pelan lengan kokoh Rion. “Sandra, ponselmu,” ujar Frida kala mendengar suara nada panggil yang jelas bukan miliknya. Jika bukan ponselnya yang berbunyi, berarti ponsel milik Sandra karena di dalam tas yang ia bawa, hanya ada dua ponsel tersebut. Sedikit kesulitan karena satu tangannya bertahan memegangi ekor gaun pengantin Sandra, Frida membuka tas lalu meraih benda yang masih belum berhenti mengeluarkan suara. Sandra menahan tangan Rion saat mereka tiba di depan lift. Gadis itu mengambil ponsel dari tangan Frida. “Ya ampun, mamaku tercinta ternyata.” Sandra tertawa. Suara pintu lift yang terbuka, membuat Sandra menekan tombol berwarna merah, lalu dengan sengaja mematikan power ponsel. Gadis itu melangkah masuk ke dalam lift dengan senyum terkulum. Sandra menarik napas panjang lalu menghembus pelan. Senang membayangkan mamanya pasti sedang mengumpat berulang kali karena tidak bisa menghubungi dirinya. Tak lama berada di dalam lift, tiga orang itu melangkah keluar begitu pintu besi di depan mereka kembali terbuka. “Kalian mau ke mana?” tanya Frida bingung lantaran arah jalan yang diambil Rion dan Sandra bukan ke arah parkiran mobil. “Tunggu, jangan bilang kalau kalian mau naik … motor?” “Ada masalah dengan naik motor?” tanya Rion seraya melirik ke belakang, namun tidak memutar kepalanya. Pemuda itu berjalan ke arah motor balapnya terparkir. “Ta-tapi … bagaimana dengan Sandra?” Frida—masih tidak melepas ekor gaun pengantin sang teman, melangkah lebih cepat hingga bisa berjalan beriringan dengan Sandra. “San, gaun pengantin kamu, rambut kamu, make up kamu.” “Tidak masalah, Frida. Nanti kamu bisa memperbaikinya kalau perlu. Lagipula, aku tetap akan terlihat cantik sekalipun rambutku berantakan, bukankah begitu?” tanya Sandra dengan penuh rasa percaya diri. Sandra tersenyum. Sebelah tangannya meraih ujung gaun yang dipegang oleh sang teman. “Aku tidak mungkin meninggalkan calon suamiku. Aku akan ikut dengannya. Kamu bisa mengikuti kami dengan mobilmu. Oke?” Sandra mengangkat kedua alisnya. Frida mengedip beberapa kali. “Kalau begitu, untuk apa kamu buang uang membayar MUA dan hair stylist? Dasar gila.” Sandra tergelak. “Ya untuk membuang uang," sahut Sandra membuat sang teman mendelik. "Kita ketemu di gereja. Sekarang aku harus pergi. Calon suamiku sudah tidak sabar. Khawatir kami akan terlambat. Bye, Frida. See you.” Lalu Sandra kembali mengikuti langkah Rion menuju motor pria itu terparkir. “Yakin kamu akan ikut denganku naik motor? Kamu bisa naik mobil bersama temanmu itu. Atau, kalau kamu berubah pikiran, masih ada waktu. Jangan khawatir, aku tidak akan meminta uang ganti rugi ataupun denda.” Sandra tersenyum sambil menggeleng. “Tidak. Aku tidak mungkin merubah keputusanku disaat semua sudah berjalan sesuai rencana. Di bagian lain dunia ini, ada dua orang suami istri yang pasti sedang marah besar sekarang. Tanduk mereka keluar, dan hidung mereka mengeluarkan asap.” Sandra tergelak membayangkan kedua orang tuanya seperti yang ia gambarkan pada Rion. “Temanmu benar, kamu memang sudah gila, Sandra. Kamu tidak takut suatu saat nanti mendapat karma karena sudah melawan orang tuamu?” “Ayolah, Rion. Kupikir kamu sudah bisa memahami perasaanku. Perasaan anak yang tidak pernah mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya. Aku tumbuh bersama para pembantu di rumah megah mereka, sedangkan mereka tidak pernah ada untukku. Mereka tidak pernah datang ke sekolahku. Mereka tidak pernah bermain denganku. Apa aku bisa menyebut mereka orang tuaku?” Rion tidak menjawab. Pria itu meraih helm, kemudian memberikannya pada Sandra. Tanpa mengatakan apapun, Rion naik ke atas motor lalu memakai pelindung kepalanya sendiri. Pemuda itu melirik ke arah spion, menunggu Sandra yang sedikit kerepotan naik ke atas boncengan motor dengan memegangi ujung gaun pengantinnya. “Ah … akhirnya.” Sandra memastikan tidak ada ujung gaun yang beresiko masuk ke jeruji roda. Tersenyum, gadis itu menepuk bahu Rion. “Ayo kita berangkat ke tempat pernikahan kita.” Rion menarik gas, melajukan motor keluar dari halaman gedung flat tempatnya tinggal. Pria itu sesekali melirik kaca spion hanya untuk memastikan posisi Sandra, sebelum melajukan motor lebih cepat lagi. Di belakang mereka, sebuah mobil sedan putih mengikuti. Frida yang mengemudikan. Rion meliukkan motor mendahului beberapa kendaraan di depannya. Sementara Sandra memeluk erat pinggang Rion saat motor melaju lebih cepat. Motor itu terus melaju bersama banyak macam kendaraan, yang pagi menjelang siang itu seolah berebutan untuk tiba di tempat tujuan mereka lebih dulu. “Apa orang tuamu punya pengawal?” tanya Rion sambil melirik ke arah spion. “Hah? Apa?” “Apa orang tuamu punya pengawal?!” Rion mengulang dengan suara yang lebih keras. “Oh … tentu saja. Memangnya kenapa?” sahut Sandra dengan suara yang juga keras. Khawatir Rion tidak akan mendengar suaranya yang kabur tertiup angin. “s**t,” umpat Rion. Bola mata pemuda itu bergerak kembali ke arah kaca yang memperlihatkan keadaan di belakangnya. Rion kembali mendahului dua mobil sekaligus. Motor itu meliuk ke kanan lalu ke kiri. Sementara bola mata sang pengendara kembali bergeser ke samping. “Orang tuamu bergerak cepat. Sialan.” Rion mengumpat. “Ada apa?” tanya Sandra bingung. Gadis itu kemudian menoleh ke belakang. Sepasang matanya membesar seketika kala melihat dua sedah hitam melaju cepat di belakang mereka.” “Mereka pengawal orang tuamu, bukan?” tanya Rion. Satu sudut bibir pria itu terangkat kala melihat mobil di belakangnya berusaha untuk mengejarnya. Sepasang mata pemuda itu mengecil. "Pegangan lebih kuat, Sandra. Kita akan bermain bersama mereka."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN