Tanah Berdarah
Bukan desingan peluru senapan yang terus menghujani tanah becek berlinangan darah itu, tapi peluru-peluru yang lebih besar lagi. Peluru seukuran sepuluh kali lipat bola sepak yang dimuntahkan moncong-moncong meriam hitam sebesar dua kali lipat ukuran kuda pacu. Bola-bola pejal hitam super berat dengan daya ledak luar biasa itu terbang melengkung di angkasa. Tanah seperti tinju oleh seratus orang bersamaan ketika peluru meriam itu jatuh. Butiran-butiran pasir yang menggumpal tiba-tiba terurai dan muncrat menyembur layaknya air mancur bertenaga kuda. Yang lebih mengerikan lagi, tak cukup pasir saja yang terbang muncrat ke langit, tapi ledakan itu membawa serta potongan-potongan tubuh setelah mencabiknya jadi belasan potong lewat panas dan letusan raksasa. Mayat-mayat berterbangan lalu jatuh tersebar di atas tanah. Darah mereka menyembur kemana-mana lalu jatuh seperti gerimis. Genangan darah terus bertambah tinggi dan lubang-lubang di tanah pertempuran makin banyak.
Pedang-pedang setengah berkarat para prajurit berbaju zirah dengan kain hijau botol di dadanya, masih mati-matian menggorok leher musuh sebanyak yang mereka bisa. Dengan baju perang yang berat itu, ditambah helm besi pelindung kepala yang hanya mengisahkan lubang penglihatan saja, menjadi beban tersendiri para prajurit itu. kebebasan bergerak terbatasi. Energi semakin cepat terbakar menjadi keringat namun tak cukup mampu menghasilkan hasil yang sepadan. Belum lagi perisai-perisai lingkaran yang terus dibawa, diayunkan dan beberapa kali beralih fungsi sebagai senjata pemukul mematikan. Para prajurit Zakaffa membawa beban yang cukup berat untuk berperang. Mereka sudah hampir payah. Lelah. Dan hilang harapan untuk sebuah kemenangan.
Tangan-tangan lemas itu masih tak menyerah. Teriakan-teriakan tak bernyawa terus dikobarkan untuk membakar semangat yang hampir habis. Tak ada lagi bahan bakar untuk menumbuhkan semangat baru, hanya yang tersisalah yang terus habis dikumandangkan. Helm-helm besi dilepas, dibuang sembarangan agar tenaga yang menipis mampu untuk berlari dan menerjang musuh.
Sementara prajurit musuh seakan tak memiliki lelah. Tenaga mereka terus ada, terus meningkat dan terus bertambah kuat. Pun dengan jumlah mereka yang terus menerus bertambah. Setiap beberapa jam sekali, datang sepasukan baru yang menuruni tebing. Berkuda dengan gagah bersama ratusan kekuatan yang masih utuh penuh energi dan semangat. Teriakan-teriakan mereka, lolongan mereka dan segala keributan apapun yang mereka suarkan, sangat menjatuhkan mental pasukan Zakaffa yang sudah lemah.
Padang rumput kering nan luas itu kini begitu kelabu. Asap membubung menggelapkan langit. Api menyambar di sana-sini. Mayat bergelimpangan saling bertumbuk. Lalu pedang-pedang dan tombak masih saling berdesingan mengadu kekuatan mencoba mencabut nyawa musuh.
Inilah perang pemberontakan Benang Merah yang unggul dari kekuatan kerajaan Zakaffa.
“Kita akan menang,” cetus Rheno dari atas kudanya. Pria itu masih mengamati situasi medan pertempuran dari atas sebuah bukit kecil di sebelah utara. Kuda pacu berwarna coklat tua yang gagah itu semakin mendukung citranya sebagai salah satu pimpinan pasukan di Benang Merah. Rambutnya lurus, disisir rapi ke belakang dengan begitu berkilau. Hitam legam dengan semburan abu-abu kebiru-biruan. Rahangnya tegas dengan mata lebar seperti bulan purnama.
