“Apa-apaan kamu, Sandra? Menikah? Berandalan mana yang kamu pungut di jalanan, hah?”
Bukannya marah mendengar kalimat yang pertama meluncur dari mulut mamanya, Sandra justru tersenyum lebar. Senang mendengar suara marah wanita yang sudah melahirkannya itu.
"Jangan gila. Batalkan rencanamu itu, anak b*doh!"
Oh, apalagi ditambah kalimat kedua. Sandra tersenyum semakin lebar. Dia bisa membayangkan dua tanduk mulai muncul di kepala mamanya.
“Sandra!”
Sandra merapatkan sepasang bibirnya. Menahan tawa yang sudah akan meledak. Gadis itu kemudian berdehem sebelum akhirnya menjawab.
“Mama tidak perlu marah. Ini hidupku. Aku yang memutuskan. Bukankah selama ini mama tidak pernah peduli padaku? Pada semua yang kulakukan? Kenapa sekarang mama peduli?” tanya beruntun Sandra. Suara gadis itu terdengar biasa. Tidak ada nada marah sedikitpun.
“Menikah itu bukan keputusan yang mudah, Sandra. Kamu harus melihat masa depan pria itu. Lagipula kamu masih terlalu muda untuk menikah. Selesaikan dulu kuliahmu. Kalau kamu ingin cepat punya suami, Mama yang akan mencarinya untukmu.”
“Aku tidak mau. Kami akan menikah besok. Aku tidak akan merubah keputusanku.”
“Jangan gila Sandra! Papa pasti akan marah besar.”
“Ada apa?” Suara papa Sandra terdengar.
“Anakmu sudah gila. Dia bilang besok dia akan menikah entah dengan siapa. Pria tidak jelas yang dipungutnya dari jalanan.” Suara mama Sandra terdengar penuh emosi.
Sandra menikmati percakapan kedua orang tuanya yang terdengar seperti nyanyian di telinganya. Gadis itu memutar langkah, lalu tersenyum ketika bertemu tatap dengan Rion. Dengan gerak bibir, Sandra memberitahu Rion jika mamanya yang sedang menghubungi.
“Sandra!” Kali ini Sandra mendengar suara yang jauh lebih keras hingga ia refleks menjauhkan ponsel dari telinganya seraya meringis. Telinganya langsung berdengung mendengar sang papa berteriak.
“Selesaikan kuliahmu. Jangan membuat Papa marah. Apa pria itu mengancammu? Katakan pada Papa, siapa pria itu.”
Saking kerasnya suara sang papa yang sudah dikuasai emosi, Sandra masih bisa mendengar dengan jelas apa yang papanya katakan--sekalipun ponsel itu tidak menempel di telinganya. Pun dia tidak menyalakan speaker. Hebat bukan papanya? Ya … seperti itu lah papanya ketika sedang marah.
Sekali lagi Sandra berdehem seraya mendekatkan ponsel ke telinganya.
“Papa salah. Dia tidak mengancamku. Kami menikah karena saling cinta. Lagi pula, seharusnya papa bersyukur. Setelah aku menikah, papa tidak perlu lagi memikirkanku. Ups … salah. Bukankah selama ini papa memang tidak pernah memikirkanku?”
“Jaga bicaramu, Sandra. Kamu pikir untuk apa Papa kerja keras selama ini? Semua untuk kamu. Kamu satu-satunya anak kami. Kamu yang kelak akan mendapatkan semua kekayaan kami.”
“Oke, Papa. Kalau begitu, lanjutkan mendulang kekayaan untukku. Dan papa tidak perlu khawatir karena mulai besok suamiku yang akan menjagaku. Bye, Papa.” Sandra langsung menurunkan ponsel lalu mematikan sambungan. Sandra tertawa keras hingga membuat pelayan butik yang masih menunggunya, mengernyit.
Sementara Rion hanya geleng-geleng kepala.
"Hari ini aku benar-benar senang sekali. Berapa harga gaun ini? Aku akan langsung membayarnya," ujar Sandra sambil melangkah bersama pegawai butik. Senyum mengembang di wajah gadis itu.
****
Hari itu, setelah mendapatkan gaun, mereka lanjut mencari setelan tuxedo untuk Rion. Tubuh Rion yang memang proporsional, memudahkan pemuda itu mendapatkan apa yang dicarinya. Tuxedo yang ketika dipakai benar-benar terlihat seperti dibuat khusus untuknya.
Rion sendiri tidak peduli pada pakaian yang akan ia kenakan di hari pernikahan. Toh pernikahan itu hanya sandiwara. Sandra yang akhirnya memilih untuk Rion.
Rion sudah malas mengingatkan Sandra untuk pulang ke rumahnya. Gadis itu tidak mau meninggalkan dirinya. Khawatir dirinya akan melarikan diri. Itu kata Sandra. Akhirnya, Rion membawa Sandra ke flat tempatnya tinggal. Saat di butik, Rion hanya bisa mengisi daya ponselnya sebentar, hingga pria itu langsung mencari charger begitu mereka tiba di tempat tinggalnya.
Sandra mengedarkan pandangan mata memperhatikan tempat tinggal Rion. Sepasang bibir gadis itu berkerut. Untuk ukuran berandalan, tempat tinggal Rion cukup rapi. Gadis itu membatin.
