Sandra mengeratkan pelukannya. Ujung bawah gaunnya berkibar tertiup angin. Sesekali gadis itu menoleh ke belakang. Memperhatikan dua mobil sedan warna hitam yang melaju semakin cepat. Membulatkan mulut, Sandra menghembus napas saat merasakan tubuhnya meliuk ke kiri lalu kanan. Ough … Sandra merasakan adrenalinnya terpacu.
Suara klakson bersahutan terdengar, ketika Rion mendahului beberapa mobil dengan kecepatan tinggi. Membuat para pengendara yang didahului terkejut lalu mengumpat. Rion terus memacu motornya. Begitu melihat celah untuk mendahului meskipun hanya celah yang memungkinkan satu motor melaju—pria itu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk menambah bentangan jarak dengan dua mobil yang mengejarnya.
Sandra tersenyum saat menoleh dan melihat dua mobil hitam itu terhalang beberapa pengendara. Gadis itu tertawa mendengar suara klakson panjang yang pastinya berasal dari dua mobil pengawal orang tuanya itu.
Rion hanya melirik sesaat ke spion saat mendengar tawa Sandra. Pemuda itu kembali menambah kecepatan begitu jalanan di depannya terbuka. Rion meliukkan motornya, mendahului pengendara motor, mobil, bahkan bus yang sedang melaju dengan kecepatan di atas rata-rata.
Rion menyeringai kala tak lagi melihat dua mobil pengawal orang tua Sandra di belakangnya.
“Mereka sudah ketinggalan,” kata Sandra yang masih menoleh ke belakang. Meluruskan kepala ke depan, Sandra menepuk bahu Rion, sementara satu tangan yang lain masih melingkar di pinggang Rion. “Good job, partner,” kata Sandra memuji Rion. Sementara yang dipuji hanya memutar bola mata.
“Pantas saja julukanmu si pembalap gila.” Sandra tertawa senang. Oh … hidupnya sekarang mulai berwarna. Dia mulai bisa melihat ternyata dunia tidak hanya ada warna hitam dan abu-abu. Sekarang dia bisa melihat warna merah, kuning, biru, hijau. Warna-warna yang begitu indah. Dan semua itu karena … Rion.
Rion tidak menanggapi. Dia tidak peduli pada apapun yang orang katakan tentangnya. Dia tidak peduli pada penilaian orang lain. Saat ini, Rion bahkan tidak begitu peduli pada hidupnya sendiri. Dia bertahan hidup tanpa tujuan. Tanpa mimpi.
Rion melirik spion sebelum membelokkan stang. Tempat tujuannya sudah terlihat. Tak lama kemudian, motor balap itu sudah melaju memasuki pelataran sebuah gereja di kota tersebut. Rion bisa melihat seorang wanita yang dikenalnya—berdiri di depan bangunan tersebut.
Rion bersyukur bertemu dengan Margaret. Mungkin, banyak orang yang menatap wanita itu sebelah mata karena pekerjaannya, namun wanita itu sebenarnya baik. Dan Rion sudah merasakan kebaikan Margaret. Itu sebabnya, Rion sangat percaya pada Margaret.
Menghentikan laju motornya, Rion menyangga kendaraan roda dua tersebut dengan kakinya. Pemuda itu melepas helm. Menoleh, sebelah tangannya terulur membantu Sandra turun dari boncengan motor sebelum Rion sendiri turun dan menstandarkan motornya.
“Kalian lama sekali. Ayo, cepat. Pendetanya sudah menunggu!” Margaret berteriak dari tempatnya berdiri.
Sandra meletakkan helm ke atas jok motor begitu saja, kemudian sambil memegangi ekor panjang gaunnya, gadis yang memakai heels 10 cm itu setengah berlari menyusul Rion yang sudah lebih dulu berjalan. Berdecih karena Rion sama sekali tidak menunggunya, apalagi terpikir membantunya memegangi ekor gaunnya.
Sandra menggelengkan kepala, lalu tersenyum. Mengingat kembali jika karena sifat Rion yang menyebalkan itu lah, yang membuatnya memutuskan untuk menikah dengan pemuda tersebut.
Sandra menarik napas dalam lalu menghembuskannya. Masih sambil memegangi gaunnya, gadis itu berhenti melangkah di depan Margaret. Sandra tersenyum hingga sepasang matanya mengecil.
Margaret berdecih. Wanita itu mengamati penampilan Sandra dari kepala hingga ke kaki. Wajahnya memperlihatkan ketidaksukaan. Meskipun begitu, bukan Sandra kalau langsung tersinggung. Sandra justru semakin melebarkan senyumnya.
“Bagaimana menurutmu? Gaunku ini sangat bagus, bukan?” tanya Sandra bangga memperlihatkan gaun yang menurutnya sangat indah.
Margaret berdecak. “Sudah … cepat masuk.” Lalu Margaret melirik Rion. Wanita itu menarik napas dalam. Menghembus perlahan, Margaret menarik langkah mendekati Rion. Wanita itu mendongak. Menatap Rion sambil cemberut. Meskipun begitu, kedua tangan Margaret bergerak terangkat. Wanita itu merapikan pakaian Rion yang sedikit lecek.