“Ini belum berakhir. Jangan cepat menyimpulkan,” sanggah Angkasa. Pria lain yang juga duduk di atas kudanya, tepat di samping Rheno berhenti. Struktur wajahnya hampir sama dengan Rheno, berahang tegas. Namun Angkasa tak serapi Rheno. Rambutnya hitam legam tanpa variasi warna apapun, halus tak berkilau, lurus namun agak bergelombang, dan dibiarkan berantakan. Dia berponi, setidaknya beberapa kali Angkasa menyisirnya dengan jemarinya ke belakang. Matanya hitam agak kebiruan. Tegas dan tajam. Berkulit bersih, kuning keputih sedikit pucat.
Angkasa baru bergabung dengan Rheno beberapa detik lalu. Dia datang membawa ratusan kekuatan tempur baru yang menjadi prajurit pembantu. Datang dari balik bukit lalu menuruni dengan formasi shaff yang dibuat muncul satu per satu.
“Kenapa kau buat mereka datang bergantian?” tanya Rheno sebagai bahan sapaan. Dia sudah di tempat itu sejak matahari terbit pagi ini. “Kenapa kau begitu lama untuk datang?” imbuhnya geram.
Angkasa menoleh dengan lirikan malas. “Haruskah kujelaskan alasannya?” bantahnya pelan. Separuh poninya menutupi dahinya. Kentara sekali dia baru saja menyisirnya ke belakang tapi kembali jatuh. Wajahnya lelah, namun sorot matanya tetap tajam. Dia mendengus hingga menerbangkan beberapa helai poninya yang ringan.
“Ya, kau penanggung jawab serangan ini, Angkasa.” Rheno menoleh gusar dengan tatapan geram. Dia menggiring kudanya mendekati Angkasa.
“Kau tidak perlu tahu, karena aku penanggung jawabnya. Aku tak perlu melapor padamu,” jawab Angkasa dengan ekspresi datar.
Pria itu memacu kudanya berlari menuruni bukit meninggalkan Rheno dengan wajah gregetanya. Rheno berteriak kesal. Lantang sekali suaranya sampai pada jarak seratus meter pun Angkasa masih mendengarnya.
Angkasa terus menunggang kudanya hingga mencapai garis terbelakang. Ia cabut pedangnya dan mulai mengayunkan ke kanan kiri dan menusuk siapapun yang menghalangi jalannya. Dia berteriak sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Seruannya disambut keriuhan semangat yang kembali berkobar dari segelintir pasukannya yang tersisa. Tapi Angkasa tak gentar. Biarpun pihaknya kalah jumlah, namun pertempuran dua hari ini masih didominasi oleh Benang Merah. Dia percaya diri, pasukannya lebih tangguh dari prajurit kerajaan. Kenapa? Bukankah pasukan kerajaan memiliki sumber daya yang begitu melimpah untuk melahirkan pasukan kuat? Untuk melatih mereka dan membekali dengan senjata-senjata mutakhir yang mahal harganya? Ya, itu benar. Tapi, kekuatan suatu pasukan tak hanya terkunci pada sumber daya. Ada moral dan idealisme di dalam diri setiap prajurit itu yang tak boleh diabaikan. Angkasa memegang kunci itu. Kekuatan pasukannya lahir dari semangat membalas dendam pada Zakaffa. Rasa sakit hati yang ditinggalkan kerajaan itu kepada mereka membentuk palung yang terlalu dalam untuk ditutup bahkan disembuhkan. Orang-orang ini kemudian bersatu dan menggabungkan kekuatan mereka. Ada idealisme yang kemudian terlahir. Satu kekuatan yang mustahil dikalahkan oleh pasukan yang hanya berlandaskan gaji dan teknologi tinggi seperti Zakaffa.
Seruan Angkasa cukup mudah mengingatkan kembali semangat pasukannya untuk tak menyerah. Mereka kembali menerjang, mengangkat senjata dan memberikan serangan terbaiknya untuk merenggut nyawa musuh sebanyak-banyaknya. Ya, sebanyak yang mereka bisa.
“Jenderal!”
Angkasa berhenti. Matanya menyelidik ke kanan kiri dan memutar ke empat penjuru mata angin. Seorang prajurit berlari menghampirinya dengan wajah kepayahan yang berlumuran tanah dan keringat. Dari seragam tempur yang ia pakai, Angkasa tahu pria itu seorang kapten pasukan. Dia berlari sempoyongan dengan berusaha keras tetap menjaga kesadarannya. Ada luka sayatan menganga di pelipis kirinya yang terbuka lebar. Gumpalan darah terus mengalir, turun ke telinganya.