Sandra mendesah sambil menyandarkan punggung. Menoleh, gadis itu memperhatikan Rion yang kini sedang sibuk menulis. Sandra berdecih. Ternyata Rion tidak main-main. Pria itu benar-benar membuat surat perjanjian pra nikah.
“Ini … cepat tandatangani.” Rion menyerahkan selembar kertas dan pena. Kertas yang sudah berisi beberapa poin perjanjian yang harus disetujui oleh Sandra sebelum mereka menikah esok hari.
Sandra dengan senang hati menerima lalu membaca satu per satu syarat yang Rion ajukan untuk menikah dengannya.
“Wah, kenapa kamu tidak mau punya anak denganku? Padahal anak kita pasti lucu. Kamu tampan, aku juga cantik.” Sandra berdecak setelah membaca poin jika selama dalam pernikahan, dia harus mengkonsumsi obat pencegah kehamilan.
Beberapa detik kemudian Sandra terkekeh sendiri. “Jadi kamu tidak menolakku, bukan? Aku harus minum obat pencegah kehamilan. Itu berarti kamu akan menyentuhku.”
Sandra menatap Rion dengan sepasang mata menyipit serta senyum terkulum. “Aku tahu kamu tidak akan bisa menahan diri saat bersamaku. Meskipun d*daku mungkin kurang besar, tapi—”
“Diamlah, Sandra. Aku menulis itu bukan karena aku tidak bisa menahan diri. Aku khawatir kamu yang tidak bisa menahan diri melihat tubuhku. Bisa saja kamu meniduriku seperti kemarin.”
Sepasang mata Sandra membesar. Namun dua detik selanjutnya, Sandra sudah kembali merubah ekspresi wajahnya, lalu gadis itu tertawa. Sandra menatap menelisik pria yang duduk di single sofa tak jauh darinya. Kedua alis gadis itu terangkat.
“Harus kuakui kalau kamu tidak hanya tampan, Rion. Tubuh kamu juga menggoda.” Sandra tersenyum lebar hingga kedua mata gadis itu mengecil. “Baiklah. Aku tidak keberatan menidurimu.” Dan Sandra harus tergelak begitu melihat kedua mata Rion nyaris keluar dari kelopaknya.
“Oke oke … aku harus membaca syarat yang lain,” ujar Sandra menghentikan tawanya. Gadis itu kemudian kembali fokus dengan selembar kertas di tangannya. Sepasang bibirnya mengerut.
“Kita akan bercerai setelah misi selesai.” Sandra membaca. Kepala gadis itu bergerak turun naik, setuju. Tujuannya memang hanya untuk balas dendam pada orang tuanya. Setelah dia puas membalaskan dendamnya, maka pernikahan itu tidak lagi diperlukan.
“Hah? Kamu mau setengah saja?” tanya Sandra sambil mengangkat kepala hingga bertemu tatap dengan Rion. Dia baru saja membaca poin yang menyatakan jika Rion akan mengambil setengah dari harta yang ia tawarkan. “Kamu tidak mau semuanya?” tanya Sandra meyakinkan sekali lagi setelah melihat Rion mengangguk. Mulut Sandra menganga. Apa Rion bodoh menolak hartanya? batin gadis itu tidak percaya.
“Memangnya bagaimana kamu akan hidup kalau aku ambil semua hartamu? Gila boleh, tapi, jangan bodoh, Sandra. Kamu mau jadi gelandangan?”
Sandra mengerjap cepat. Dia tidak berpikir sejauh itu. “Baik sekali kamu, Rion. Kupikir kamu tidak peduli pada apapun kecuali dirimu sendiri.” Sandra tersenyum. “Ternyata kamu memikirkan masa depanku.” Kepala gadis itu mengangguk. “Kurasa aku tidak akan keberatan melanjutkan pernikahan denganmu meskipun misi sudah selesai.”
Rion mendelik. “Jangan harap. Tidak ada. Jangan pernah memikirkan kemungkinan itu. Baca poin selanjutnya.” Rion menunjuk selembar kertas di tangan Sandra.
Mencebik, Sandra akhirnya menurunkan pandangan matanya. Gadis itu menghentak keras karbondioksida keluar dari mulut yang ia buka. Detik berikutnya, Sandra membaca poin yang dimaksud oleh Rion. Sepasang bibir gadis itu langsung cemberut.
“Ya … ya, baiklah.” Berdecih, Sandra meletakkan kertas ke atas meja, lalu menandatangani selembar kertas itu. Poin terakhir Rion menuliskan, jika dirinya akan di denda 10 kali lipat jika masih mengejarnya setelah misi selesai.
Gadis itu mengangkat kepala hanya untuk mencebik ke arah Rion, sebelum melanjutkan goresan pena di tangannya.
‘Kita lihat saja nanti, Rion. Aku akan membuatmu mengejarku,’ batin Sandra sambil tersenyum. Dia semakin merasa tertantang. Sandra berjanji dalam hati akan menaklukkan pria muda penyuka sugar mommy ini. Lihat saja nanti. Dia tidak akan kalah oleh perempuan club itu. Senyum terkulum di bibir gadis itu.