Sandra memperhatikan Margaret dengan bibir mencebik. Gadis itu kemudian merapikan rambut dengan sebelah tangan, sementara tangan yang lain masih tak melepas ekor gaunnya.
Sambil berdecak, Margaret mengomel. “Aku tidak menyukai calon istrimu.” Margaret mengusap-usap, seolah sedang membersihkan debu dari jas yang membalut tubuh Rion. “Aku bisa mencarikanmu perempuan yang lebih cantik dan seksi, kalau kamu tidak mau denganku.”
Rion hanya menggelengkan kepala mendengar apa yang Margaret katakan, sementara Sandra langsung menoleh kemudian mendelik.
“Wah … kamu sudah tidak punya malu ternyata. Bisa-bisanya kamu menawarkan diri pada pria yang sudah akan menikah denganku,” kata Sandra sambil geleng-geleng kepala.
Rion melirik Sandra. Membuat orang yang dilirik langsung berdehem. Lirikan mata Rion seolah mengatakan, ‘memangnya kamu tidak? Lupa, kalau kamu juga menawarkan diri padaku? Bahkan memaksaku?’
Sandra tertawa. Gadis itu kemudian meraih sebelah tangan Rion lalu menariknya. “Ayo, Calon suami. Kita tidak boleh membiarkan pak pendeta menunggu lama.” Sandra melotot ke arah Margaret sebelum mengayun langkah seraya menarik tangan Rion masuk ke dalam gereja.
Meskipun dengan wajah kesal, Margaret tetap saja memutar tubuh lalu ikut mengayun langkah di belakang Rion dan Sandra.
****
Frida segera memarkirkan mobil setelah tiba di gereja tempat pemberkatan pernikahan Sandra dan Rion. Gadis itu berdecak seraya keluar dari dalam mobil. Menutup pintu setengah membanting, lalu berjalan dengan langkah cepat. Sialan. Dia ketinggalan. Rion melajukan motornya seperti di arena balap. Dasar gila, batin Frida yang tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi pada Rion dan Sandra di jalanan tadi.
Semakin dekat langkah kakinya, Frida bisa mendengar suara Sandra. Frida berlari masuk. Langkah cepat gadis itu berhenti begitu melihat di depan sana, Sandra berdiri berhadapan dengan Rion, sedang mengucapkan janji pernikahannya.
Dengan mulut setengah terbuka, Frida menarik dan menghembus napas cepat. D*da gadis itu bergerak kentara. Sepasang matanya menatap tanpa kedip sepasang anak manusia yang baru saja mengikat tali pernikahan. Frida tak habis pikir dengan keputusan Sandra menikah muda dengan seseorang yang baru dikenal.
Sementara Frida masih terpaku menatap sang sahabat yang baru saja mengakhiri masa lajangnya, Sandra dengan posisi kepala sedikit mendongak—meskipun dia sudah memakai heels 10 cm, menatap lekat sepasang mata dengan manik hitam yang terlihat begitu kelam, seolah menyembunyikan banyak kesakitan.
Sandra mengedip. Mulutnya setengah terbuka.
Rion membalas tatapan mata Sandra yang nyaris tanpa kedip. Akhirnya mereka benar-benar disatukan dalam satu ikatan pernikahan yang sakral, tanpa ada yang tahu alasan pernikahan mereka yang sebenarnya.
Tidak banyak yang hadir menyaksikan pernikahan Rion dan Sandra. Hanya beberapa orang anak buah Margaret di club dan beberapa orang gereja.
“Pengantin pria diperbolehkan mencium pengantin perempuan.”
Suara sang pendeta memutus pautan mata sepasang suami istri baru tersebut. Rion menoleh ke arah sang pendeta.
“Silahkan cium pengantin anda.”
Tarikan napas dalam Rion lakukan sebelum membuka sedikit sepasang bibirnya, hingga karbondioksida berhembus keluar sedikit demi sedikit. Rion meluruskan kembali pandangan matanya. Bola mata pria itu bergeser hingga kembali terpaut dengan sepasang netra Sandra.
Dengan ekspresi wajah datar, Rion meraih pinggang Sandra—menarik mendekat, menghilangkah jarak di antara keduanya. Pautan mata mereka masih belum terputus.
Sandra mengedip. Napasnya tertarik berat saat melihat Rion mulai menggerakkan kepala mendekat. Sandra menelan saliva susah payah. Jantungnya langsung meronta di dalam sana. Gadis itu mengatur masuk dan keluar napasnya, berusaha mengendalikan rontaan jantung yang menggila.
Namun, usaha Sandra berakhir sia-sia saat Rion menyatukan bibir mereka. Sandra merasakan gedoran di dalam d*danya semakin tak terkendali. Apalagi ketika ia mulai merasakan bibir Rion bergerak. Sandra merasakan kedua kalinya lemas seketika. Gadis itu memejamkan mata seraya membawa kedua tangannya melingkari leher Rion. Berpegangan agar tubuhnya tidak melorot jatuh ke lantai.
“Apa kamu suka akting ciumanku, hm? Sepertinya kamu menikmatinya, Istriku.”