Angkasa turun dari kudanya, berlarian kecil menghampiri pria itu. Dia tak ingat siapa namanya, yang jelas dia masih anak buahnya.
“Katakan!” perintah Angkasa cemas.
Jari telunjuk pria itu menggiring netra Angkasa menuju ke arah barat. Sebuah asap berbentuk brokoli membubung tinggi sekali. Abu-abu pekat dengan percikan-percikan api. Sedetik berikutnya gelombang angin panas melanda tempat Angkasa. Singkat sekali namun mematikan. Angkasa tengkurap, melindungi kepalanya dengan dua tangannya. Dia berlindung di balik sang kuda. Sementara kapten pasukan itu terjungkal ke tanah dengan muntahan darah.
Angkasa kembali membuka matanya setelah kurang lebih lima detik. Ketika suhu udara di sekitarnya mulai kembali normal. Ini seperti kejutan luar biasa hingga mampu mencekat napasnya di pangkal tenggorokan selama beberapa detik.
Semua orang roboh. Hampir separuh dari seluruh nyawa yang bertarung di tempat ini, telentang di tanah dengan kondisi serupa. Mereka muntah darah, sebagian tubuh terbakar dengan api yang masih menyala-nyala di baju zirah mereka dan dengan sisa kesadaran yang masih hinggap, mereka berusaha meminta tolong. Tak banyak yang kemudian bisa kembali bangkit berdiri dengan baik-baik saja. Mereka yang cukup bertenaga dengan luka paling sedikit, terduduk melihat semua orang terkapar sekarat. Bukannya bersemangat untuk menghabisi di detik-detik krusial titik terlemah, semua orang tertegun syok. Apa yang baru saja terjadi?
Angkasa masih bersembunyi di balik kudanya ketika ia sadar ada yang berbeda dengan sang kuda. Tubuhnya terasa berat tertindih beban yang sangat besar, yang lunak dan keras di saat bersamaan. Angkasa goyang-goyang tubuh sang kuda. Tak ada respon. Hanya ringkikan lemah yang ia dengar. Angkasa membebaskan dirinya, dia angkat sekuat tenaga tubuh kuda itu untuk memberinya cukup ruang untuk keluar dan berdiri. Separuh sisi tubuh sang kuda melepuh. Hitam, hangus seperti luka bakar.
“Apa ini?” gumam Angkasa tak mengerti.
Dia melongo. Sebuah pemandangan yang tak terprediksi akan jadi seperti ini. Seolah baru saja meledak sebuah bom yang menumbangkan mereka semua dalam sekali serangan. Asap abu-abu pekat menyelimuti udara. Mengaburkan pandangan. Angkasa kehilangan jarak pandangnya. Semuanya kelabu.
“Kemana semua orang?” ucapnya pelan. Ia cabut belati panjang dari ikat pinggangnya. Entah dimana posisi pedangnya terpental tadi. Dia tak punya kesempatan mencarinya saat ini. Firasatnya buruk. Selalu ada sebab kenapa seluruh bulu kuduknya berdiri serempak. Angkasa genggam gagang belati itu dalam posisi siap serang di depan wajahnya. Dia berjalan pelan ke depan tanpa menurunkan kewaspadaan.
Kabut semakin menipis, pudar perlahan. Lalu dua orang berlari menyerang Angkasa dari samping kanan dan kiri secara sporadis. Mereka menebaskan pedangnya sembarang arah. Angkasa menunduk, membiarkan mereka saling serang dengan senjata masing-masing hingga kedua pedang itu membacok leher masing-masing. Dua orang lagi muncul dari belakang dengan lolongan putus asa. Dia menodongkan tombak panjang tepat mengarah pada Angkasa. Angkasa melompat ke atas sambil melakukan salto ke belakang dan seketika menggorok leher pria itu. Dia kembali waspada. Memasang kesiagaan penuh pada seluruh indera dan alat geraknya sambil perlahan terus berjalan maju.
Kepekatan kian lama kian sirna. Bayang-bayang medan pertempuran yang kacau makin jelas di mata Angkasa. Sekalipun kabut tipis masih bertebaran, namun pemandangan ini luar biasa mencengangkan. Mulut Angkasa menganga dengan matanya membulat penuh. Dia seperti berteriak namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya.
“Sangat menarik,” gumamnya terperangah. “Jadi… siapa pemenangnya?” imbuhnya.
Angkasa bisa melihat dengan jelas semuanya. Padang rumput yang gersang kini menjadi tanah berdarah yang penuh gelimpangan mayat di mana-mana. Tak lebih dari puluhan orang yang masih berusaha kembali berdiri. Mereka menyerang satu sama lain secara sporadis. Dengan keputus asaan dan tubuh yang penuh luka. Angkasa masih bisa menghitung jumlah mereka. Orang-orang yang berada di pihaknya ataupun mereka yang bertarung karena Zakaffa. Keduanya tak berbeda. Kondisi mereka sama menyedihkannya.
Angkasa tertawa dalam kegetiran yang dalam. Matanya berkaca-kaca ketika buliran air meluap dari kelopak bawahnya. Dia seka ujung matanya dengan jemarinya yang kotor, tapi air mata itu justru bertambah deras hingga lengannya basah membersihkan pipinya. Ada luka yang menganga begitu lebar di dalam hatinya, jauh di lubuk terdalam sana. Begitu perih dan menyakitkan. Pedih tak tertahankan. Luka yang tak berdarah terkadang lebih menyiksa. Ini bukan akhir yang dia harapkan.
Semua orang hangus dan terluka bakar. Jika bukan karena berlindung di bawah kudanya, ia pun akan bernasib sama.
Dalam kedukaan itu, dua orang menyergap Angkasa dari belakang. Dua pria itu menembakkan anak panah bersamaan. Satu menancap ke betis kiri Angkasa, satu lagi ke tangan kanannya. Dia tak berteriak, tak juga mengerang kesakitan. Ini seperti serangan yang sengaja dia terima.
“Sudah lama aku mendengar nama besarmu, tapi sulit sekali untuk menemuimu, Angkasa.” Seorang pria bertubuh jangkung dengan otot berisi maju selangkah lebih depan. Sepuluh anak buahnya mengepung dirinya dan Angkasa sebagai pusat lingkaran. Busur-busur panah membidik pada satu target yang sama, Angkasa.
Angkasa memutar tubuhnya sambil mencabut badan busur panah di lengan dan betisnya. Matanya mengerjap dalam sekali, menahan perih ketika logam tajam mata panah harus kembali mengiris daging dan lapisan kulitnya. Tak banyak darah yang muncrat, namun mengalir cukup deras membasahi pakaiannya. Dia tatap lekat mata pria itu dengan seringai percaya diri.
“Kau terobsesi padaku?” balas Angkasa dengan kekehan kecil.
Pria itu tertawa. Keras sekali. Lalu kembali serius dalam seketika. Matanya melebar, melotot marah sementara tinjunya mengepal. Dia berjalan cepat mendekati Angkasa lalu meninju wajahnya. Tapi Angkasa tak lagi mengalah. Dia remas tinjuan pria itu hingga mereka beradu kekuatan. Angkasa memelintir tangannya lalu meninju d**a pria Zakaffa itu.
“Kau berharap aku mengalah lagi?” ejek Angkasa. Dia gerak-gerakkan lengannya dengan gerakan memutar. Dahinya mengernyit beberapa kali ketika nyeri terasa. Sedang kakinya, tentu saja rasa perih itu sedang menjalar begitu cepat ke lutut dan pahanya hingga ia harus ekstra menahan diri agar tidak berjalan pincang. Meski itu tak bisa sepenuhnya disembunyikan.
Lalu kepungan membelah. Dari belakang pria itu, muncul seorang wanita berpakaian zirah dengan atribut Zakaffa. Rambutnya diikat satu, panjang dengan sedikit gelombang di ujung bawah. Dia cantik dan terlihat garang. Sebilah pedang masih tersarung di pinggangnya. Zirahnya hampir compang camping. Wajahnya begitu lusuh dan kotor. Tapi sebuah keajaiban orang-orang ini tak hangus gelombang panas ledakan tadi.
Angkasa tersenyum miring sambil membuang mukanya begitu wanita itu mendekat.
“Tangkap dia!” ucap wanita itu pelan.
Sedetik berikutnya, Angkasa merasakan pusing luar biasa di kepalanya. Matanya berkunang-kunang. Perlahan semuanya buram dan suara-suara bising jadi senyap. Dia pingsan.